Dengan gundah, seorang wanita menghadap kepada Imam Hambali, minta fatwa dari
beliau. "Wahai Imam Hambali, dengarkanlah kisahku ini. Semoga dirimu dan diriku 
mendapat keampunan Allah," 
 
Kemudian dia terdiam.
"Sesungguhnya saya ini perempuan yang miskin. Saya tidak mempunyai
apa-apa kecuali tiga orang anak yang masih kecil. Hidup saya sungguh
melarat, hingga kami tidak mempunyai lampu untuk menerangi rumah,"
sambungnya.
 
"Untuk membiayai hidup kami anak beranak, saya
bekerja sebagai pemintal benang. Saya akan memintal pada waktu malam dan
 akan menjualnya pada siang hari,"sambungnya lagi. 
 
"Di manakah
suamimu, Bu?" tanya Imam Hanbali. "Ia ada di antara mereka yang
menentang Khalifah Al-Mu’tasim yang zalim itu. Dia gugur syahid dalam
satu pertempuran dengan pasukan tentara yang hendak menangkap mereka.
Sejak itu, hidup kami melarat," jawab wanita itu. 
 
"Teruskan
ceritamu," pinta Imam Hambali. "Karena rumah kami tidak ada lampu, maka
saya terpaksa menunggu sampai bulan purnama, barulah saya dapat memintal
 benang," kata wanita itu.
 
Kemudian dia menyambung ceritanya.
"Pada suatu malam, ada kafilah dagang dari Syam datang lalu singgah
bermalam, dekat dengan gubuk kami. Mereka membawa lampu yang banyak
sehingga cahayanya sampai menerangi rumahku. Saya mengambil kesempatan
untuk bekerja memintal benang di bawah cahaya lampu mereka". 
"Sekarang,
 pertanyaan saya adalah, apakah uang hasil jualan benang yang saya
pintal di bawah cahaya lampu milik kafilah itu, halal untuk saya
gunakan?" 
 
Imam Hambali kagum, tercekat mendengar cerita wanita
itu. Lalu dia bertanya," Siapakah engkau wahai wanita muda yang sangat
berpikir tentang hukum agama di saat umat Islam lalai dan kikir terhadap
 harta mereka?" 
 
Pelan, wanita itu berkata, “Saya adalah adik
perempuan Basyar Al-Hafidz yang meninggal dunia," jawab wanita itu
dengan kerendahan hatinya. Mendengar jawaban itu, Imam Hambali menangis
tergugu. Janggutnya basah oleh air mata. 
 
Imam Hambali sangat
mengenali Basyar Al-Hafidz, seorang gubernur yang beriman dan beramal
soleh. Setelah tangisannya reda, maka Imam Hambali pun berkata, "
Sesungguhnya saya sangat takut pada azab Allah. Karena itu, berilah saya
 waktu untuk menjawab pertanyaan kamu itu. Silahkan kembali ke rumahmu,
dan besok datang ke sini lagi, Bu.” 
 
Imam Hambali memang tidak mau terburu-buru memberikan jawaban, apalagi soal 
haram dan halalnya sesuatu. 
 
Pada malam itu, beliau berdoa, bermunajat serta memohon petunjuk pada Allah 
SWT. 
 
Keesokan harinya, wanita muda itu datang lagi untuk mendengar jawaban dari Imam 
Hambali. 
 
"Wahai
 wanita yang solehah. Sesungguhnya kain penutup muka yang engkau pakai
itu lebih mulia dari pada sorban yang aku pakai. Kami ini tidak layak
untuk disamakan dengan orang tua yang telah mendahului kita.
Sesungguhnya kamu seorang perempuan yang berhati luhur, bertakwa dan
penuh rasa takut kepada Allah," masygul Imam Hambali berkata, hampir
menangis. 
 
"Wahai tuan Imam Hambali. Bagaimana dengan pertanyaan saya semalam?" desak 
perempuan muda itu. 
 
"Berkenaan
 pertanyaanmu, sekiranya engkau tidak mendapat izin dari rombongan
kafilah dagang itu, maka tidak halal bagimu menggunakan uang dari hasil
jualan benang itu," jawab Imam Hambali.
 
Wanita itu kini sangat
sedih, karena sampai hari itu belum mendapat ijin dari rombongan kafilah
 dagang itu. Dia ingin dan sanggup menemui mereka seorang demi seorang
dari rombongan tersebut agar mendapat ijin, hingga dia dapat menggunakan
 uang yang kini berada di genggamannya. 
 
Malang, rombongan itu
telah pergi menjauh, berpencar. Usahanya tampaknya sia-sia. Berita
tentang wanita solehah itu akhirnya sampai ke pengetahuan Khalifah
Al-Mutawakkil. Beliau sungguh kagum dengan wanita tersebut lalu
memberinya uang sebanyak 10 ribu dinar. 
 
Wanita muda itu kembali
 menemui Imam Hambali sekali lagi lalu bertanya tentang uang hadiah
khalifah. " Adakah uang itu halal bagi kami?" 
 
“Khalifah juga
pernah memberikan saya uang sebanyak itu. Tetapi saya sedekahkan kepada
fakir miskin yang saya temui di jalan," jawab Imam Hambali. 
 
Wanita itu pun mengikuti jejak Imam hambali. Dia memberikan uang tersebut 
kepada fakir miskin... 
 
** Kisah nyata yang selalu membuat kita tercekat...  Sangat.... Sangat malu 
hati. 
Apalagi
 jika dengan mudahnya kita kerap "membiayakan" sesuatu seolah itu memang
 jadi hak kita yang sepertinya "HALAL" sebagai auditor, PNS, pejabat
negara, anggota DPR, direktur, pegawai swasta, guru, staf, lawyer,
notaris, pengusaha, dll...

*** Semoga mengilhami bagi kita yang membacanya....
--------------
HARTA HARAM
Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang suatu masa, orang-orang tidak perduli 
dari mana harta
dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram". 
(HR.Bukhari)

Kirim email ke