Ini adalah pesan tentang pencarian...pencarian jati diri......

Pencarian 'Kebenaran' dari Ghazali hingga Sardar

Ismail F. Alatas

 

 

Tema pencarian adalah sebuah tema yang sering kita dengar dalam 
khazanah tradisi intelektual Islam. Banyak sekali kisah yang 
menceritakan seorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya guna 
mencari penghilang dahaga keresahan maupun kebimbangannya. Ada yang 
hanya duduk termenung seraya memikirkan alam semesta dari tempat 
kediamannya, seperti halnya Nabi Ibrahim as. yang duduk menatap 
bulan, bintang dan matahari dalam proses mencari Tuhan. Ada yang, 
seperti sahabat Salman al-Farisi, meninggalkan kampung halamannya nun 
jauh di Persia dan berkelana ke pusat-pusat agama di Timur Dekat, 
hingga pada akhirnya sampai di Madinah dan bertemu dengan Rosul saw. 
Ada juga, seperti sang sufi besar Ibrahim bin Adham, yang pada 
awalnya adalah seorang pangeran dari negeri Balkh, kemudian 
meninggalkan segala kemewahan duniawi untuk menjadi seorang sufi yang 
berkelana di hutan dan padang pasir. Varian-varian kisah diatas 
mempunyai artian dasar yang sama: seseorang yang tidak merasakan 
kepuasan dengan rutinitas hidupnya serta tidak lagi mempercayai 
pondasi-pondasi kebenaran yang telah dibangun didalam dirinya, 
sehingga ia merasa perlu untuk meninggalkan semuanya dan mencari obat 
kebimbangannya. Ia ingin menghilangkan segala keresahan dan tanda 
tanya yang masih menghantuinya. Ia ingin menemukan 'Kebenaran yang 
hakiki'. Ia ingin merasakan kebahagiaan... 

 

Mungkin, pencari par excellence yang namanya termashur dalam sejarah 
peradaban Islam, tidak lain adalah al-Imam al-Ghazali. Dalam 
autobiography spiritualnya yang berjudul al-Munqidh min adz-Dzolal , 
al-Ghazali menceritakan perjalanan hidupnya yang diwarnai dengan 
semangat pencarian. Sedari kecil, al-Ghazali telah dilatih untuk 
menjadi seorang ahli fiqh (faqih) dan telah mengenyam pendidikan 
dalam berbagai macam ilmu dari guru besarnya, al-Imam al-Juwayni di 
kota Naishapur (dikawasan Iran). Setelah menyelesaikan studinya, al-
Ghazali yang masih sangat muda telah menampakkan kejeniusan yang 
begitu luar biasa serta mengarang beberapa buku yang sangat dalam 
sehingga ia diangkat oleh Perdana Menteri Seljuk, Nidzham al-Mulk, 
untuk menjadi profesor dalam ilmu fiqh Syafei di universitas 
Nidzamiyyah di kota Baghdad. Disitulah, al-Ghazali mengajar selama 25 
tahun dan merasakan ketenaran, kemewahan, kekayaan dan kemuliaan. 
Namun al-Ghazali sering dirundung kesedihan. Ia sering merasakan 
kebimbangan. Kehidupan yang begitu mewah dan menjanjikan tidak 
membahagiakannya. Ia selalu mempertanyakan keberagamaannya. Ia telah 
dipandang sebagai seorang ahli fiqh yang mashur sehingga mendapatkan 
kemewahan. Namun, apakah inilah tujuan hidup seorang Muslim? 
Bagaimanakah kehidupan keberagamaan yang semestinya? Bagaimanakah 
seharusnya seorang Muslim memfokuskan pikirannya? Al-Ghazali 
mengalami krisis autentisitas keberagamaan...dan ia mulai mencari.... 

 

Selama beberapa tahun, al-Ghazali mulai mencari kebenaran agama dalam 
beberapa disiplin ilmu yang mashur kala itu baik melalu ilmu kalam 
(teologi rasional), filsafat, maupun paham Bathini dari kelompok 
Syi'ah Isma'iliyyah. Namun, setelah setiap disiplin ilmu itu 
didalaminya, al-Ghazali tetap dapat melihat kelemahan-kelemahan yang 
ada didalamnya. Sehingga, di suatu pagi, ia mengepak baju-bajunya dan 
meninggalkan Baghdad beserta segala kemewahan, posisi dan kemuliannya 
guna mengembara di Timur Tengah dalam mencari kebenaran. Ternyata 
pengembaraan tersebut memakan waktu tidak kurang 11 tahun lamanya. Al-
Ghazali telah menemukan kebenaran otentisitas keberagamaan yang ia 
cari dalam disiplin ilmu tasawwuf. Bagi al-Ghazali tasawwuf adalah 
jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada pemahaman dan pengenalan 
(ma'rifat) akan Allah SWT.

 

Setelah 11 tahun mengembara, al-Ghazali pulang ke kampung halamannya 
guna kembali mengajar. Namun kali ini, beliau tidak lagi dirundung 
kegelisahan.... beliau telah mencicipi 'kimia kebahagiaan' (kata-kata 
ini kemudian menjadi salah satu judul buku al-Ghazali: kimiyyat as-
sa'adah). Ia dapat merasa tenang dan merasakan manisnya penghambaan 
kepada Tuhan. Namun 11 tahun pengembaraan al-Ghazali juga tidak 
berarti beliau tidak bersikap produktif. Selama 11 tahun itulah, al-
Ghazali menuliskan berbagai penemuan spiritualnya. Ia menulis 
berbagai pengalaman yang telah dilaluinya. Ia menjelaskan kiat-kiat 
untuk dapat mengenyam larutan 'kimia kebahagiaan'. Hasil tulisan-
tulisannya selama 11 tahun itulah yang kemudian menjadi masterpiece-
nya dan sampai sekarang kita kenal dengan Ihya' 'Ulum ad-Din

 

*

 

Diera late modern seperti dewasa ini, pencarian tidak lagi menjadi 
sebuah tema yang populer. Perputaran roda kapitalisme global yang 
mendorong manusia untuk bertindak pragmatik tampaknya tidak lagi 
menyisakan waktu luang bagi kita untuk behenti sejenak, berpikir dan 
mencari. Manusia tidak lagi meninggalkan dunia-nya untuk 
mencari 'Kebenaran yang Hakiki'. Kita telah menjadi apa yang disebut 
Herbert Marcuse sebagai 'one dimensional man' yang hanya siap 
menerima segala sesuatu jika ia telah menjadi produk yang siap pakai. 
Seperti halnya segala barang kebutuhan yang siap pakai, agama dan 
kebenaran-pun dikonsumsi sebagai produk siap pakai. Kita ingin segala 
sesuatu yang cepat dan mudah. Tidak ada lagi waktu untuk mengembara 
dan mencari. 

 

Akan tetapi, bukan berarti tidak terdapat lagi manusia-manusia yang 
masih tetap bersikokoh untuk mencari 'kebenaran'. Adalah Ziauddin 
Sardar, seorang intelektual Muslim tingkat dunia yang seperti halnya 
al-Ghazali, secara sistematik berefleksi dan berpikir disetiap 
harinya akan hal-hal yang lebih bersifat abstrak. Seperti al-Ghazali, 
Sardar tidak dapat menerima kebenaran secara mentah-mentah namun 
harus terlebih dahulu digeluti, dicerna, dipikirkan dan dirasakan. 
Baru setelah itu, ia dapat mengambil sikap positif atau negatif 
terhadap 'kebenaran' tersebut. Dahulu al-Ghazali mengatakan bahwa 
seorang intelektual harus menanamkan sifat skeptis: sikap 
mempertanyakan segala sesuatu. Seorang intelektual tidak boleh 
bersikap sebagai muqallid (orang yang bertaqlid) karena seseorang 
yang bersikap demikian tidak akan dapat menjadi seorang pemikir 
orisinal. Ia harus terlebih dahulu menghancurkan pilar-
pilar 'kebenaran', baru ia dapat membangunnya kembali melalui proses 
meditatif dan intuitif. Namun, kata 'skeptis' disini jangan disalah 
artikan sebagai metode yang bersifat negatif dan menepis segala 
fondasi agama. Para ahli biasanya mendefinisikan skeptisisme ala 
Ghazali sebagai 'methodic doubt', yaitu sebuah skeptisisme yang 
mempunyai metode tersendiri yaitu batasan-batasan yang jelas. Al-
Ghazali dengan keras menyatakan bahwa skeptisisme adalah metode yang 
sah kecuali jika ia digunakan untuk mempertanyakan fondasi agama 
(ushul) seperti kepercayaan kepada Allah, Rosul dan hari akhir. 
Selain dari ketiga hal tersebut, maka skeptisisme adalah sebuah alat 
yang efektif guna mencari 'kebenaran'.

 

Berbeda dengan Ghazali yang mengembara ditengah padang pasir, Sardar 
melakukan pencariannya yang berkepanjangan di tengah hiruk pikuk 
dunia kontemporer. Ia mengunjungi berbagai pelosok dunia Islam guna 
mencari otentisitas keberagamaan yaitu manifestasi Islam yang dapat 
diyakini kebenarannya. Sardar berpetualang ditengah rimba pemikiran 
dan gerakan Islam yang ada. Ia mencicipi khuruj ala Jamma'ah Tabligh, 
aktivisme politik ala salafi, ekstase ala sufi, revolusi ala syi'ah, 
jihad ala Bin Laden, authoritarianisme ala Saddam Hussein dan 
modernisme ala Malaysia. Ia berpindah dari satu kelompok ke kelompok 
lainnya ditengah kesibukannya dalam menangani berbagai proyek besar. 
Ia juga bertemu dengan berbagai figur terkemuka seperti Sa'id 
Ramadhan, Osama bin Laden, Isma'il al-Faruqi, S.M. Naquib al-Attas 
dan Anwar Ibrahim. Sebuah pengalaman pencarian yang sungguh indah dan 
mengangumkan yang berlandaskan tradisi intelektual dan spiritual 
Islam namun dijalani di dunia kontemporer yang semakin ruwet. 
Pengalaman Sardar membuktikan pada kita bahwa pencarian otentisitas 
keberagamaan yang dahulu dijalani oleh Ibrahim as, Salman al-Farisi, 
Ibrahim bin Adham serta al-Ghazali tetap saja dapat dilakukan di era 
dewasa ini. Ia juga menggambarkan betapa penting dan relevannya 
proses pencarian diera late modernity yang makin mengasingkan kita 
baik dari tradisi Islam klasik maupun dari sisi kemanusiaan kita..

 

Pengalaman Sardar yang unik dan dinamik ini dituangkan didalam buku 
terbarunya yang berjudul Desperately Seeking Paradise (sudah 
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Diwan, 2006). 
Sardar yang saya kenal pribadi sebagai figur yang humoris menuliskan 
pengalaman pencariannya juga dalam bahasa yang mudah dimengerti, 
kocak dan menarik. Seperti layaknya sebuah novel, Desperately Seeking 
Paradise mengajak kita untuk mengapresiasi tradisi pencarian yang 
telah tertanam dalam khazanah intelektual Islam. Ia mengajak kita 
untuk sejenak keluar dari rutinitas sehari-hari guna menikmati 
pengembaraan spiritual dan pencarian 'kebenaran' yang sudah semakin 
susah untuk didapatkan didunia yang bertambah semu ini. Sardar 
menunjukkan pada kita betapa mudahnya mengapresiasi Islam disaat kita 
telah terbebas dari kekangan rantai dogma yang menyempitkan. Oleh 
karenanya sang intelektual yang menyebut dirinya sebagai 
seorang 'Muslim skeptis' ini telah menyodorkan sebuah kesegaran dalam 
menghayati keberagamaan kita. 

 

Disaat ummat Islam makin terbelenggu oleh ikatan dogma yang 
menyebabkan kekeringan dalam keberagamaan, maka tradisi pencarian 
yang sungguh indah kiranya perlu kita angkat kembali. Tradisi 
intelektual dan spiritualitas ini harus kita ingat dan kita hayati 
agar kita dapat kembali menatap Islam dari luar sehingga terlihat 
segala keindahannya. Skeptisisme dan pencarian ala Ghazali dan Sardar 
dapat menjadi sebuah obat bagi kebutaan dan kefanatikan kaum Muslimin 
baik dari kelompok yang berhaluan fundamentalis maupun liberal. Untuk 
itulah, mari kita belajar dari Ghazali dan Sardar sehingga kita dapat 
menjadi manusia yang menghargai keberagaman, keunikan dan keberbedaan 
dalam pencarian kita kepada 'kebenaran'. Dan pada akhirnya para 
pencari akan dapat menikmati indahnya pencarian dan InsyaAllah mereka 
yang bersungguh-sungguh mencari 'kebenaran' akan sampai 
pada 'Kebenaran yang Hakiki'. Wallahu a'lam.

 

 

Jakarta, 22 February 2004









===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke