Ampuni Aku Ya Rabb

                        oleh Abdul Mutaqin



========================
Aku duduk sambil tersungut di pojok beranda
masjid. Hatiku geram. Sesekali gemerutuk gigi-gigi geraham yang
bertubrukan menggoyang-goyang pipiku. Hembusan nafas antara putus asa
dan rasa marah kulempar berulangkali. Kalau saja bukan karena di
masjid, ingin segera kutumpahkan segala caci maki dan kejengkelanku
sampai aku puas. Puas menumpahkan emosi kepada siapa yang telah
menzalimi diriku.

Pandanganku menyapu tangga masjid tua itu sekali
lagi. Dari satu pojok  ke pojok yang lain. Dari satu tangga ke tangga
yang lain. Bahkan rak sepatu dan sandal di sisi tempat penitipan barang
telah aku periksa berungkali. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku
menerima kehilangan itu dengan terpaksa. Terpaksa menahan marah,
jengkel, kecewa di ”Rumah” Tuhan. Terpaksa pula kehilangan kesabaran
karena dizalimi di ”Rumah” Tuhan.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang kakek
tua berjubah putih telah duduk persis di samping kananku. Aku setengah
takjub. Belum hilang rasa jengkelku karena kecurian, kedatangan pria
yang seolah misterius ini menambah kalut mesin beripikir di kepalaku.
Meskipun begitu, sejenak aku terhibur. Ia tersenyum amat berwibawa.
Wajahnya berseri. Janggutnya yang lebat rapih menyihirku. Ia menatapku
dalam menghujam.

”Apa yang Engkau risaukan, anak muda?”, sapanya. Suaranya khas sekali. Berat 
dan kharismatik.

”Bapak, siapa?”, kujawab sapaannya dengan balik bertanya.

”Sama seperti kamu, anak muda. Hamba Tuhan.
Mengapa wajahmu kelihatan marah dan tertekan?”, ia kembali bertanya
tentang perasaanku.

”Saya kehilangan sandal. Sandal seharga duaratus
limapuluh ribu. Baru saya pakai sakali ini”, jawab saya datar tidak
seperti lahar kejengkelan yang membara sebelum bertemu laki-laki sepuh
ini.

”Cuma sandal?”, ia balik bertanya mendengara jawaban saya.

”Ya, memang cuma sandal. Tapi harganya cukup mahal”, kilahku.
”Duaratus limapuluh ribu, itu harga yang murah.
Belum sebanding”, kali ini pernyataannya lebih ditekan. Perasaanku ikut
tertekan.

Sejurus, lelaki sepuh berjubah putih itu berdiri.
Tangannya diulurkan ke arahku. Anggukan kepalnya memberi isyarat, agar
aku mengikuti langkahnya. Aku menurut saja.
”Mari saya carikan obat”.

Obat? Aku tak butuh obat pikirku. Kalaupun yang
kubutuhkan sekarang adalah sandalku kembali. Aku juga butuh tahu siapa
orang yang telah mencurinya. Kalau perlu aku akan menghajarnya karena
telah mengambil milik orang yang bukan haknya.

Aku terus mengikutinya hingga sampai di suatu
tempat yang mirip pasar tradisional tapi lengang. Aku dibawanya mampir
ke sebuah toko. Susana di sekitar toko itu pun sepi. Hanya ada satu dua
orang saja yang melintas dan melihat-lihat barang yang dijual.
Kesepiannya mengantarku seperti tengah berada di negeri asing. Suasana
dan orang-orang yang kujumpai asing. Orang yang mengajakku pun asing.
Lalu, Aku ditunjukkan pada pemilik toko yang juga asing. Aku kemudian
tahu, ia menjual sepatu dan sandal-sandal bekas.

”Anak muda, singgahlah sebentar dan tumpahkan
kekesalanmu pada pemilik toko ini. Mudah-mudahan hatimu ridha atas
sandalmu. Sandalmu belum sebanding”. Aku belum tetap mengerti maksud
ucapan ”belum sabanding” lelaki sepuh itu. Aku ingin menanyakannya,
tetapi ia keburu menghilang. Entah kemana.

Tapak kakiku terasa panasperih. Kerikil dan tanah
kering yang terbakar terik matahari, leluasa menusuk-nusuk hingga ke
ujung jari kakiku yang tak lagi bersandal. Kakiku tersiksa oleh
keculasan si pencuri. Dia telah memecah-mecah tumitnya hingga
menyisakan garis-garis hitam. Jelek dan kusam. Yang kumaki kini bukan
lagi si pencuri sandal, tapi juga kuratapi nasib kedua kakiku.

Kuhampiri lebih dekat toko itu. Lebih dekat,
kulihat sosok laki-laki bersurban duduk bersila di atas dipan. Gamisnya
menutup tubuhnya hingga kedua kakinyapun tersembunyi. Melihat
kedatanganku dan mendekat, laki-laki itu tersenyum dan menyambut
hangat. Tapi sedikitpun ia tidak bergeser dari duduknya. Hanya
mempersilahkan aku melihat-lihat barang bekasnya.

”Silahkan anak muda. Barangkali ada yang berkenan
di hatimu”, laki-laki itu menyapa dan menawarkan dagangannya. Aku
merasa ada baiknya memilih sepasang.

” Terima kasih. Kalau bukan karena pencuri sialan
itu, mungkin saya tidak akan sampai di sini”. Aku mulai memaki lagi
nasib buruk beberapa saat lalu. Tanpa terasa keluhan atas semua
kesialanku tertumpah. Kumaki habis pencuri sandal mahalku itu seolah ia
tepat di depanku. Suaraku geram, mataku jalang dan lidah kemarahanku
menyambar-nyambar dinding caci maki dan menumpahkannya sebanyak mungkin
sampai aku capek sendiri.
”Inna lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Sebegitu
marah dan kecewanyakah Engkau anak muda?”, tiba-tiba laki-laki pemilik
toko itu bicara. Segera Aku sepenuhnya sadar, bahwa pemilik toko itu
menangkap semua emosi yang kutumpahkan. Umpat, caci maki dan seribu
kata keji mungkin ia tangkap pula seluruhnya. Menatap matanya, aku
malu. Mendengar responnya, aku membisu.

”Marah dan kata-kata kasarmu tidak sebanding
dengan sandalmu yang dicuri. Jika si pencuri itu hadir di matamu, luka
hatinya atas cacianmu tidak sepadan dengan luka memar di kakimu itu.
Padahal kamu belum tahu alasan mengapa ia mencuri”, pemilik toko itu
menghujam ulu hatiku dengan ucapannya yang tajam lagi datar. Aku
terperangah dengan muka memerah. Kini aku jadi bulan-bulanan atas
mulutku sendiri.

Laki-laki itu melanjutkan, ” padahal bisa jadi ia
mencuri karena terpaksa, bukan semata-mata karena kebiasaannya mencuri.
Mungkin karena lapar, anak dan isterinya juga kelaparan atau karena
satu dan lain hal sehingga memaksanya mengambil milik orang lain”.

”Tapi, mungkin juga karena memang orang itu
terbiasa mencuri, bukan? Bahkan dilakukannya di masjid, Rumah Tuhan”,
Aku mencoba membela diri.

”Mungkin juga. Bahkan karena nekatnya, di masjid
pun ia lakukan. Namun, sikapmu menerima situasi demikian tidak pantas
Anak Muda. Caci dan makianmu tidak mengembalikan sandalmu yang hilang,
sementara mulutmu telah tidak sadar kau kotori dengan dosa oleh
cacianmu itu”.

Ulu hatiku semakin sakit. Aku yang tengah
dirundung sial terus terpojok. Aku membatin. Tapi, kata-kata penjaga
toko itu perlahan mempengaruhi kesadaranku. Ego dan amarahku hampir
redup disiram bijak kata-katanya, meskipun letupan-letupan dendam
kesumat kecil masih timbul tenggelam di ujung nafsu amarah.

”Sandal itu cukup mahal bagi saya. Dua ratus lima
puluh ribu hampir seperdelapan dari gaji saya setiap bulan untuk
harganya. Lagi pula, baru sekali ini saya pakai. Wajar kan jika saya
kecewa dan marah?”, Aku masih mencoba bertahan di antara sisa-sisa
ke-Aku-an yang kian padam.

Laki-laki pemilik toko itu hanya tersenyum
mendengar pembelaanku. Kepalanya menggeleng-geleng ritmis. Alisnya yang
bertaut bergerak ke atas mengikuti gerak tubuhnya yang bergeser
mendekati tepi dipan.

“ Engkau masih beruntung, Anak muda. Karena cuma
sandalmu yang hilang. Harga dirimu tidak koyak, rasa malumu tetap
terjaga dan kepercayaan dirimu masih utuh. Kamu masih patut bersyukur
sebab masih dapat berjalan tegak meskipun tanpa sandal. Kamu tidak
pantas menjadi laki-laki rapuh dihantam marah hanya karena kehilangan
harga dua ratus lima puluh ribu saja. Lihatlah keadaanku”.

Laki-laki itu menyingkap ujung bawah gamisnya. Aku
terkesiap. Ya Tuhan, dua kakinya buntung sebatas pergelangan. Aku
merinding disergap ngeri. Tenggorokanku kering kerontang seketika.
Inikah arti dari ucapan ”belum sebanding” orang sepuh beberapa saat
lalu?

”Aku kehilangan dua pergelangan kaki, Anak muda.
Aku juga tidak tahu berapa harga kedua kaki itu. Yang kuingat bahwa
kecelakaan kerja yang kualami lima tahun lalu merenggut keduanya. Aku
masih bersyukur nyawaku selamat. Allah masih menyayangiku. Lagi pula
Aku tidak pernah membayar untuk sepasang kaki itu. Gratis. Kecelakaan
itu adalah sunnatullah bahwa Yang Maha Memberi, meminta kaki yang
dititipkan padaku dikembalikan pada-Nya. Kamu masih lebih beruntung
berlipat-lipat. Allah hanya meminta sandalmu, bukan kakimu. Lihatlah,
kakimu masih menapak dengan jemarinya yang masih utuh”.

Aku membatu dalam kebisuan. Hancur lebur sudah
kemarahan yang sejak tadi kumanjakan. Gemuruh dadaku berubah warna dari
merah membara menjadi putih kebiruan. Sejuk, lumer dan dan akhirnya
kerdil.

” Anak muda, jangan pernah berpikir absolut bahwa
apa yang selama ini kita genggam adalah milik kita. Semua hal yang Kau
pandang sebagai kekayaan, apapun wujudnya, hakikatnya hanya titipan.
Manusia hanya sebatas diberi hak untuk memanfaatkan dalam kebaikan.
Bukan memiliki sekehendak hati, apalagi dengan membabi buta seperti
orang yang lupa bahwa dunai ini pun akan ditinggalkannya. Kalau hanya
sekedar sandal saja Engkau sudah begitu takabur, bagaimana dengan
kehidupanmu yang kelak juga akan diambil-Nya?”.

Habis sudah diriku. Habis sudah egoku. Air hangat
meleleh dari kedua kelopak mataku. Dadaku sesak oleh luapan tangis yang
kutahan sedapat mungkin. Tagi guncangannya tak kuat kutahan. Sampai
kemudian aku sadar sesadar sadarnya.
”Ayah, bangun Yah, sudah jam empat”.

Antara jaga dan tidur aku merasakan sentuhan
lembut di pundaku. Suara yang amat kukenal membangunkanku dari selimut
malam dan menghentikan dengkurnya. Aku bangun dengan kelopak mata yang
basah. Aku menangis dalam tidur, tapi air mata dan penggalan mimpi
terbawa di alam jaga. Aku benar-benar hanyut. Jauh, jauh sekali. Ya
Allah mimpi apa itu? Apakah Engkau tengah menegurku sebab beberapa
minggu lalu Aku sempat mengeluh lama karena kehilangan telepon genggam
untuk yang kedua kali?
Alhamdulillah, Aku masih hidup dan masih diberi
kesempatan menghirup udara pagi. Ya Allah, rizki yang kau beri memang
datang dan pergi silih berganti. Ampuni Aku Ya Rabb.


Ciputat, Juni 2009.
-----------------sumber : eramuslim.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian 
itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke