Apakah pendapat ahli hisab itu mu'tabar (dapat dijadikan pegangan)? 
  Oleh : Ustadz Hari Febianto

Di dalam Kitabul Fiqhi 'alaa Madzahibil Arba'ah juz 1 hal 467 disebutkan: 
"Tidak dapat dijadikan pegangan pendapat ahli hisab, maka tidak wajib berpuasa 
atas mereka dengan menggunakan hisab mereka.  Juga tidak wajib berpuasa atas 
orang yang mempercayai pendapat ahli hisab. Karena syari' (Nabi Muhammad saw) 
mengaitkan puasa atas tanda2 yang tetap yang tidak berubah selamanya. Tanda2 
itu adalah melihat hilal atau menyempurnakan bilangan 30 hari. Adapun pendapat 
ahli hisab: maka sekalipun didasari atas kaidah2 yang detil, maka kami 
memandangnya tidak tercatat/kuat, dengan dalil berbeda2nya pendapat mereka pada 
kebanyakan waktu. Inilah pendapat 3 Imam Mazhab (Hanafi, Maliki dan Hambali). 
Imam Syafei sedikit berbeda. 

Di dalam catatan kaki kitab tsb disebutkan: 
Adapun Ulama Syafei berpendapat: Pendapat ahli hisab itu mu'tabar (tapi) untuk 
dirinya sendiri dan untuk orang yang mempercayai si ahli hisab. Maka tidak 
wajib berpuasa atas manusia secara keseluruhan dengan menggunakan pendapat si 
ahli hisab, atas pendapat yang kuat. (alias tidak diumumkan). (Jadi yang tahu 
hisab boleh mengamalkan ilmunya, untuk diri sendiri. Tidak untuk 
disebarluaskan). 


Dr Wahbah az Zuhaili dalam al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 3hal 1652 
menjelaskan: 
Menuruh Ulama Hanafi: dan tidak bisa dijadikan pegangan berita yang 
diberitahukan oleh ahli hisab, karena menyalahi syariat Nabi kita saw, karena 
sesungguhnya, sekalipun sah/benar hisab/penelitian itu, maka kita tidak 
diperintahkan secara syara' kecuali dengan ru'yah yang biasa. 

Dalam juz yg sama hal 1653, menurut Ulama Maliki: maka hilal tidak bisa menjadi 
ketetapan dengan pendapat ahli hisab yaitu orang yang menghitung perjalanan 
bulan. Baik bagi si ahli hisab maupun yang lainnya. Karena Nabi mengaitkan 
puasa, Idul Fithri, haji dengan ru'yatul hilal. Bukan dengan wujudul hilal 
sekalipun perhitungannya benar. Maka mengamalkan dengan penelitian falak 
sekalipun benar, tidak boleh dan tidak dituntut secara syara' seperti yang 
lain. 

Pada hal 1654, Dr Wahbah menjelaskan pendapat ulama Hambali: Dan tidak wajib 
puasa dengan sebab hasil hisab, sekalipun kebanyakannya tepat, karena tidak ada 
sandarannya terhadap apa yang dijadikan pegangan secara syara'. 


Di dalam Taudhihul Ahkam syarah Buluguhl Marom juz 3 hal 132 disebutkan: 
Ru'yah itu adalah yang dijadikan sandaran secara syara' di dalam hukum puasa 
dan Ied. Dan sesungguhnya tidak mu'tabar dengan hisab. Maka tidak sah bersandar 
dengan hisab pada segala hal keadaan. 
Berkata Syeikhul Islam: Dan tidak ragu bahwasanya ketetapan dengan sunnah yang 
shohih  dan atsar para sahabat bahwasanya tidak boleh berpegang atas hisab, dan 
bersandar kepada hisab. Sebagaimana itu sesat didalam syariah dan bid'ah  di 
dalam agama. Dan dia itu salah menurut akal dan ilmu hisab. Karena sesungguhnya 
para ulama haiah mengetahui bahwa ru'yah tidak tercatat/terkait dengan urusan 
hisab. Karena hisab berbeda2 dengan sebab berbeda2nya ketinggian tempat dan 
rendahnya tempat dsb. 


Di dalam Misbahuz Zhulam juz 3 hal 185 disebutkan: 
Dari Ibnu Umar ra berkata: Aku mendengar Rosululloh saw bersabda: Apabila kamu 
melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kamu melihat hilal maka berIed-lah. 
Maka apabila terhalang awan, maka kadarkanlah. (muttafaq 'alaih) 
Dan pada riwayat Muslim disebutkan: maka apabila tertutup awan atasmu, maka 
kadarkanlah baginya 30 hari. 
Dan pada riwayat Bukhori: maka sempurnakanlah bilangan 30. 
Dan hadits lain: dari hadits Abu Huroiroh ra: maka sempurnakanlah bilangan 
Sya'ban 30. 

Syeikh Muhajirin menjelaskan dalam kitab tsb: 
Hadits ini menunjukkan atas perintah puasa apabila terlihat hilal secara 
praktek. Dan menunjukkan Ied apabila terlihat ru'yah secara praktek. 
Maka puasa dikaitkan dengan penetapan hilal, dan Ied demikian juga. Dan pada 
hadits ini menunjukkan ketiadaan sandaran hisab bulan, baik 1 derajat maupun 2 
derajat dsb. Maka masalah ini berpusat pada ru'yah malam 30, sya'ban pada 
penetapan romadhon, dan romadhon pada penetapan syawal. 
Maka apabila kami menhukumkan bahwa hisab itu bisa dijadikan pegangan,  tentu 
akan melazimkan tidak adanya hari syak. Karena dengan hisab akan menghilangkan 
syak. Padahal ada ketetapan pada riwayat Ammar mengenai hari syak. Maka hadits 
menunjukkan atas ketetapan adanya hari syak..... 

Maka Jumhur ulama salaf menetapkan ru'yah dengan fi'il (praktek). Kesimpulannya 
dari penetapan hadits, bahwasanya apabila tertutup awan atas manusia, maka 
diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan 30 hari. 


2. Lalu, apa makna surah Yasin ayat 39-40 tsb? (Dan telah Kami tetapkan  tempat 
peredaran bagi bulan sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang 
terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi 
matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahuluinya. Masing2 beredar 
pada garis edarnya). 

Di dalam tafsir al Khozin juz 6 hal 9 disebutkan: 

Dan bulan, artinya Kami taqdirkan  baginya ada beberapa mazilah, yaitu 28. 
Menempati tiap malam pada tempat turunnya, tidak melampauinya. Berjalan pada 
manzilah dari malam pertama hingga 28. Kemudian tertutup 2 malam atau satu 
malam yang berkurang. Apabila berada diakhir manzilahnya, lalu menjadi tipis  
dan berbentuk spt busur panah. Demikian firman Alloh: hingga kembali spt tandan 
kurma yang tua. Apabila datang, maka terbebas dan mengering dan berbentuk busur 
dan menguning. Maka diserupakan  bulan dengan tandan kurma ketika selesai  
akhir manzilahnya. 

Artinya Tidak masuk siang kepada malam sebelum selesai malam. Dan tidak masuk 
malam kepada siang sebelum berhenti siang. Keduanya saling bergantian. Satu 
keduanya tidak akan datang sebelum waktunya. Pendapat lain: tidak masuk salah 
satu keduanya pada kekuasaan yang lain. Maka matahari tidak terbit pada malam 
dan tidak terbit bulan disiang hari. Dan bulan punya cahayanya. Maka apabila 
berkumpul  dan satu mendapatkan/bertemu yg lain, terjadilah kiamat. Satu 
pendapat: bahwa matahari tidak berhimpun dengan bulan pada falak yang satu. 
Maka tidak bersambung satu malam dengan malam yang lain melainkan diselingi 
siang antara kedua malam tsb. 

3. Hadits : Sesungguhnya kami umat yang umi, tidak menulis dan idak berhisab. 
Bulan itu demikian dan demikian artinya satu kali 29 dan satu kali 30 (HR 
Bukhori dan Muslim). 

Imam Ibnu Hajar al Asqolani menjelaskan dalam Fathul Bari juz 4 hal 158: 
Hadits: sesungguhnya kami (orang Arab) itu ummi. Tidak menulis dan berhisab. 
Satu pendapat: orang Arab itu ummi karena yang bisa tulis menulis pada mereka 
itu jarang. Tidak tertolak bahwa ada juga diantara mereka yang bisa menulis dan 
berhisab. Karena penulisan yang ada pada mereka sedikit dan jarang. Tidak ada 
yang tahu ilmu hisab melainkan sedikit saja.  Maka dikaitkan hukum puasa  dan 
lainnya dengan ru'yah untuk menghilangkan kesusahan pada mereka dalam 
memperhatikan hisab. Dan sekalipun terjadi setelah mereka, orang yg tahu hisab. 
Akan tetapi zhohir hadits menunjukkan penafian mengaitkan hukum dengan 
menggunakan hisab secara asal.  Dan hadits Nabi juga menjelaskan jika tertutup 
awan atasmu, maka sempurnakan bilangan 30, Nabi tidak bersabda: maka tanyalah 
kepada ahli hisab........................... 

Selanjutnya dijelaskan" Dan sungguh syariat melarang  memperdalam ilmu hisab 
karena ilmu tsb terdapat penaksiran2 dan juga pengira2an, tidak ada kepastian 
juga zhon yang kuat. Serta jikalau dikaitkan urusan dengan hisab sungguh 
menjadi sempit karena tidak ada yang tahu hisab melainkan sedikit. 

Kata Ibnu Bathol, hadits ini untuk menghilangkan untuk memperhatikan hisab 
dengan aturan2 pengadilan. Hanyasanya yang dijadikan pegangan adalah ru'yah 
hilal, dan sungguh kami dilarang memberat2kan. Dan tidak ragu, bahwa dalam 
memperhatikan sesuatu secara mendalam hingga tidak mendapatkannya melainkan 
dengan sangkaan adalah  taklif yang memberatkan. 

4. Siapa yang pertama kali melakukan hisab. 
Di dalam kitab Badai'uz Zuhur hal 51, disebutkan: 
Dan ia (Idris as) adalah orang yang pertama kali menulis dengan pena, yang 
pertama menulis shuhuf, dan pertama kali yang melihat/mengetahui ilmu nujum dan 
hisab. 

Juga di dalam Qishoshul Anbiya hal 28 disebutkan:ulama berpendapat bahwasanya 
beliaulah (Nabi Idris as) yang pertama kali membicarakan benda2 langit dan 
gerakan bintang2. 

Alm KH Moh Roshi Sholeh dalam bukunya 'Rukyatul Hilal' hal 55, menjelaskan: 
Menurut catatan ahli hisab, ilmu hisab falak itu sudah dikenal orang sejak 
lebih dari seribu tahun sebelum Nabi Isa lahir, terutama di Mesir, India dan 
Cina. Tetapi sampai sekarang ini hasil perhitungan hisab dari berbagai tabel 
yang banyak macamnya itu satu sama lain berbeda. 

Beliau menjelaskan lagi: 
Daftar atau tabel ilmu hisab yang dibuat para ahli hisab untuk menentukan 
ketinggian hilal, gerhana dan lainnya itu berjumlah ratusan buah dari berbagai 
negara termasuk pula dari Indonesia. Bahkan kalau daftar2 hisab itu dikumpulkan 
semua sejak dari zaman sebelum Nabi Isa sampai sekarang tentunya mencapai 
jumlahnya ribuan buah. Semua tabel itu dibuat oleh para ahli hisab falak pada 
zamannya. Masing2 menganggap tabel mereka itu benar. Tetapi kalau tabel2 itu 
dipergunakan untuk mencari tinggi hilal di suatu tempat, di Jakarta umapamanya, 
ternyata hasilnya tidak sama walaupun daftar2 tsb dibuat oleh negara2 maju 
seperti AS, Inggris, Rusia dll. 



Best Regards,

Harry Febianto
AGNS Indonesia
[EMAIL PROTECTED]



       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to