Assalamu'alaikum wr wb,
Saat ini saya lihat ada orang-orang yang begitu mudah mengkafirkan sesama 
Muslim. Padahal jika tidak benar, maka dia sendirilah yang kafir.
Seseorang tetap di atas Islam selama dia meyakini Tidak ada Tuhan Selain Allah, 
beriman kepada Malaikat, Kitab Suci terutama Al Qur'an, mengakui Nabi Muhammad 
sebagai Nabi terakhir, percaya kepada hari kiamat, beriman kepada takdir dan 
menjalankan 5 rukun Islam (Zakat jika cukup nisab dan haul serta haji jika 
mampu).

Jika dia sudah meyakini dan melaksanakan itu, haram bagi kita mengkafirkannya.

http://majalahummatie.wordpress.com/2010/03/05/bahaya-mengkafirkan-sesama-muslim/
Bahaya Mengkafirkan Sesama Muslim
Ulama ahlussunnah telah sepakat tentang bahayanya mengkafirkan seorang muslim, 
karena hal ini didasari  kaidah, “Siapa yang telah tetap keislamannya dengan 
keyakinan, maka tidak akan hilang dengan sekedar keraguan. Yakni barangsiapa 
telah diketahui dengan yakin bahwa dia seorang muslim maka tidak hilang sifat 
islam itu hanya sekedar keraguan.”
Oleh karena itu Ahlussunnah sangat hati-hati dalam mengkafirkan seorang muslim, 
karena mengkafirkan seorang muslim sangat berbahaya akibatnya, baik bagi yang 
di tuduh atau si penuduh. Seseorang hendaknya tidak masuk dalam perkara ini 
kecuali dengan dalil dan bukti yang jelas, dan selama masih ada jalan untuk 
menghindari perkara ini maka harus di tempuh, karena pengkafiran seorang muslim 
ini merupakan pintu yang sangat berbahaya dan tidak semua orang boleh 
memasukinya.
Tentang pengkafiran (takfir) terhadap seorang muslim Nabi  telah memperingatkan 
hal ini, beliau bersabda, “Siapa saja seseorang yang mengatakan kepada 
saudaranya, “hei kafir” maka julukan itu akan kembali kepada salah seorang dari 
keduanya. Jika orang yang dituduh itu benar, maka sesuai dengan apa  yang 
dituduhkan, tapi jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada yang 
melemparkannya.” (HR. Muslim). Di dalam hadits yang lain Rosululloh  juga 
bersabda, “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau 
kekafiran, kecuali akan kembali kepada si penuduh jika orang yang dijuluki itu 
tidak demikian keadaannya.” (HR. Bukhori)
Karena pengkafiran ini adalah hukum syar’i atau syari’at Alloh  dimana 
konsekuensinya adalah halalnya darah seseorang yang tadinya telah nampak 
keislaman karena dua kalimat syahadat, sebagaimana Rosululloh  juga bersabda, 
“Barangsiapa telah menukar/merubah agamanya maka bunuhlah ia.“ (HR. Bukhori).
Jadi seorang muslim yang murtad (meninggalkan Islam) maka hukumnya dibunuh 
menurut syari’at Islam. Dan bukan hanya ini saja, ada konsekuensi-konsekuensi 
lain yang harus ditegakkan setelah seseorang itu jelas-jelas dikafirkan yakni:
Pertama, istrinya tidak lagi halal lagi baginya, sebab seorang muslimah haram 
dinikahi oleh orang kafir, demikian juga anak-anaknya yang muslim tidak lagi di 
bawah perwalian ayahnya yang kafir.
Kedua, orang yang telah kafir wajib dihadapkan kepada mahkamah untuk diterapkan 
hadduriddah atau hukuman murtad yaitu dibunuh karena dia telah kafir setelah 
Islamnya dan ini dilakukan setelah diminta taubatnya, ditegakkan hujjah dan 
seterusnya.
Ketiga, apabila ia telah dibunuh dan mati di atas kekafirannya itu, maka tidak 
berlaku baginya hukum-hukum kaum muslimin. Seperti tidak boleh dimandikan 
jenazahnya, disholati, tidak boleh pula dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan 
hartanya tidak boleh diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim.
Keempat, jika ia telah mati di atas kekafiran, maka laknat Alloh , para 
malaikat-Nya dan seluruh manusia, akan tertimpa kepadanya dan ia akan kekal di 
dalam neraka, naudzubillahi min dzalika. Kaum muslimin pun tidak boleh 
mendoakan ampunan, istighfar dan rohmat bagi orang yang telah dinyatakan kafir 
setelah Islam.
Jadi begitu berat konsekuensi takfir tersebut sehingga ahlussunnah dalam hal 
ini sangat hati-hati, tidak gegabah dan tidak sembarangan mengkafirkan seorang 
muslim tanpa bukti dan keterangan yang jelas.
Akan tetapi ahlussunnah juga membedakan takfir menjadi dua yaitu takfir mutlak 
(pengkafiran secara umum) dan takfir mu’ayan (pengkafiran secara individu, 
perorangan) dan ini termasuk prinsip yang penting bagi ahlussunnah dalam hal 
ini, yaitu pengkafiran secara mutlak dan pengkafiran orang tertentu ini 
berbeda, karena mungkin saja seorang muslim mengucapkan perkataan kufur atau 
melakukan perbuatan yang mana al Quran dan as-Sunnah serta ijma’ telah sepakat 
menyatakan perbuatan itu kufur dan riddah (kemurtadan) namun tidak serta merta 
dengan melakukan demikian orang itu menjadi kafir. Jadi tidak selamanya yang 
melakukan demikian dihukumi kafir. Boleh jadi perkataan, statement, pendapat, 
teori dan pemikirannya jelas kufur atau riddah, tapi orang yang mengatakannya 
tidak dihukumi kufur. Demikian juga orang yang melakukan perbuatan tadi, tidak 
mesti disifati sebagai orang kafir karena semua itu ada syaratnya. Karena untuk 
meng-isbatkan atau menetapkan
 pengkafiran seorang muslim, semua ini ada syarat-syaratnya dan harus hilang 
semua mawani’ (penghalang-penghalangnya).
Seorang muslim baru boleh dinyatakan kafir jika dia mengucapkan atau melakukan 
perbuatan kafir dan semua syarat-syarat takfir ada serta penghalang takfir 
tidak ada.
Bisa jadi seorang yang mengucapkan hal tersebut adalah seorang mualaf atau 
seorang yang bodoh dan kebodohannya itu ma’dzur (di tolelir) yang mungkin ia 
tidak tahu tentang hal itu, dimana jika hal itu dijelaskan padanya maka ia 
kembali dari pernyataanya atau seorang yang mengingkari sesuatu karena 
muta’awilan (menta’wil) dan dia keliru dalam ta’wilnya itu.
Jadi ahlussunnah wal jama’ah menyatakan kufur atau takfir mutlak misalnya 
dengan mengatakan, “Barangsiapa menyatakan begini-begini atau melakukan 
perbuatan demikian maka ia kafir” dan ini di ucapkan dengan mutlak oleh 
ahlussunnah wal jama’ah. Tetapi jika perkara tersebut terkait orang-perorang 
tertentu yang mengucapkan kalimat kekufuran atau perbuatan tersebut, maka 
ahlussunnah tidak serta-merta mengkafirkan orang tersebut sehingga terkumpul 
pada orang itu syarat-syarat takfir dan tidak ada lagi mawani’ atau 
penghalang-penghalangnya. Jika semua itu telah terwujud, maka telah tegak 
hujjah bagi orang tersebut. Adapun tentang mawani’ akan kita bahas lebih lanjut 
insya Alloh .
Inilah kaidah yang penting sekali yang membedakan ahlussunnah dengan yang 
lainnya. Karena takfir bukan hak semua orang, dimana semua orang bisa 
mengkafirkan orang lain sesuka hatinya. Karena takfir adalah hukum syar’i maka 
harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah hukum syara’.
Maka siapa yang Alloh  dan Rosul-Nya telah mengkafirkannya dan telah tegak 
atasnya hujjah maka dialah orang yang kafir. Jadi semua harus dikembalikan 
kepada syari’at Alloh .
Imam Ibnu Taimiyah  telah berkata, “Boleh jadi suatu perbuatan atau perkataan 
itu kufur dan secara umum disebutkan bahwa perkataan ini kafir atau siapa yang 
menyatakan ini kafir, akan tetapi orang tertentu yang mengucapkan perkataan 
tadi atau perbuatan tadi tidak dihukumi kufur hingga tegak atasnya hujjah.” Dan 
perkara ini berlaku umum bagi setiap nash-nash wa’id (ancaman). Sehingga tidak 
boleh dipersaksikan terhadap orang-orang tertentu dari ahlul qiblat (kaum 
muslimin) bahwasanya dia ahlunnar (penghuni neraka), jadi tidak boleh 
memastikan bahwa si fulan ini adalah min ahlinnaar (dari golongan penghuni 
neraka) karena bisa jadi dia tidak terkena kekufuran tadi disebabkan ada syarat 
yang luput atau ada penghalang yang terjadi padanya.
Oleh karena itu ahlussunnah sangat hati-hati dalam takfir, bahkan Syaikhul 
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan pula, “Tidak boleh bagi seorangpun untuk 
mengkafirkan seorangpun dari kalangan kaum muslimin, meskipun orang itu keliru 
dan menyimpang atau berbuat kesalahan, hingga ditegakkan baginya hujjah dan 
dijelaskan jalan yang lurus. Dan barangsiapa telah nyata keislamannya dengan 
yakin maka tidak hilang hal itu darinya dengan keraguan.” Inilah kaidah yang di 
pegang oleh ahlussunnah yakni siapa yang telah nyata dalam keislamannya dengan 
keyakinan, maka tidak akan hilang dengan sekedar keraguan.
Saya pernah membaca suatu makalah yang mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah  adalah orang yang gampang mengkafirkan orang lain bahkan menjuluki 
beliau dengan julukan Khawarij (orang yang keluar dari golongan kaum muslimin) 
dan menyebut para mujadidin (ulama pembaharu) dari kalangan ahlussunah dengan 
sebutan Khawarij, karena mereka dengan mudah mengkafirkan kaum muslimin dan 
menghalalkan darah mereka dan seterusnya.
Padahal justru jika kita baca kitab-kitab yang di tulis mereka sendiri, baik 
itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , Muhammad bin Abdul Wahab , dan lain-lain, 
mereka sangat hati-hati, tidak serampangan dan sembrono dalam mentakfir dan ini 
jelas sekali tertulis dalam kitab-kitab mereka. Dan takfir mereka itu jelas 
bersifat mutlak dan tidak mu’ayan kecuali bagi orang-orang yang sudah jelas 
tegak hujjah atasnya.
Jadi mereka yang mengatakan bahwa ahlussunnah, dan lebih khusus lagi 
ulama-ulamanya mudah mengkafirkan dan seterusnya, mereka hanya mendengar subhat 
dan tidak melihat serta membaca sendiri kitab-kitab atau karya yang ditulis 
oleh ulama-ulama tersebut.
Seperti dikutip di atas, sekarang kita akan membahas mawani’ at takfir 
(penghalang-penghalang takfir). Menurut ahlussunnah, takfir bisa terhindari 
karena adanya penghalang-penghalang untuk dijatuhkan vonis takfir pada 
seseorang, adapun sebab-sebab tersebut adalah:
Pertama, al-jahl (kebodohan). Karena syarat seseorang itu beriman dia telah 
mengetahui dan memiliki ilmu bahwa hal ini termasuk dari iman atau akidah Islam 
yang wajib di imani. Ketika dia tahu itu, maka wajib mengimani. Oleh karena itu 
barangsiapa mengingkari perkara-perkara syariat karena kebodohannya dan belum 
sampai kepadanya ilmu yang benar dan dalil yang jelas, maka dia tidak boleh 
dikafirkan, meskipun dia telah  terjatuh pada salah satu bentuk kekafiran atau 
kesyirikan sekalipun. Karena boleh jadi ketika dia baru masuk Islam, ia tidak 
tahu bahwa ini termasuk perbuatan kesyirikan atau kufur karena dia belum 
mengenal Islam secara benar. Atau dia tinggal di suatu negeri yang disitu 
tersebar kebodohan atau jauh dari sumber-sumber ilmu dan ulama. Dimana disitu 
kesyirikan dikenal orang sebagai tauhid dan bid’ah di anggap sunnah dan banyak 
sekali penyimpangan, sehingga kebatilan itu ditampakkan haq serta samar bagi 
kebanyakan orang. Maka dengan alasan
 ini, haram seseorang itu untuk di takfir. Atau bisa jadi perkara yang 
menyebabkan dia kafir itu adalah perkara-perkara khofiyah (tersembunyi) yang 
tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Dan orang seperti ini tidak berhak 
dijatuhi vonis sampai ditegakkan baginya hujjah yaitu sampai dijelaskan bahwa 
perkara-perkara tersebut adalah hal yang dilarang dalam syariat. Keadaan 
manusia berbeda-beda, mencakup negeri dimana mereka tinggal dan zamannya 
ditinjau dari penyebaran ilmu atau tidaknya. Jadi tidak semua kaum muslimin 
dalam derajat yang sama dalam hal tegaknya hujjah ini. Karena bisa jadi bagi 
sebagian orang tertentu mereka tahu bahwa perkara tersebut adalah termasuk dari 
Islam namun sebagian yang lain tidak tahu bahwa itu termasuk dari Islam. Ini 
bisa menjadi mawani’ seseorang dijatuhi hukum takfir.
Kedua, al-khoto’ (keliru atau tidak sengaja), Alloh  berfirman:
}§øŠs9ur öNà6ø‹n=tæ Óy$uZã_ !$yJ‹Ïù Oè?ù’sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy‰£Jyès? 
öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Y‘qàÿxî $¸JŠÏm§‘ ÇÎÈ
“Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru padanya, tetapi 
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hati-hati kalian. dan adalah Alloh 
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al Ahzab: 5). Rasululloh  bersabda 
dalam sunan Ibnu Majah dan di shohihkan pula oleh al-Albani , “Sesungguhnya 
Alloh  telah memaafkan dari umatku kekeliruan (lupa atau tidak sengaja) dan 
sesuatu yang terjadi karena di paksa.”
Ketiga, di ancam atau dipaksa ini pun udzur yang di akui oleh ahlussunnah wal 
jama’ah. Tentang hal ini ada penjelasan tersendiri. Jadi seorang yang dipaksa 
untuk mengucapkan kata-kata kufur atau kesyirikan dibawah ancaman maka 
perbuatannya itu tidak menjadikannya kafir. Dia yakin benar bahwa si pengancam 
ini mampu melakukan ancamannya berupa penyiksaan yang sangat menyakitkan 
seperti pemukulan atau bahkan lebih dari itu dan bahkan bisa menyebabkan 
kematian. Ancamannya bukan hanya gertakan belaka. Maka dalam keadaan ini semua 
perkataan kufur yang di perbuatnya tidak di anggap kafir oleh syariat dan 
dimaafkan.
Tetapi ahlussunnah juga sepakat bahwa bagi siapapun yang di ancam untuk kufur, 
namun dia memilih mati dan di siksa daripada mengucapkan perkataan kufur, maka 
pahalanya lebih besar di sisi Alloh  daripada yang memilih rukshsoh 
(keringanan). Karena bersabar dan teguhnya dalam memegang perkara yang teguh 
ini memiliki derajat yang tinggi di sisi Alloh  dan lebih afdhol daripada 
mengambil rukshoh meskipun itu boleh.
Akan tetapi seseorang yang mengucapkan perkataan kufur karena main-main, maka 
ini tidak diterima menurut syariat.
Keempat, at-ta’wil (ta’wil), yakni menta’wilkan nash dengan ta’wil yang keliru. 
Ahlussunnah sepakat bahwa ta’wil yang di tolelir yaitu ta’wil yang memiliki 
sudut pandang lain dan dibenarkan secara ilmu dan bahasa Arab, ini termasuk 
salah satu penghalang dari takfir. Misalnya, seseorang menta’wilkan sesuatu 
namun karena kedangkalan pemahamannya terhadap dalil-dalil syar’i atau dia 
bersandar kepada subhat-subhat yang memalingkan dia dari pendapat yang haq tapi 
dia tidak sengaja menyelisihi yang haq dan tidak membantah atau mendustakan dan 
menolak. Dia hanya berpendapat bahwa dalam memaknai ayat ini seperti ini yang 
dia ketahui menurut ilmunya yang terbatas itu. Maka kekeliruannya ini tidak 
menjadikannya kufur. Dan ta’wil semacam ini adalah ta’wil yang tercela jika 
tidak sampai menggugurkan hukum-hukum syari’at namun jika sampai menggugurkan 
hukum-hukum syariat maka ini lebih tercela lagi dan ini akan menjadi 
pokok-pokok penyimpangan.
Dan dalam hal ini ahlussunnah juga sepakat bahwa ada ta’wil yang tidak bisa 
diterima oleh syariat, seperti ta’wilnya para pengikut kebatinan seperti al 
Hallaj dan Ibnu Arobiy. Mereka memiliki ta’wil juga dalam menafsirkan ayat-ayat 
al Quran ta’wil mereka sangat jauh dan menyimpang dari kebenaran. Jadi 
ahlussunnah menolak ta’wilnya para penganut kebatinan dan juga para filosof 
dimana ta’wil mereka mendustakan agama baik secara global atau secara rinci.
Kelima, taqlid (mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah) 
dan ini terjadi ketika seseorang tidak mengetahui dalil syar’i maka dia 
mengikuti perkataan seorang alim (ulama). Taqlid menjadi dua macam pula yaitu 
ada taqlid yang mubah yakni taklidnya seorang yang awam karena tidak tahu 
tentang bagaimana cara memahami syari’at dari sumber-sumbernya serta ia 
benar-benar tidak mampu mengetahuinya. Yang kedua adalah taqlid mazmum yakni 
taqlid yang dilarang karena taqlidnya seseorang kepada seorang dikalangan ulama 
dalam seluruh perkataan dan perbuatannya dimana dia tidak melihat al-haq 
(kebenaran) kecuali apa yang dikatakan imamnya.
Keenam, al-ajz (kelemahan/ketidak-mampuan) melaksanakan sebagian 
kewajiban-kewajiban syariat, misalnya seorang yang masuk Islam namun tinggal di 
negeri kafir dan dia tidak mampu hijrah karena dilarang penguasa, hingga tidak 
bisa melaksanakan sholat jum’at , haji dan sholat berjama’ah atau karena disana 
tidak ada seorang alim pun  yang mengajarinya tentang Islam tapi ia bersaksi 
dan menerima Islam dengan penuh, namun karena kelemahannya dia tidak mampu 
menjalankan syariat, maka hal ini menjadi alasan  baginya untuk tidak 
dikafirkan.
.
===
Dukung TV Komunitas Dakwah di: 
http://media-islam.or.id/2011/09/08/ingin-berjihad-untuk-tv-yang-mendidik-dan-islami
Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits di http://media-islam.or.id
Jasa Pembuatan Website (All in) 2 Dinar: 
http://media-islam.or.id/2010/07/22/pembuatan-website-seharga-2-dinar
Milis Syiar Islam: syiar-islam-subscr...@yahoogroups.com

Kirim email ke