Bismillaah

Assalamu'alaykum wa Rohmatulloohi wa Barokatuhu

 
Kewajiban untuk Bertauhid

Oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani

Merealisasikan Tauhid

Pembahasan ini merupakan tema yang cukup menarik bagi seseorang yang beriman 
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan 
keimanannya. Dengan demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. 
Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan 
merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanahu wa 
ta’ala.

Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan 
memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau 
tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan 
dosa besar yang dilakukan dengan terus menerus. Maka seorang yang berkemauan 
untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana 
yang diutarakan tadi.

Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan 
sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyah, 
uluhiyyah, serta nama dan sifat-Nya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara mengikutinya. Pengertiannya adalah 
dia tidak mengikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah 
yang disebut dengan tauhid mutaba’ah.

Seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan tauhid 
dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak disertai dengan 
bertaubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah. Di 
samping itu dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang 
tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini merupakan 
bentuk realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah makna 
merealisasikan tauhid secara sempurna.

Di samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang 
jelas atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala 
kebid’ahan dan dosa besar yang diperbuat dengan terus menerus tanpa bertaubat. 
Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan hawa 
nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah dosa besar. 
(Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh 
di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid) .

Tingkatan Merealisasikan Tauhid

Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:

1. Tingkat yang Wajib

Yaitu seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya 
dari berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan 
terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin 
merealisasikan tauhid dengan sempurna.

2. Tingkat yang Mustahab

Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab itu 
tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang 
ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, 
keinginan, dan tujuan yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya 
tidak menghadap, berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah sedikit pun dan 
sekecil apapun. Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi 
hamba Allah secara total dan utuh.

Dengan demikian, seorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan 
berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga 
meninggalkan perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang 
dikhawatirkan menggiring kepada perkara harom. Inilah yang diungkapkan oleh 
sebagian ulama dengan pernyataan

“Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir 
terdapat dosa di dalamnya”.

Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara 
sempurna dalam meraih derajat yang setingi-tingginya ketika masuk surga. 
Sedangkan tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa adzab dan 
perhitungan amal.

Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam mengibadahi 
Allah subhanahu wat’ala. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan 
perkara-perkara yang wajib saja.

Beda halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini peribadahan kepada Allah 
tidak hanya sebatas dalam perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam 
perkara-perkara yang mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid 
sedangkan tingkatan kedua disebut dengan As-Saabiq bil Khairot. Wallahu a’lam.

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Profil Muwahhid Sejati

Allah berfirman dalam Al-Quranul Karim,

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi 
patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang 
yang berbuat syirik.” (QS. An-Nahl: 120)

Di sini Allah memberitakan tentang profil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang 
merealisasikan tauhidnya secara sempurna. Beliau adalah seorang pemimpin dan 
teladan dalam kebaikan-kebaikan terutama perkara tauhid. Beliau adalah seorang 
yang tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh situasi, 
kondisi dan tempat.

Sifat lain yang beliau miliki yaitu menghadapkan diri kepada Allah dengan 
sepenuhnya tanpa berpaling sedikit pun kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat 
beliau ini merupakan hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah 
subhanahu wa ta’ala.

Pada ayat di atas diterangkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk 
dari golongan orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini 
mencakup dua makna:

1. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin 
secara fisik. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri, tidak bergabung dan 
berkumpul bersama-sama kaum musyrikin dengan jasadnya.

2. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin 
secara sifat dan perilaku. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri dan 
tidak melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula beliau ‘alaihis salam 
tidak mengikuti adat kebiasaan kaum musyrikin yang bergelimang dengan 
kebid’ahan dan kemaksiatan di samping kesyirikan.

(Seluruh keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alus 
Syaikh di kaset Kitabut Tauhid).

Pada ayat di atas dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam disebut sebagai 
satu umat padahal beliau sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh 
jalan tauhid tidak merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit.

Selanjutnya beliau ‘alaihis salam dikukuhkan oleh Allah sebagai seorang yang 
tunduk dan patuh kepada-Nya. Berarti beliau ‘alaihis salam bukan seorang yang 
tunduk kepada penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. 
Maka tidak ada yang selain mereka.

Maka tidak ada yang bisa menguasai beliau ‘alaihis salam selain Allah, baik 
dari golongan para penguasa maupun para orang kaya yang punya harta dan yang 
selain mereka. Beliau ‘alaihis salam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta 
atau yang selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai 
seorang yang patuh dan tunduk kepada-Nya.

Berikutnya beliau ‘alaihis salam disifatkan sebagai seorang yang hanif. 
Maksudnya beliau ‘alaihis salam seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan 
berpaling dari yang selain-Nya tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri. 
Demikianlah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang 
sifat-sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana pada ayat di atas.

 
Wallahu a’lam bishshawaab.

(Sumber: http://alhujjah. wordpress. com/tauhid)


Walhamdulillaah


Wassalamu'alaykum wa Rohmatulloohi wa Barokatuhu




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke