Diambil dari:http://www.jkmhal.com/main.php?sec==content&cat==2&id=%26     

Kalimat Menunjukkan Hati
  -->
  “Setiap kalimat yang keluar pasti menunjukkan isi hati orang yang 
menuturkannya. E
Lisan adalah penerjemah kata hati. Jikalau hati itu bersih dari kotoran, suci 
dari kehidupan duniawi, dan memancar darinya cahaya, maka tutur kata dan 
percakapannya sesuai dengan kata hatinya. Percakapan yang disampaikannya 
mengeluarkan cahaya yang memancar masuk kedalam telinga orang yang mendengarkan 
nasihat dan seruannya. Hati orang yang mendengar menjadi tersentuh, dan 
terbukalah hati nurani mereka untuk mencintai seruan Allah SWT yang menjadi 
kekasih mereka.

Oleh karena setiap kalimat yang diucapkan oleh seorang Da’i keluar dari hatinya 
sendiri dengan hidayah dari Allah, maka yang mendengarnya dengan hidayah Allah 
pula menerima dengan hati nuraninya. Manusia ketika mendengar nasihat dan tutur 
kata seseorang tidak semata-mata menginginkan ilmu yang akan disampaikan, akan 
tetapi lebih dari sekedar ilmu, yakni sentuhan dan getaran nurani yang mampu 
menggerakkan dan menyadarkan jiwa, prilaku, dan pikiran manusia.

Kedudukan seorang Da’i yang mendalam ilmunya, dan tinggi makrifatnya didalam 
masyarakat diperlukan bagi pembinaan jasmani dan ruhani umat yang mursyid dan 
arif, mereka (para Da’i) akan mempercepat masuknya sinar Islam kedalam ruhnya 
umat dengan percikan sinar dari tutur katanya yang langsung menembus hati 
nurani pendengarannya.

Orang mendengar ucapan melalui hidayah Allah yang disampaikan kepada umat . 
Karena tutur kata yang dikeluarkan oleh hati juga. Sebaliknya, ucapan yang 
disampaikan bukan dari cahaya hati, maka ucapan seperti itu akan sampai 
ditelinga belaka. Diterima oleh telinga kanan dan dikeluarkan melalui telinga 
kiri, tidak mengendap masuk kedalam hati. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad 
bin Wasi E ketika ia ditanya, “Mengapa ucapan orang banyak yang tidak dirasakan 
oleh kalbu umat, dan tidak juga mencucurkan air mata? Maka ia menjawab, 
“Mungkin ucapan yang keluar, hanya dari kerongkongan dan hanyalah dari mulut 
saja, tidak keluar dari nurani dan tidak tulus. ESebab, apabila tutur kata kita 
hanya sekedar daya pikir dan imajinasi belaka, maka itu tetap menjadi susunan 
kata belaka, tidak memberi makna bagi jiwa dan tidak menyentuh hati. Ibarat 
kalimat yang gersang pula.

Seluruh ucapan seorang Da’i hendaklah ditimbang dan dimasak dengan rencana yang 
teratur, akan tetapi jangan lupa selalu memohon hidayah dan inayah Allah. 
Sebelum mengadakan pendekatan dengan manusia, dekatilah terlebih dahulu Allah 
SWT. Retorika saja tidak mampu mengangkat suara yang kita ucapkan untuk 
menggugah umat. Metode saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat. Metode 
saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat dan membuka pintu-pintu harapan 
untuk mereka.

Jiwa manusia tidak hanya memerlukan seruan dan gerakan, tetapi diperlukan pula 
sentuhan jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, dan semua itu hanya diperoleh 
dengan hidayah Allah belaka. (Innal Huda Hudallah) sesungguhnya petunjuk itu 
adalah petunjuk Allah belaka.

Syaikh Atailah mengingatkan pula: “Siapa yang telah diizinkan Allah untuk 
menyampaikan ajaran, maka semua ucapannya mudah dipahami oleh orang yang 
mendengar. Dipahami ibarat-ibaratnya dan dirasakan isyarat-isyaratnya. E
Berbicara untuk menyampaikan dakwah agama Allah, tidak berbekal ilmu agama 
saja. Atau kepandaian menggunakan dalil dan argumentasi, atau kefasihan 
mengucapkan ayat dan hadits saja. Seperti sudah diterangkan sebelum ini hidayah 
dan izin Allah diperlukan agar hati sanubari dan lidah serta tutur kata seorang 
Da’i atau Mubaligh diberkati oleh Allah. Seorang Mubaligh harus 
bersungguh-sungguh mendapatkan sinar Allah itu, agar ketika ia mengajar dan 
mengajak dapat mudah memancar masuk kedalam hati sanubari umat.

Izin Allah itu penting bagi para Da’i dalam menyampaikan ajaran Islam. Selain 
mendekat kepada Allah dengan kesungguhan jiwa raga, maka tabligh memerlukan 
pula kecakapan dan keterampilan menyajikan pelajaran. Tentu saja perolehannya 
dari ketekunannya sang mubaligh mempelajari syariat dan akidah Islam dengan 
baik, sehingga apa yang disampaikan benar-benar sahih.

Perpaduan cahaya Allah dan izin-Nya, dengan ilmu-ilmu Islam yang dalam dan 
mumpuni, diikuti dengan keterampilan dan kecakapan menyajikan, akan mempercepat 
dan mempermudah masuknya cahaya Allah ke dalam jiwa dan hati sanubari umat.

Para Hukama mengingatkan, “Berbicaralah dan sampaikanlah ajaran Islam itu 
dengan sinar Allah yang terpatri dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi SAW. Dengan 
pancaran sinar Ilahi dari hati sanubari sang Da’i yang dipantulkan dari 
Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka pembicaraan akan tetap dalam mardatillah untuk 
mendapat Izzul Islam wal Muslimin. Hindarilah pembicaraan dan penyampaian 
kesucian Islam dengan ambisi pribadi yang semata-mata mencari keridhaan insani.

Allah Ta’ala mengingatkan para Da’i ketika mereka menyampaikan tabligh, seperti 
isyarat dalam surat An-Naba Eayat 38, “Mereka tidak bertutur kata 
(menyampaikan), kecuali karena izin Allah yang Maha Pemurah, dengan 
ucapan-ucapan yang benar. E
Izin Allah bagi manusia yang menyampaikan seruan Islam, sesuai dengan kedudukan 
Islam sebagai wahyu Allah untuk menjadi pedoman hidup manusia, dunia dan 
akhirat. Terutama ilmu yang berkaitan dengan hakikat hidup manusia, (hakikat 
hidup didunia dan hakikat hidup di akhirat).

Syaikh Atailah mengingatkan kembali hal ini: “Sering terjadi ilmu hakikat itu 
nampak pudar cahayanya, apabila Allah Ta’ala belum mengizinkan untuk melahirkan 
(menyampaikan). E
Memang ilmu hakikat itu, tidak setiap orang dapat mempelajari apalagi 
menyampaikan. Ilmu hakikat adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan rahasia 
ketuhanan (akidah Islam). Walaupun seorang hamba telah mempelajari dengan 
mendalam, akan tetapi belum mampu ia mengamalkannya, maka ia belum boleh 
mengajarkannya. Sebab kaitannya yang erat dengan sifat-sifat Allah yang 
sempurna dan suci. Cahaya ilmu hakikat didalam pikiran orang-orang yang belum 
memahami dan belum mengamalkannya, masih nampak pudar cahayanya, masih 
samar-samar kematangannya, sehingga belum sempurna diajarkan kepada umat.

Ilmu hakikat itu adalah ilmu tua, Sangat berkaitan erat dengan usia seorang 
hamba. Makin tinggi usia seseorang, makin matang ia menerima dan menyampaikan 
ilmu hakikat ini. Kematangan berpikir pada usia lanjut yang produktif sangat 
berbobot ketika menyampaikan ajaran Islam yang berhubungan dengan hakikat. 
Sebab, pengalaman rohani seseorang Da’i sangat berarti bagi umat ketika 
mendapat penjelasan hakikat ke-Tuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam. Akan 
tetapi hakikat Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW ., 
bagaimanapun sulitnya memahami dan menjelaskan hakikat atau ilmu hakikat itu, 
dia tetap megacu kepada sumbernya yang asli, sehingga tdak sulit dicari asal 
dan dasarnya, bagi orang awam dan bagi mereka yang ingin memperdalam dengan 
murni ilmu hakikat yang sebenarnya.

Hukama Emengatakan, “Orang harus terlebih dahulu memenuhi dirinya dengan 
makrifat. Dengan demikian barulah memahami ilmu hakikat, dan akan nampak lebih 
jelas baginya. Para Waliyullah selalu memperdalam makrifatnya dan setelah itu 
barulah ia melangkah kepada hakikat.

Selanjutnya Syaikh Atailah menggambarkan, “Ibarat-ibarat yang mereka sampaikan 
atau ajarkan, ada kalanya disampaikan karena luapan perasaan dari dalam hati 
nurani, atau bertujuan untuk memberi petunjuk bagi murid. Yang pertama untuk 
orang yang sedang menempuh pelajaran, kedua untuk orang yang telah matang benar 
ilmu hakikatnya. E
Disampaikan dengan luapan perasaan, maksudnya ialah dengan kesungguhan dan 
keyakinan akan ilmu yang dimilikinya yang berasal dari sumber Al-Qur’an dan 
Sunnah Nabi SAW. Ucapan yang tidak keluar dari luapan perasaan, sulit diterima 
oleh perasaan dan hati nurani umat. Demikian juga orang yang telah memperoleh 
ilmu hakikat hendaklah menyampaikan ajaran Islam itu dengan niat untuk memberi 
petunjuk dan hidayah Allah dan Ittiba Ekepada Nabi SAW.

Untuk sampai kepada hakikat, manusia secara bertahap hendaklah mempelajari 
dengan seksama hukum syariat. Sebelum mencapai makrifat, manusia harus melaui 
jalan tariqat, dari makrifat inilah kemudian mendaki kepada hakikat.

Ilmu yang berkaitan dengan syariat, tariqat, makrifat dan hakikat, tercantum 
dalam sumber aslinya yaitu AL-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. 
Untuk mengetahui dan memahami dua sumber ini para murid atau orang yang sedang 
mendalami Islam paling tidak menguasai ilmu alat yang akan memberi petunjuk 
memahami sumber ilmu yang dimaksud.

Untuk tidak mengacaukan pikiran manusia, hendaklah ia memepelajari Al-Qur’an 
dan Hadits, sebagai ilmu Islam dari guru-guru atau Syaikh yang mursyid 
(mumpuni).[]

die *Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam*
Syaikh Ahmad Atailah






===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke