Heru Susetyo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    LEGAL OPINION
  URGENSI RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI (RUU APP)
   
  Tim Pengajar FHUI
-Depok  Fatmawati, SH. MH.         
  Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.  
  Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li. 
   
   
  Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas).
Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan,
baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita
(suatu masyarakat)  berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti
luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau
nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit. 
   
  Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak,
merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam
arti sempit atau nilai (norma) merupakan perumusan suatu pandangan
obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau
tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan
(merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum). 
   
  Berkaitan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, berdasarkan argumentasi
yuridis (perspektif ilmu hukum), maka RUU ini memiliki dasar pembenar
sebagai berikut:
   
    
   Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, maka RUU ini
nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan
hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan
diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di R.I.,
sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang
khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal
15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal
diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat
yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU
Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun
bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus
aborsi  atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex
Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan
dan bukan KUHP;  
   Berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, maka RUU ini
nantinya akan menjadi hukum yang disahkan belakangan, yang akan
menghilangkan hukum yang berlaku terlebih dahulu (KUHP) jika terjadi
pertentangan diantara keduanya.
   Sedangkan berdasarkan argumentasi logis, maka RUU ini dapat
dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
   
    
   Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa
korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun
tentang masalah pornografi anak (child-pornography).   Namun mengatur
(senada dengan Convention on the rights of the Child 1989)  bahwa anak
wajib dilindungi dari 'bahan-bahan dan material' yang illicit dan
membahayakan perkembangan jiwa dan masa depannya.   Pornografi adalah
satu bentuk illicit materials yang dapat membahayakan perkembangan jiwa
anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum untuk melindungi
anak-anak dari masalah pornografi.  
   UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup
melindungi pers dan khalayak  dari penyalahgunaan pornografi.   
   UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan
melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi
dan pornoaksi.  
   Secara fitrah manusia memang memiliki kebutuhan seksual dan tidak ada
seorangpun yang berhak mengambil hak dasar ini. Namun demikian,
bagaimana menggunakan  kebutuhan seksual ini agar tidak memberikan
dampak yang negative terhadap masyarakat luas, tentu saja perlu diatur.
Sebagai perbandingan, USA yang memiliki nilai-nilai budaya yang
cenderung lebih 'permissive' dibandingkan Indonesia, misalnya, memiliki
Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002.   Di  Inggris
ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964
yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi
substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.    
   Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan
dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat
(pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa
seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami
perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti
perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya
tersebut.  Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat-nya, maka hukum  menjadi mati dan tidak mampu mengatasi
masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah
pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai
penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan
semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah
memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Dalam kaitannya dengan RUU  ini, walaupun menurut
sebagian orang masalah pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh
KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya
pasal-pasal tersebut pun masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu
tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman.  Kedua-nya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
   
      
      Kriteria Kesusilaan. KUHP tidak memberikan definisi atau batasan
yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan 'kesusilaan'. Tentu saja hal
ini menyebabkan terjadinya 'multitafsir'terhadap pengertian kesusilaan,
dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila
atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda
terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena
ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu,  jika RUU
Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian dan batasan yang
lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat
dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail
justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari
implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum
(non-arbitrary implementation). Dan jika kepastian hukum justru dapat
tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.  

   
      
      Ancaman Hukuman. Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan
282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian
orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi
dan pornoaksi, hanya memberikan maksimal hukuman penjara 2 tahun 8 bulan
dan maksimal denda Rp. 75.000 (lihat pasal 282 ayat 3).  Jika tujuan
dijatuhkan-nya hukuman adalah untuk mencegah orang untuk melakukan
perbuatan tersebut, jelas hukuman maksimal penjara dan denda seperti
diatas (2 tahun 8 bulan dan 75.000), tidak akan memberikan dampak apapun
pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang
signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang. 

   Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup
legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Hanya saja,
disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis
bahwa RUU ini memang dibutuhkan walaupun telah diatur secara tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan (argumentasi kelebihan RUU
ini dibandingkan pengaturan yang telah ada). Sebagai contoh, UU
Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu ada juga
UU KDRT, yang sebenarnya secara substansi telah diatur dalam KUHP,
tetapi toh dapat diberlakukan UU KDRT karena memiliki argumentasi logis
yang merubah kekerasan dalam rumah tangga dari delik aduan (dalam KUHP)
menjadi delik biasa (dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat atau
mengetahui peristiwa tersebut).
   
  Kemudian,  harus diakui bahwa ada beberapa rumusan yang belum 'pas
betul' dengan tujuan pembentukan RUU ini, yaitu antara lain  rumusan/
definisi tentang 'pornoaksi'.  Karena dalam pelbagai literature agak
sulit secara legal formal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
'pornoaksi'.  Sedangkan, definisi 'pornografi' sudah lumayan  ter-cover
dalam RUU APP, di -mix dengan definisi pada UU sejenis di negara lain
dan encyclopedia.  Maka, suatu studi yang lebih kritis tentang
'pornoaksi' amat perlu dilakukan.
   
  Untuk keberlakuan RUU APP ini, dapat mengikuti metode pemberlakuan UU
Lalu Lintas (penggunaan seat-belt), dimana diberikan cukup waktu untuk
sosialisasi RUU ini, atau masa transisi, dan setelah sekian tahun (misal
2 atau 3 tahun), baru-lah RUU ini diberlakukan secara penuh. 
   
   
  Wilayah Perdebatan dan Kontroversi
  Selama ini wilayah perdebatan dan kontroversi yang paling banyak
diungkap oleh para pengkritisi RUU APP ini adalah :
  *        Apakah pornografi dan pornoaksi adalah issue public atau
issue privat yang berarti termasuk ranah publik-kah atau ranah privat?
  *        Apakah pornografi dan pornoaksi ada dalam wilayah persepsi
yang berarti masuk dalam ranah moral dan agama (yang berarti pelanggaran
terhadapnya hanya dapat dikenakan sanksi moral atau sanksi agama)
ataukah masuk dalam ranah hukum public dan kenegaraan yang berarti dapat
dikenakan sanksi hukum yang mengikat dan memaksa (sanksi pidana).
  *        Apakah pelarangan terhadap pornografi dan pornoaksi adalah
suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berekspresi dan
kebebasan pers ataukah justru perlindungan terhadap pers yang sehat dan
edukatif dan perlindungan terhadap anak dan khalayak penikmat pers dan
media.
  *        Apakah pelarangan terhadap pornografi atau pornoaksi adalah
suara dari mayoritas masyarakat ataukah semata-mata 'pemaksaan' issue
dari 'kelompok-kelompok tertentu' saja atau bahkan sebagai 'pintu masuk
pemberlakuan syari'at Islam di Indonesia'?
  *        Apakah pornografi memang harus diatur dengan Undang-Undang,
atau cukup diserahkan pada UU yang ada saja (jawabannya ada di atas).
  *        Apakah pelarangan pornografi dan pornoaksi tidak akan
menimbulkan viktimisasi terhadap perempuan ataukah malah menimbulkan
viktimisasi perempuan?
   
  Menurut hemat kami,  keberatan-keberatan tersebut harus disikapi
dengan proporsional.  Ada memang ranah yang harus diseimbangkan,
bahwasanya pelanggaran pornografi misalnya tidak boleh sekali-sekali
melanggar hak anak dan perempuan.  Bahwasanya pornografi disini aktornya
adalah laki-laki dan perempuan, tidak hanya perempuan,  sehingga
kekhwatiran terhadap viktimisasi terhadap perempuan mestinya tak usah
terjadi. Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena
ketidakdigdayaan UU yang ada. Juga,  karena di negara-negara barat saja
pornografi memiliki pengaturan tersendiri.  Dan,  bahwasanya RUU APP ini
bukan agenda sektarian kelompok-kelompok tertentu saja (apalagi sebagai
pintu masuk Syari'at Islam seperti selama ini dikhawatirkan khalayak
penolak dan pengamat asing),  melainkan lahir dari suatu kebutuhan untuk
menciptakan media yang sehat dan edukatif disamping sebagai legislasi
yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat,  utamanya anak-anak dan
kaum perempuan dari  penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.  
   
  Yang terakhir,  suatu RUU semestinya harus mencerminkan keadilan dan
kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi
mendalam diiringi proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap
suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah
semestinya dilakukan.
  Wallahua'lam
   
   
  Depok,  8 Maret 2006
     




===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke