http://www.tandef. net/operation- cast-lead- implikasinya- bagi-israel-
hamas

Oleh: Kapten Inf Kukuh Suharwiyono, B.S.*, Kontributor TANDEF

Konflik yang terjadi antara Israel dan Hamas sebenarnya telah terjadi 
sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini semakin meruncing ketika Hamas 
berhasil menguasai pemerintahan di Gaza melalui kudeta berdarah pada 
Juni 2007. Gesekan antara kelompok garis keras Hamas dan Israel tidak 
dapat dihindarkan hingga dicapai perjanjian 6-bulan gencatan senjata 
yang berakhir pada 26 Desember 2008 lalu.

Momentum berakhirnya gencatan senjata ini dipandang Israel sebagai 
awal strategis untuk menghancurkan kekuatan Hamas sampai ke akar-
akarnya. Seminggu sebelum gencatan senjata berakhir, Israel 
menghentikan seluruh suplai makanan dan kebutuhan pokok lain yang 
masuk ke Gaza di sepanjang jalur pantai dan darat. Hal ini menimbulkan 
shortage logistik masyarakat Gaza umumnya dan pihak Hamas khususnya. 
Hamas pun menjawab strategi Israel dengan menekan balik melalui 
peningkatan aktivitas serangan roket ke Israel. Suatu reaksi yang 
memang diharapkan oleh Israel sebagai pembenaran serangan balik Israel 
ke Jalur Gaza. Sebuah sumber Departemen Pertahanan Israel yang tidak 
mau disebutkan namanya berkata, "Kelihatannya operasi militer Israel 
akan dimulai dengan serangan udara untuk melawan peluncuran roket dan 
dilanjutkan dengan invasi darat." 1

Momentum ini juga sengaja dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Israel yang 
mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri untuk menaikkan popularitas 
pada pemilihan umum tanggal 10 Februari 2009 nanti. Termasuk Menteri 
Luar Negeri Tzipi Livni dan Menteri Pertahanan Ehub Barak yang saat 
ini posisinya sangat tidak menguntungkan karena tekanan Benjamin 
Netanyahu untuk mengambil langkah secepatnya terhadap keamanan Israel. 
Namun, Livni lebih pandai dalam mengambil kesempatan. Dialah orang 
Israel pertama yang menyatakan akan menyerang Hamas. Padahal, Ehud 
Barak sebagai Menhan seharusnya yang paling berkesempatan mengambil 
peluang ini.

Ketidakmampuan Ehud Barak bertindak cepat bukanlah tidak beralasan. 
Setidaknya ada 3 alasan penting mengapa dia terlambat bersikap 
dibandingkan dengan Menteri Luar Negeri dalam menyatakan perang 
melawan Hamas. Pertama, moril tentara Israel masih rendah karena ekses 
kekalahan perang musim panas 2006 di Lebanon sungguh diluar perkiraan 
Israel, dimana ratusan personel dan tank Markava IDF (Israeli Defence 
Force) diluluhlantakkan Hezbollah. Kedua, kekhawatiran yang besar juga 
menyelimuti warga sipil dan personel IDF karena saat ini secara de 
facto Israel masih memiliki konflik dengan 3 negara besar di jazirah 
Arab; Iran, Syria, dan Lebanon dalam hal ini Hezbollah. Apabila Israel 
membuka front dengan Hamas di perbatasan selatan, bukan tidak mungkin 
Hezbollah, Iran dan Syria akan ikut membantu Hamas karena mereka 
memiliki keterkaitan emosional dan politik. Ketiga, Ehud Barak kurang 
percaya akan kemampuan Israel dalam mengambil keputusan pelik. Hal ini 
terjadi pada kasus pembebasan seorang prajurit Israel bernama Gilead 
Shalit yang telah ditahan oleh tentara Hamas lebih dari dua tahun. 
Barak lebih memilih jalan diplomasi lewat Mesir daripada melakukan 
negosiasi langsung antara Israel-Hamas .2

Serangan Udara Tidak Membawa Hasil

Serangan udara selama 5 hari yang dimulai tanggal 27 Desember 2008 
dengan menggunakan pesawat F-16 dan helikopter Apache ternyata tidak 
sesuai harapan. Tujuan Israel untuk "mengembalikan keamanan di 
Selatan" dengan satu cara, yaitu menghentikan penembakan (roket) Hamas 
ke Israel belum tercapai. Hamas masih mampu menembakkan sekitar 70 
roket ke Israel dalam satu hari walaupun serangan udara dipergencar 
dan lebih intensif dibanding perang melawan Hezbollah 2006. Bahkan 
bisa dikatakan serangan udara Israel gagal, seperti pernyataan Jeffrey 
White, seorang peneliti Washington Institute for Near East Policy 
(WINEP) sekaligus mantan analis Defense Intelligence Agency, 
"penggunaan angkatan udara Israel mampu menekan kemampuan Hamas untuk 
melakukan serangan balik, namun akibat yang dihasilkan oleh Israel 
juga dibawah pencapaian yang seharusnya bisa dipenuhi." 3

Keputusan melakukan invasi darat pada Operation Cast Lead ini sempat 
menjadi perdebatan besar dan keraguan bagi kalangan ahli militer 
Israel. Beberapa ahli militer mengatakan bahwa jika Israel ingin 
melakukan invasi darat in full scale operation maka Israel harus 
menyiapkan setidaknya 10.000 personel. Untuk itu, 6500 tentara 
cadangan dikerahkan dalam rangka memperkuat IDF melakukan serangan 
darat. Pertimbangan kedua adalah pengalaman perang 2006 dengan 
Hezbollah membuktikan bahwa serangan darat akan beresiko tinggi jika 
Hamas, yang memiliki roket sama dengan Hezbollah pada perang yang 
lalu, belum sepenuhnya dihancurleburkan. Dan pertimbangan ketiga, 
sikap presiden Amerika terpilih Barrack Obama yang hanya diam mengenai 
pembunuhan etnis di Gaza dan situasi geopolitik regional Timur Tengah 
menjadi tanda tanya besar bagi Israel. Israel belum meyakini bahwa 
Obama akan berada dibelakang Israel dan memberikan restu terhadap 
kepentingan politik dan keamanannya di Timur Tengah. Beberapa hal yang 
mengindikasikan kebijakan Obama akan berseberangan dengan George W. 
Bush diantaranya: rencana penarikan pasukan Amerika dari Iraq, 
penolakan kampanye Global War on Terrorism, dan keinginan Obama untuk 
menggunakan jalur diplomasi dalam membicarakan masalah nuklir Iran, 
bukan melalui tindakan militer 4 . Namun dari semua pertimbangan 
diatas, Israel menggarisbawahi indikasi ketidakberpihakan Obama pada 
kebijakan politik Israel. Sehingga hari-hari terakhir Bush dikursi 
kepresidenan dijadikan tumpuan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai 
kekuatan penentu di Timur Tengah.

Delapan hari penyerangan besar-besaran yang dilakukan Israel untuk 
menghancurkan militansi Hamas baik lewat udara maupun darat ternyata 
berbuah pahit. Hamas masih mampu menembakkan roket jauh kedalam 
wilayah Israel walaupun berbagai markas Hamas dan infrastruktur 
pemerintahan hancur, listrik diseluruh wilayah Gaza padam, suplai 
bahan kebutuhan pokok serta bantuan medis menipis. Pertanyaan yang 
muncul kemudian adalah, "apakah penghentian penembakan roket oleh 
Hamas benar-benar akan tercapai ketika Hamas masih memegang kendali 
pemerintahan di Gaza?"

Kontraproduktif bagi Israel dan IDF

Penyerangan Operation Cast Lead sebagai pembantaian etnis di Gaza, 
pembersihan Hamas sampai ke akar-akarnya atau apapun itu sebutannya 
bukanlah hal yang mudah. Walaupun kekuatan Hamas tidak sekuat 
Hezbollah dan medan tempur Gaza tidak sesulit Lebanon Selatan, namun 
Israel perlu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan 
kemenangan mutlak. Kabinet Israel pun mulai meragukan keberhasilan 
serangan ini. Dalam sebuah rapat pada hari kedelapan penyerangan 
tentara Israel ke Hamas, kabinet Israel menyimpulkan "Hamas tidak 
dapat ditumpas."5 Suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan dan sulit 
diterima.

Serangan yang memakan korban paling mengerikan sepanjang sejarah Gaza, 
dimana didalamnya termasuk anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia, 
sama sekali tidak mengecilkan semangat Hamas dalam berjuang 
mempertahankan wilayahnya. Bahkan simpati kepada Gaza semakin hari 
semakin besar dan sebaliknya kecaman bertubi-tubi diteriakkan kepada 
Israel dari sejumlah tokoh internasional. Bantuan kemanusiaan yang 
dikirimkan dari berbagai penjuru dunia merupakan bukti nyata semakin 
meluasnya simpati dunia internasional kepada penduduk Gaza, yang 
secara tidak langsung juga berimbas kepada Hamas.

Keinginan Israel untuk membakar habis Hamas sampai ke akar-akarnya 
ternyata berbuah dendam yang membara terhadap Israel disetiap sanubari 
rakyat Gaza, bahkan janin yang masih didalam kandungan. Popularitas 
Hamas di Palestina pun semakin naik seperti halnya Hezbollah di 
Lebanon setelah memenangkan pertempuran 34 hari-nya. Kemenangan Hamas 
pada pemilu legislatif 4 tahun lalu akan semakin menaikkan posisi 
Hamas ke puncak tiang bendera aspirasi politik Palestina. Mereka 
dipandang sebagai pejuang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan 
negara. Dan secara bersamaan akan menurunkan kredibilitas kelompok 
pro-Barat, Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas dinegaranya sendiri. 
Pemerintahan Abbas yang dinilai korup oleh masyarakatnya akan 
dipandang sebelah mata dan sebaliknya Hamas dapat menjadi alternatif 
lain yang lebih baik. Seperti pernyataan seorang analis politik 
Israel, Aluf Benn, pada 2 Januari 2009 di surat kabar Haaretz "Jika 
perang ini berakhir imbang, seperti yang diprediksikan, dan Israel 
gagal untuk menguasai kembali Gaza, maka Hamas akan memperoleh 
pengakuan diplomatik."

Bagi Israel sendiri, waktu yang tersisa sampai Barrack Obama disumpah 
untuk menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat pada 20 Januari 
mendatang sangatlah sempit. Pertaruhan kredibilitas kemampuan 
teknologi angkatan bersenjatanya yang disampaikan Perdana Menteri 
Israel, Ehud Olmert, pada wawancara eksklusif berbahasa Arab di 
saluran televisi Al Arabiya sebelum penyerangan pertama ke Gaza bahwa 
"kami lebih kuat" menjadi beban berat dan hutang tak terbayarkan 
Israel.

Jika Israel tidak mampu menyelesaikan pertarungan ini dengan absolute 
victory maka perang ini menjadi kekalahan ke dua melawan non-state 
enemy di Timur Tengah. Dampak terbesar yang akan muncul bagi bala 
tentaranya adalah krisis kepercayaan diri. Padahal musuh bebuyutan 
Israel di Lebanon, Hezbollah, saat ini mengaku memiliki kekuatan dan 
persenjataan tiga kali lebih besar dibanding perang 2006. Sekjen 
Hezbollah, Hassan Nasrallah, dalam pidatonya memperingati As Syura 
awal tahun ini juga mengatakan bahwa Hezbollah telah memiliki roket 
anti pesawat terbang jika Israel menyerang dan mengganggu ketenangan 
Lebanon. Selain misil baru dengan jangkauan lebih jauh sampai ke Tel 
Aviv atau Negev, Dimona, sebuah kota instalasi nuklir Israel berada. 
Bagi penduduk Israel, hal ini berarti mimpi buruk yang akan selalu 
menghantui dibawah bayang-bayang kekhawatiran dan serangan balik yang 
lebih agresif dari Gaza kelak dikemudian hari.

Selanjutnya, Hamas pun akan memiliki bargaining position di meja 
perundingan yang lebih menentukan untuk memaksakan tuntutan 
penghapusan boikot ekonomi dan pembukaan jalur perbatasan darat yang 
selama ini diberlakukan.

Pertaruhan Terakhir

Walaupun beberapa perwira militer Israel masih meyakini mereka akan 
memenangkan peperangan ini 6 , namun pertanyaannya "Berapa lama waktu 
yang dibutuhkan Israel untuk menghabisi Hamas?" Akhirnya, Israel harus 
membuktikan bahwa taktik IDF yang digunakan dalam Operation Cast Lead 
merupakan taktik paling ampuh untuk membungkam Hamas berapapun harga 
yang harus dibayar. Jika tidak, maka Israel harus menyiapkan payung 
perlindungan roket yang lebih canggih bagi keamanan warganya di masa 
depan dalam mengantisipasi dendam kesumat masyarakat Gaza, selain 
menciptakan taktik baru yang lebih kredibel komprehensif untuk 
mempertahankan eksistensinya di jazirah Arab. Namun, hal ini sekaligus 
berarti kemenangan mutlak bagi Hamas secara militer, politik dan 
diplomasi interasional.

*Penulis saat ini masih bergabung dibawah Satgas Yonif Mekanis TNI 
Konga XXIII-C/UNIFIL di Lebanon Selatan. Sebelum bergabung dalam 
penugasan PBB, penulis menjabat sebagai Kaur Data & Statistik Spaban 
I/Ren Spersad.

Kirim email ke