Ini artikel menarik yang berusaha meneropong argumentasi "menggelikan" dan "tendensius" dari para penolak RUU APP. Semoga bermanfaat sebagai hujjah dan pembanding dalam menghadapi para penentang RUU APP itu.
Dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat sangat dijamin. Dan ini berlaku bukan hanya bagi para penolak RUU APP yang umumnya berasal dari kalangan 'westernized and secularized elites', tapi juga para pendukung RUU APP, yang saya yakin merupakan pendapat mayoritas. Kalau ndak percaya, coba saja bikin referendum soal ini secara resmi! Mansyur Alkatiri www.alirsyad.org ***** http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=238850&kat_id=16 Jumat, 10 Maret 2006 Paranoia Penolak RUU APP Irfan Junaidi Wartawan Republika Jalan yang harus dilalui Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) untuk menjadi undang-undang (UU) masih terjal. Kelompok penolaknya makin giat menggelar kampanye. Hari Perempuan Sedunia yang jatuh 8 Maret menjadi momen kampanye. Artis dan model menggelar aksi di bundaran HI Pada tanggal itu pula, budayawan --yakni orang yang berkecimpung dalam kebudayaan-- ternama Goenawan Mohamad, menulis artikel di Koran Tempo berjudul 'RUU Porno': Arab atau Indonesia?. Saya mempersepsi, penyingkatan RUU APP menjadi 'RUU Porno' bukan tanpa motif. Lewat artikel ini, sangat terkesan budayawan tersebut menganggap dengan disahkannya RUU APP, aktivitas seni dan budaya akan kekeringan kreativitas. Dia juga menganggap RUU APP merupakan bentuk adopsi nilai-nilai dunia Arab. Sehari sebelumnya, 7 Maret, di Taman Budaya Yogyakarta, juga berlangsung aksi penolakan dihadiri seniman seperti Djaduk Ferianto, Butet Kertaredjasa, dan Djoko Pekik. Sikap mereka sama dengan mantan presiden Megawati, serta mantan ketua umum Golkar Akbar Tanjung, yang menyatakan penolakan RUU APP di Bali. Barisan penolak tak muncul tiba-tiba, tapi sudah dipersiapkan. Kebanyakan media mainstream termasuk dalam barisan ini. Akomodasi terhadap kelompok penolak RUU APP sangatlah berlebih. Media yang memberi ruang bagi kelompok pendukung RUU APP disebut sebagai media sektarian, menyesatkan, dan tidak berimbang. Alasan Penolakan Sedikitnya ada enam jenis alasan yang kerap dikemukakan para penolak RUU APP. Pertama, mereka menganggap aturan tersebut sebagai alat mengekang kebebasan kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban. Larangan membuka segala hal sensual, seolah-olah hanya disasarkan kepada perempuan. Padahal, jika diamati pasal demi pasal, jelas sekali kata yang dipilih tidak menunjuk pada jenis kelamin tertentu. Mulai dari Pasal 4 hingga Pasal 33, hampir semuanya diawali dengan kata ''setiap orang''. Artinya, laki-laki maupun perempuan bisa terkena implikasi. Substansi pasal-pasal itu juga tidak menunjuk kelompok gender tertentu. Rancu jika aturan itu disebut merugikan perempuan. Alasan kedua, aturan itu bertentangan dengan adat istiadat di sebagian wilayah. Bali dan Papua kerap dijadikan modelnya, karena pakaian adatnya memang tidak menutup aurat secara sempurna. Mereka khawatir, warga di kedua wilayah tersebut bakal dijerat hukum jika RUU APP disahkan menjadi UU. Sungguh logika ini sangat dipaksakan. Logika yang sangat awam pun mengetahui bahwa aturan itu disiapkan bukan untuk menjerat masyarakat adat Bali yang hanya mengenakan kemben, maupun warga Papua yang hanya berkoteka. Lagi pula, dalam diskursus soal pornografi yang berjalan selama ini, masyarakat dari kedua wilayah tersebut tidak pernah ikut dihitung. Mengapa tiba-tiba mereka dijadikan 'tameng'? Dasar penolakan ketiga menyebutkan bahwa urusan pornografi dan pornoaksi cukup diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika KUHP memang mencukupi, tentulah fenomena pornografi dan pornoaksi tidak akan marak seperti sekarang. Karena itulah perlu aturan yang menyempurnakannya. Alasan keempat menuding RUU APP sebagai bentuk intervensi negara terhadap ruang privat warga negaranya. Alasan ini kerap sekali terdengar. RUU APP seolah-olah dianggap hanya mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan an sich. Sensualitas yang dibatasi RUU APP adalah sensualitas yang memasuki ruang publik. Karena itu, istilah ''dipertontonkan di muka umum'', ''disiarkan/menyiarkan'', ''menyebarkan'', bertebaran dalam draf RUU tersebut. Sensualitas yang berada di ruang privat, memang tidak boleh dijangkau negara. Urusannya menjadi lain jika sensualitas itu memasuki ruang publik. Yang kelima adalah alasan yang sangat klasik: membuat kreasi seni dan budaya menjadi kering. Dalam persepsi saya, argumentasi ini sungguh merendahkan derajat para seniman dan budayawan. Secara tidak langsung, argumentasi ini menganggap kreativitas seniman dan budayawan hanya mampu berada di area sensual. Karenanya, hasil karya mereka menjadi kering ketika area itu dibatasi. Seniman dan budayawan yang menjadikan sensualitas sebagai 'tumpuan hidupnya' memang pantas risau dengan adanya RUU APP. Sebaliknya, mereka yang ruang kreasinya lebih luas dari sekadar sensualitas, tentu tidak perlu khawatir. Bukan baru kali ini pornografi dan seni dibentur-benturkan. Ini adalah alasan yang sangat klasik. Atas nama seni, orang boleh telanjang di muka umum. Mereka yang mempersepsi ketelanjangan itu sebagai pornografi kemudian dianggap berpikiran ngeres (kotor) dan disalahkan. Sebaliknya, orang yang tampil tanpa busana malah dibela karena dianggap berani memperjuangkan kebebasan berekspresi. Aneh! Sedang alasan keenam adalah batasan pornografi dan pornoaksi tidak jelas. Ini bentuk pengaburan belaka. Draf RUU tersebut telah membuat definisi yang jelas soal pornografi dan pornoaksi itu. Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Ayat 2 mendefinisikan pornoaksi sebagai perbuatan mengeksploitasi seksual, kacabulan, dan atau erotika di muka umum. Motif Penolakan Saat ini, pornografi dan pornoaksi telah menjadi bisnis besar dengan keuntungan yang menggiurkan. Perdagangan majalah, tabloid, vcd, program televisi, serta situs porno di internet, telah menjadi 'tambang uang'. Bisnis ini jelas terancam jika RUU APP disahkan. Karenanya, tidak tertutup kemungkinan kepentingan bisnis ikut melatari penolakan ini. Pornografi dan pornoaksi juga telah menjadi simbol aliran budaya Barat (bisa juga dibaca liberal). Belakangan, westernisasi menjadi dinamika yang tak terbendung alirannya. Di bidang ekonomi, westernisasi terus dikampanyekan. Hal serupa juga terjadi pada aspek seni dan budaya, kehidupan sosial, juga agama. Motif westernisasi ini juga punya peluang ikut bermain dalam aksi menolak RUU APP. Unsur ideologi penolakan RUU APP ini bisa terlihat dengan munculnya tuduhan bahwa pembuatan RUU APP merupakan langkah awal untuk menerapkan syariat Islam. Dalam artikelnya, Goenawan Mohamad, juga menganggap upaya untuk menyusun RUU APP sebagai langkah untuk 'mengarabkan' Indonesia. Dalam banyak kasus, dunia Arab disimbolkan sebagai Islam. Sebuah Paranoia Setelah menyimak, saya melihat alasan-alasan itu dipaksakan dan mengada-ada. Alasan tersebut juga banyak didorong kecurigaan berlebihan. Karena itu, saya memilih istilah 'paranoia' sebagai judul tulisan ini. Sungguh, istilah ini memang bisa disebut 'tidak sopan' jika diartikan secara tekstual. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan paranoia sebagai penyakit jiwa yang membuat penderita berpikir aneh-aneh yang bersifat khayalan. Ensiklopedi Nasional Indonesia terbitan Cipta Adi Pustaka, menyebutkan bahwa mereka yang mengalami paranoia itu memiliki kecurigaan yang berlebihan kepada orang lain. Penggunaan istilah tersebut sama sekali bukan untuk menyebutkan bahwa mereka yang menolak RUU APP adalah sakit jiwa. Meski tidak betul-betul mewakili, istilah tersebut dipilih semata-mata untuk mengungkapkan bahwa argumentasi yang kerap dijadikan untuk menolak RUU APP adalah aneh, mengada-ada, dan bermuatan kecurigaan yang berlebihan. =================================================================== Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar =================================================================== Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/