SUMBER : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=281175&kat_id=256
PENTINGNYA MENCETAK KONGLOMERAT MUSLIM JAKARTA-- Salah satu penyebab persoalan besar dalam bidang perekonomian Indonesia adalah penguasaan ekonomi di tangan non pribumi dan non-Muslim. ''Masalah kita ini adalah dari 10 konglomerat, hanya dua yang pribumi dan muslim, yakni Aburizal Bakrie (Bakrie Group) dan Arifin Panigoro (Medco Group),'' tandas Ketua Bidang Pengembangan Organisasi Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia (Apwindo) Valintino Dinsi kepada Republika Kamis (1/2) di Jakarta. Ia mengatakan hal itu di sela penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Apwindo, Let's Go Indonesia, dan Universitas Mercu Buana. Acara tersebut dihadiri rektor dan jajaran Civitas Akademika Universitas Mercu Buana, dan para pimpinan teras Apwindo. Valentino Dinsi menambahkan, bila hal ini berlanjut terus, maka sulit sekali mengharapkan perubahan peta perekonomian nasional ke arah yang lebih baik. ''Tantangan kita adalah bagaimana menciptakan 50 konglomerat muslim -- bukan orang kaya, tapi konglomerat yang kekayaannya minimal Rp 2 triliun hingga Rp 10 triliun -- yang mempunyai kepedulian yang kuat pada keislaman dan dakwah,'' tandas Dinsi yang juga Presiden Let's Go Indonesia. Ia mengakui, hal tersebut bukan sesuatu yang mudah. ''Ini merupakan problem struktural. Keputusan untuk mencetak 50 konglomerat Muslim itu harus didukung sistem, baik strategis maupun politis,'' tegasnya. Dinsi lalu mencontohkan Malaysia. Tiga dekade lalu, mereka belajar ke Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan ekonomi. Namun, berkat keputusan politik pemerintahan Malaysia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, maka pendidikan dan ekonomi Malaysia tumbuh sangat cepat, bahkan melampaui Indonesia. ''Mahathir itu sangat sungguh-sungguh (berjihad) mendorong perkembangan kalangan Bumiputera, sehingga sekarang kalangan pribumi di sana tidak kalah dengan kalangan non-Bumiputera (non-Muslim),'' tegasnya. Sekjen Apwindo, Khoerussalim mengakui hal senada. ''Memang orang Islam yang jadi pengusaha besar, apalagi konglomerat masih bisa dihitung dengan jari. Akibatnya, posisi umat Islam terpinggirkan terus,'' ujarnya kepada Republika. Untuk itu, kata Khoerussalim, penting sekali menumbuhkan semangat entrperenurship lewat dunia kampus, majelis ta'lim, asosisasi maupun masyarakat. ''Semua komponen harus mendorong ke arah sana, yakni menjadi pengusaha, bukan pegawai. Peran keluarga pun sangat penting. Jangan mendorong anak jadi pilot, tapi jadilah pemilik maskapai penerbangan. Jangan mendorong anak menjadi dokter, tapi jadilah pemilik rumah sakit,'' papar Khoerussalim. Upaya mendorong kalangan pribumi di Indonesia, yang mayoritas muslim, merupakan suatu hal yang mendesak. ''Nabi mengatakan bahwa sembilan dari 10 pintu rezeki berada di tangan pedagang atau pengusaha. Karena itu, seharusnya umat Islam berlomba-lomba menjadi wirausahawan, bukan memburu lapangan pekerjaan pada orang lain atau menjadi kuli,'' tutur Dinsi. Dalam kaitan itulah, kehadiran lembaga-lembaga pencipta dan penggodok lahirnya wirausaha menjadi sangat penting. ''Selain dukungan pemerintah, kehadiran lembaga seperti Apwindo dapat menjadi mediasi untuk mendorong munculnya para pengusaha. Mengingat para pendiri dan anggota Apwindo umumya kalangan pribumi, diharapkan keberadaan lembaga tersebut dapat memunculkan para pengusaha pribumi dan Muslim,'' papar Dinsi. Apwindo dan Let's Go Indonesia, mendukung kerja sama dengan Universitas Mercu Buana. Apalagi universitas tersebut didirikan dan dimiliki Probosutedjo yang dikenal memiliki komitmen kuat untuk memajukan pengusaha pribumi melalui organisasi Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi). ''Melalui kerja sama ini disepakati pembentukan Pusat Pengembangan Waralaba Indonesia yang bernaung di bawah Mercua Buana Entrepereneur Center,'' ungkap Dinsi. (ika ) [Non-text portions of this message have been removed]