Perusahaan Spiritual

  Spiritual! Eh, tiba-tiba kata ini menyeruak di dunia bisnis yang di Indonesia 
sudah kadung dijangkiti penyakit tipu daya. Meskipun gemanya sudah terdengar 
beberapa tahun yang lalu, majalah Swa edisi maret 2007 menyajikan wacana yang 
nampaknya memang cocok dengan sikon di Indonesia belakangan ini. Saya tertarik 
membaca ulasannya sampai tuntas.

  Anda mungkin mengira perusahaan spiritual adalah perusahaan yang jualan baju 
koko, sajadah, kopiah, al-Qur’an, injil, rosario, dupa, atau benda-benda untuk 
konsumsi religius lainnya. Bukan pula model bisnis yang berjualan di halaman 
masjid sampai-sampai lupa etika ibadah kalau masjid bukan lah tempat berdagang 
ataupun jual beli. Ternyata bukan!

  Perusahaan Spiritual yang dimaksud adalah perusahaan yang bisa bergerak di 
bidang apa saja namun sudah mulai memasuki wilayah nilai etik dan moral sebagai 
strategi dan taktik bisnisnya. (BTW, bagi pambaca yang yang jadi konsultan 
bisnis mbok ya diulas lebih rinci toh. J).

  Jadi, jangan dibayangkan karyawannya berjilbab semua, bersarung kotak-kotak 
hitam putih semua, berbaju kaya pendeta, atau atribut lahiriah keagamaan 
lainnya. Namun nilai, etik dan moral yang dianut manusia pelaku bisnisnyalah 
yang membuat perusahaan disebut perusahaan berbasis spiritual. Dengan kata 
lain, sebenarnya fokus pengolahannya tetap sama yaitu manusia sebagai the man 
behind the gun namun materi pokoknya berbeda karena yang ditumbuhkan bukan 
sekedar intelijensi lahiriah untuk sekedar dapat untung, namun juga lebih 
kepada intelijensi fitriyah dengan pembinaan akhlak dan perilakunya atau 
kondisi psikologisnya. Demikian secara garis besar yang diungkapkan majalah 
bisnis terkenal di Indonesia itu.

  Nah, jauhkan bedanya dengan perusahaan yang membuat produk untuk konsumsi 
religius atau perusahaan yang memanfaatkan kegamangan spiritual yang muncul 
dimasyarakat untuk dijadikan ladang bisnis. Bahkan perusahaan spiritual bukan 
juga model perusahaan yang menerapkan ekonomi atau akutansi syariah, apalagi 
karyawannya harus muslim semua, ataupun kristen semua. Bukan seperti itu!

  Konon katanya di Amerika Serikat perusahaan-perusaha an besar yang umurnya 
sudah lumayan dewasa mulai memasuki fase penting yaitu menjadi perusahaan 
berbasis spiritual supaya eksistensinya tetap ada, bukan sekedar perusahan yang 
marup untuk dengan segala cara tapi umurnya seumur jagung, bahkan jatuh dengan 
cara-cara yang memalukan pula. Konon pula ini menyeruak ke permukaan setelah 
terbukanya skandal memalukan di dunia bisnis AS yaitu skandal Enron, Arthur 
Andersen, dan sederet perusahaan besar di AS yang ternyata melakukan tipu daya 
dan manipulasi memalukan. Sejak heboh yang merontokkan perusahaan yang pernah 
besar dan terkenal di masanya itu, upaya masyarakat bisnis di AS untuk kembali 
ke nilai-nilai spiritual semakin santer. Apalagi muncul juga tulisan dari pakar 
manajemen tentang Corporate Mistyc, ataupun yang sejenisnya di mana di 
pucuk-pucuk pimpinan perusahaan besar yang memegang kendali ternyata 
orang-orang yang sangat menerapkan nilai-nilai spiritual dalam setiap
 langkah bisnisnya maupun kehidupan sehari-harinya.

  Nilai spiritual yang dimaksud tentunya berbeda dalam praktek dengan nilai 
religius atau keagamaan, karena yang dimaksud dengan nilai spiritual ini masih 
bersifat norma dan etik yang memang sifatnya general, diakui oleh pribadi 
sebagai karyawan maupun sebagai masyarakat secara konsensus, baik sadar atau 
tidak sebagai nilai-nilai yang layak dipegang oleh semua manusia dengan tujuan 
yang mengarah pada kesejahteraan hidup, dan tentunya dalam konteks perusahaan 
supaya perusahaan tetap berkelanjutan dengan citra maupun keuntungan yang 
semakin terang benderang. Contoh umum nilai spiritual yang dipegang misalnya 
kepercayaan, kejujuran, keistiqomahan/ konsistensi, dan nilai-nilai lainnya 
yang umum, yang sebenarnya ada di semua agama.
  Jadi, jangan pernah berpikir sempit seolah spiritualitas yang dipegang 
berkaitan dengan satu agama tertentu ataupun menuju dan sampai kepada Tuhan. 
Masih belum kesana. Meskipun demikian, sedikit banyak masing-masing nilai yang 
diterapkan nampaknya sangat dipengaruhi oleh kultur  religius yang dominan yang 
ada di negara bersangkutan. Jadi kalau perusahaannya di AS mungkin memang 
banyak yang diambil dari nilai kristiani, di India diambil dari nilai Hindu, di 
China nilai-nilai Konfusius, di Jepang Zen dan di Indonesia barangkali Islam.

  Meskipun nampak masih dalam tahap awal dan nilai yang diaktualkan termasuk 
nilai yang normatif saja, hal ini nampaknya tidaklah masalah karena secara 
esensial setiap ajaran agama yang benar sejatinya mempunyai nilai–nilai benar 
yang serupa dengan tujuan puncak diartikulasikan sebagai Allah Yang Maha Esa, 
meskipun pengucapannya mungkin berbeda. Belum lagi penerapannya kepada manusia 
yang boleh jadi dipengaruhi oleh kultur dan pendidikan keagamaan dan sikap 
mental yang sifatnya lokal. Termasuk dalam hal ini penerapan secara individual 
dalam menjalankan syariat agamanya masing-masing.

  Dalam satu dasawarsa ini gema spiritualitas di kalangan bisnis memang semakin 
santer. Perusahaan tidak lagi sekedar menargetkan untuk untung dan menghindari 
rugi. Namun juga memberikan nilai dan makna, baik untuk karyawannya, lingkungan 
sekitar perusahaan dan tentunya bagi masyarakat dimana perusahaan itu 
beroperasi.

  Artinya, meskipun mungkin nama perusahaan itu terlihat asing, namun 
kontribusinya untuk kesejahteraan lokal semakin diperhitungkan sebagai bagian 
dari nilai-nilai bisnis, bahkan bisa jadi suatu aset strategis. Bukan lagi 
strategi dan taktik dengan ujung untung dan rugi namun nilai-nilai dan 
makna-makna apa yang telah dinyatakan oleh perusahaan dan seluruh karyawannya 
bagi dirinya maupun manusia lainnya. Bukan lagi sekedar visi dan misi yang 
utopis, namun menembus batas visi dan misi pikiran karena yang dituju adalah 
suatu sasaran yang lebih jauh yaitu menembus tabir materialistik dunia bisnis 
dengan dicapainya kesadaran dan makna atas ridho Sang Pencipta itu sendiri.

  Nilai hanyalah satu tahap saja untuk memasuki tahap yang lebih tinggi di 
wilayah perusahaan spiritual yaitu belief atau keyakinan. Dari nilai, moral dan 
etika menjadi rumusan suatu perusahaan untuk menjalankan kegiatan bisnisnya di 
masa depan. Dimasa depan, perusahaan tanpa nilai, moral dan etik tentunya tidak 
akan berumur panjang. Kalau bukan karena ambruk dari dalam karena mental 
karyawannya yang lemah, perusahaan yang tidak mempunyai nilai, etik dan moral 
yang bisa dipertanggung jawabkan tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan 
yang penetrasi nilai-nilai, etik dan moralnya kepada masyarakat sangat kuat 
karena makna dan tanggungjawab yang dinyatakannya. Dengan kata lain, lampu 
merah bagi perusahaan yang asal sekedar bisa berjalan tanpa memperhatikan nilai 
yang ada, apalagi tidak mempunyai empati kepada masyarakat.

  Ketika nilai telah dilampaui, keyakinan muncul dari setiap karyawan 
perusahaan yang akan membangun belief dari sistem nilai perusahaan tersebut 
sebagai suatu kenyataan hidup dengan kesadaran tertinggi yaitu mencapai ridho 
Pencipta itu sendiri.

  Transformasi dari nilai ke belief akan terjadi ketika wilayah nilai diraih 
dengan moral dan etik yang benar secara kolektif dan dapat diperbandingkan 
dengan moral dan etik yang sahih, baik dirujukkan dengan kitab keagamaan maupun 
sebagai suatu karakter alamiah di dunia manusia sebagai makhluk berpikir dan 
mampu memaknai.

  Dari nilai yang diyakini, karakter personal semakin menonjol, kepentingan 
personal juga semakin menonjol, dan demikian juga bagaimana orang  berupaya 
menjadi lebih bermakna lebih menonjol tanpa harus curang dan sikut sikutan, 
apalagi main dukun dan santet.

  Nilai pun menetap dimasing-masing personal yang bekerja di perusahaan menjadi 
suatu belief bahwa apa yang dikerjakannya, tanpa memandang gelar atau jabatan, 
mempunyai nilai yang menjadi penuh makna baik untuk kehidupan personal maupun 
orang lain, di tingkat internal maupun eksternal.

  Dengan belief, orang atau karyawan sebagai fokus perusahaan spiritual 
diharapkan tidak lagi sekedar menjadi karyawan yang bangun pagi , berlarian 
mengejar bis kota, wajah ditekuk masem karena macet dan sampai di kantor dengan 
baju bau keringat tepat waktu hanya sekedar supaya gajinya tidak dipotong atau 
bukan hanya sekedar ingin dipuji karyawan teladan.

  Namun, sejak ia bangun dari tidurnya dan bersiap-siap untuk ke kantor maka 
jalannya ia kekantor dibarengi dengan suatu spirit kesadaran dan keyakinan yang 
tidak sekedar menjamin bahwa ia dapat gaji. Tapi apa yang dilakukannya di 
perusahaan, sekecil dan sebesar apapun, mempunyai suatu nilai yang lebih 
bermakna bagi dirinya, keluarganya, teman sekantornya, pemilik perusahaan, 
maupun umat manusia lainnya dan juga berarti di hadapan Pencipta sebagai 
tanggung jawab personalnya di hadapan Aziizul Hakiim.

  Nah, belief yang demikian memang sepertinya sangat ideal meskipun sebenarnya 
suatu hal yang wajar saja dan harus sudah dijadikan realitas bagi para pekerja 
kantoran yang selama ini masih seperti robot manusia maupun para pemilik 
perusahaan yang masih menganggap karyawannya hanya sekedar buruh upahan yang 
bisa seenaknya di bongkar pasang.

  Dengan tumbuhnya nilai spiritual, dan berujung pada belief,  yang terjadi 
adalah suatu tranformasi manusia dari budak atau kuli yang bekerja, maupun 
manusia yang diberi amanah dengan kelebihannya untuk mengelola suatu 
perusahaan, menjadi al-Insaan yang menyadari peran dan tanggung jawabnya di 
mata Tuhan, dimata manusia lainnya, maupun di alam semesta dimana ia tinggal. 
Egosentrisme dan keakuan harus dikikis di wilayah belief personal yang sadar 
dengan Tuhan, sehingga tidak ada karyawan maupun pemilik modal yang merasa 
paling berperan, paling menguntungkan perusahaan ataupun paling penting lainnya.

  Mudah-mudahan memang kesadaran demikian sudah mulai menjadi kebiasaan di 
negeri yang lahir batin manusianya sudah ambur adul ini, jadi bukan sekedar 
jargon marketing yang sifatnya sementara saja. Nilai yang diharapkan tentu saja 
bukan sekedar nilai dari apa yang dijalankan sebagai bisnis beretika dengan 
nuansa spiritual yang semu, namun juga diharapkan produk dan jasa yang 
dijajakan bukan sekedar konsumerisme terselubung yang dibalur spiritualitas. 
Namun, produk dan jasa yang ditawarkan juga memang benar-benar bernilai untuk 
mencapai keseimbangan lahir dan batin, akal pikiran dan hati bagi konsumennya, 
bukannya produk atau jasa yang menipu, membodohi atau membuat masyarakat 
menjadi masyarakat konsumer yang jadi korban iming-iming kosong dengan baju 
spiritualitas. Karena itu tidak mungkin misalnya bisnis yang jelas-jelas 
menjual produk barang haram dan terlarang mengaku menjadi perusahaan spiritual.

  Demikian juga tidak mungkin suatu perusahaan yang merusak alam dan lingkungan 
tanpa bertanggung jawab disebut perusahaan spiritual.  Demikian juga, mustahil 
bahkan aneh kalau suatu negara yang tidak selaras dengan alam dan hukum-hukum 
Tuhan, tidak menegakkan keadilan dan keseimbangan, disebut negara yang sangat 
spiritual atau mengaku-ngaku sangat spiritual. Nah, kan. Dan tetap saja fokus 
dari perusahaan spiritual harus menyentuh manusia secara langsung karena yang 
mempunyai daya spiritual itu manusia seperti halnya nabi dan rasul serta kaum 
arifin dulu mengajarkan kebajikan bahwa muara semua permasalahan adalah manusia 
yang diberi pilihan bebas bertanggung jawab apakah mau menjadi makhluk yang 
disebut Insaana Fii Ahsani Taqwiim (Cermin Ilahi dengan bentuk lahir dan batin 
yang terbaik) atau menjadi asfalaa safilin (yang sejelek-jeleknya makhluk 
bahkan lebih jelak dari binatang).

  Mudah-mudahan, karakter spiritual ini akan menjadi teladan juga (atau 
setidaknya dicoba diterapkan) bagi para politisi yang partainya menjadi partai 
spiritual bukan partai agama atau partai yang mengenakan jubah agama untuk 
mengejar kepentingan perut sendiri. Demikian juga di kalangan birokrat karakter 
spiritual ini mestinya harus sudah dilirik karena malu lah wong dasar negaranya 
Ketuhanan Yang Maha Esa kok kelakuannya kaya ateis. Ini bukan sekedar mimpi, 
tetapi sesuatu yang dapat diraih asal saja kita sadar dengan diri kita sendiri, 
tanggung jawab kita sebagai manusia, baik di hadapan manusia lainnya, alam 
kehidupannya dimana ia tinggal, maupun menembus batas tembok materialistik 
yaitu dihadapan Aziizul Hakiim sebagai Hakim Tertinggi.

Kirim email ke