Budaya Baju Koko Di bulan Ramadhan terutama menjelang Lebaran; baju koko banyak di temui di pusat perbelanjaan dari yang berharga murah sampai yang selangit. Dari kualitas yang rendah dari bahan ataupun jahitannya; juga baju koko yang dibuat tidak pasaran, dalam jumlah terbatas. Dengan model seperti ustad yang sering muncul di televisi, atau seperti artis yang membawakan lagu-lagu islami. Semuanya mendongkrak penjualan baju koko yang mungkin dibuat di gang sempit sebuah perkampungan kumuh.
Dahulu baju koko sering juga disebut sebagai baju sadariah. Yakni baju pelapis yang hanya dipakai pada saat beribadah karena dianggap sesuai aturan berbusana ketika shalat dan tentunya nyaman sesuai iklim Indonesia. Penyesuaian baju koko yang kemudian menjadi 'identitas' busana muslim memperlihatkan keluwesan, toleransi Islam dalam menyerap berbagai budaya lokal yang mengakar. Berbagai budaya bertemu tanpa saling menghapuskannya. Penghargaan budaya 'asing' diambil, dijadikan sebagai bagian dari budaya Islam sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun identifikasi agama lewat busana patut dicermati karena dapat menimbulkan eksklusivisme pada kondisi tertentu. Karena dengan cara memakai busana tertentu, seseorang kemudian dapat dianggap sebagai suatu kelompok. Ada pendapat "You are what you wear". Pakaian yang dikenakan seseorang mencerminkan jati dirinya. Jadi, apakah hanya dengan memakai busana yang identik sebagai busana muslim, seseorang kemudian merasa telah pantas menjadi muslim yang baik? Kemusliman seseorang seharusnya dibuktikan dengan sikap dan perilaku, bukan hanya sekedar dari busana. Begitu ujar seorang pakar budaya tekstil. - [lm-28/12] [ Dirangkum dari berbagai sumber] ------------------------------------------------------------------------------- l.meilany 120812/23ramadhan1433h [Non-text portions of this message have been removed]