SUNNAH NABAWIYAH, Dalam Pandangan Ahli Fiqih dan Ahli Hadits (2) Oleh: Dr. Muhammad al-Ghazali
http://www.khatulistiwapress.com/sunnah_nabi.htm Di antara hadits-hadits Nabi saw., ada yang bersifat mutawatir (yang tidak mungkin didustakan lagi –Penj.), sehingga hukumnya disamakan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Juga ada hadits yang dikategorikan shahih dan masyhur (dikenal baik oleh umum), yang menafsirkan atau memberi pengertian khusus terhadap hal-hal yang bersifat umum dalam Al-Qur’an. Banyak juga yang bermuatan hukum-hukum furu'iyah (cabang) yang menjadi sandaran utama mazhab-mazhab fikih, setelah mereka sepakat bahwa Sunnah Nabi adalah sumber kedua bagi hukum-hukum Islam. Adakalanya sebuah hadits dinyatakan shahih sanad-nya, namun dari segi matan dinilai lemah, setelah para fuqaha yang menelitinya menemukan cacat di dalam hadits tersebut. Oleh karena itu, untuk menemukan 'illat dan keganjilan dalam redaksi hadits bukan merupakan monopoli ahli hadits saja. Ulama di bidang tafsir, ushul fikih, ilmu kalam, dan fikih, semuanya juga bertanggung jawab, bahkan boleh jadi tanggung jawab mereka lebih besar dari yang lain. Kita lihat misalnya, Ibnu Hajar al-’Ashqalani, pengarang kitab Fath al-Bari Syarh Shahĩh al-Bukhari. Karena hebatnya kitab hadits ini, sampai-para para ulama mengatakan: “Tidak ada hijrah setelah ada Fathul Bari.” Namun demikian, meski ia ulama terkemuka dalam disiplin ilmu hadits, Ibnu Hajar telah menguatkan “hadits al-Gharaniq” dan memberinya lampu hijau sehingga hadits itu bergulir diantara manusia dan merusak agama dan dunia mereka. Padahal, hadits tersebut adalah palsu buatan orang-orang zindiq (pengingkar agama). Hal itu diketahui dengan pasti oleh 'ulama rasikhun (ulama yang mendalam ilmunya -Penj). Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhab juga termasuk yang terkecoh oleh “hadits” tersebut, dengan memasukkannya dalam Sĩrah Nabi saw. yang ditulisnya. Padahal ia dikenal sebagai tokoh yang keras dalam usaha memurnikan dan membela akidah tauhid. Kemudian datang Salman Rushdie, penulis hina berjiwa budak. Ia menjadikan hadits palsu itu sebagai landasan bagi novelnya yang berjudul “Ayat-Ayat Setan” (The Satanic verses). Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, apakah bukan menjadi kewajiban para ahli ilmu kalam, fikih dan tafsir untuk menyapu bersih kotoran yang membuat mata umat ini pedih? Tak diragukan lagi, para penjaga kemurnian hadits-hadits shahih pasti menolak dengan keras hadits yang tak berharga ini. Belakangan muncul pernyataan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang cenderung men-shahih-kan hadits, “Daging sapi adalah penyakit”. Padahal, siapapun yang membaca Al-Qur’an pasti tahu bahwa hadits tersebut tidak berharga sama sekali, betapapun kuat sanad-nya. Sebab, dua kali disebut dalam Al-Qur’an bahwa Allah Ta’ala menghalalkan daging sapi. Bahkan menyatakan hal itu sebagai karunia-Nya bagi umat manusia. Jadi, bagaimana mungkin daging itu merupakan sumber penyakit? Allah swt. berfirman, “Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-An’aam: 142) Jadi, di manakah letak penyakit dalam daging-daging yang dihalalkan ini? Dan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (al-Hajj: 36) Yang dimaksud dengan hewan-hewan al-budn dalam ayat di atas adalah unta, sapi dan kerbau. Lalu, di manakah penyakit yang terkandung padanya? Kelemahan sebagian orang yang memilih menyibukkan diri dengan hadits saja adalah minimnya minat dan pengetahuan mereka untuk mendalami Al-Qur’an dan mempelajari dengan saksama kandungan hukum-hukumnya. Kalau demikian realitanya, mengapa mereka merasa lebih tahu dari yang lain sedang kemampuan mereka sendiri terbatas? Mengapa tidak berlapang dada memberi kesempatan dan kepercayaan kepada para pemikir muslim yang berwawasan luas untuk menemukan keganjilan ('illah) yang ada dalam hadits, termasuk yang sudah dikenal luas? Sesungguhnya kerjasama antara ahli fikih dengan ahli hadits dalam mendeteksi dan menguji peninggalan Nabi saw. ini amat diperlukan. Sebab, redaksi hadits itu beragam materinya, ada yang berkenaan dengan aqidah, ibadah dan muamalat. Itu semua termasuk pengetahuan dan pekerjaan yang sama-sama digeluti oleh para ahli fikir (aql) dan naql (yang bersandar pada penukilan). Sebuah hadits mungkin berkaitan dengan urusan dakwah, peperangan dan perdamaian, karena itu mengapa para ahli di berbagai bidang dijauhkan dari pengujian redaksi (matan) hadits yang dirawikan itu? Apa gunanya sebuah hadits yang sehat sanad-nya tetapi cacat matan-nya? Masih terdapat ribuan hadits yang tidak cacat dan tidak ganjil (syadz) yang tercatat rapi dalam ensiklopedi hadits. Namun bila ada yang perlu diperiksa dan diuji bersama-sama oleh ahli fikih dan ahli hadits tentu akan lebih baik dan lebih utama.* http://www.khatulistiwapress.com/sunnah_nabi.htm [Non-text portions of this message have been removed]