---------- Forwarded message ----------
From: Rois Fathoni <royfath...@gmail.com>


Assalaamu'alaikum, wr, wb.

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sejak kecil, saya terbiasa membaca surat AlKahfi di malam jum'at. Ada banyak
hadits yang menunjukkan keutamaan membaca surat alkahfi di hari jum'at.
Banyak hal yang bisa saya ambil hikmahnya dari kisah kisah di surat alkahfi,
dan kali ini saya akan menyampaikan hikmah yang saya petik dari sudut
pandang aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam hubungannya
dengan kekuasaan.

Ada empat kisah dalam surat alkahfi: Kisah ash-haabul kahfi, kisah dua
bersaudara pemilik kebun, kisah nabi Musa dan nabi Khidhir, dan kisah
Dzulkarnaen. Dengan kacamata yang lebih lebar, empat kisah dalam surat
alkahfi ini sering dijadikan nasehat oleh para ulama bagaimana hendaknya
manusia menghadapi 4 jenis godaan / ujian (fitnah) dalam menjalani
kehidupan: fitnatuddin (ujian akidah), fitanatul maal (ujian harta),
fitnutul ilmi (ujian ilmu pengetahuan) dan fitnatus-shulthoon (ujian
kekuasaan).

Kali ini saya ingin mengajak melihat kisah kisah tersebut dengan kacamata
yang lebih sempit, yaitu fokus pada topik ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara garis besar saya membagi topik ilmu pengetahuan pada dua aspek: aspek
konsep dan aspek aplikasi ilmu pengetahuan. Kisah pemilik kebun dan kisah
nabi musa berguru ke nabi khidhir terkait dengan konsep dan etika ilmu
pengetahuan, sedangkan kisah ash-haabul kahfi dan kisah Dzulkarnaen terkait
dengan aplikasi ilmu pengetahuan, khususnya dalam hubungannya dengan
kekuasaan.

Kisah dua saudara pemilik kebun menunjukkan kepada kita bahwa ilmu
pengetahuan adalah karunia Allah yang lebih berharga dari karunia Allah
berupa harta. Harta bisa musnah dalam sekejap, tetapi ilmu tidak. Lebih dari
itu, dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa selamat, baik ketika ia memiliki
harta yang banyak maupun ketika ia kehilangan harta tsb. Dengan ilmu
seseorang bisa meraih harta dan menggunakannya dengan benar, tetapi
sebaliknya, dengan harta orang tidak bisa menjamin dirinya bisa meraih ilmu
dengan benar.

Kisah nabi Musa dan nabi Khidhir menunjukkan kepada kita bahwa ilmu Allah
itu luas, dan Allah bagikan ilmu ilmu itu kepada orang orang yang Ia
kehendaki. Allah lebihkan satu orang dengan satu ilmu yang tidak Allah
berikan kepada manusia lain. Sehingga tidak pantas seseorang merasa lebih
berilmu dari orang lain, sebab masing masing orang dikaruniai Allah dengan
ilmu yang berbeda beda. Kisah itu juga menunjukkan bahwa satu fenomena bisa
dilihat dari sudut pandang ilmu yang berbeda beda; dan sangat keliru
menghakimi perbuatan orang lain dengan kacamata ilmu yang kita miliki.
Disamping juga kisah itu menunjukkan kepada kita bahwa seseorang harus
beramal konsisten sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepadanya.

Jika kisah pemilik kebun menempatkan superioritas ilmu pengetahuan jika
dibandingkan dengan harta, maka kisah nabi Musa dan nabi Khidhir
mengingatkan kita agar tidak terjadi arogansi dan perasaan superioritas
antar disiplin ilmu maupun antar pemilik ilmu pengetahuan itu sendiri.

Adapun dari tataran praktis, kisah para penghuni gua dan kisah Dzulkarenaen
menunjukkan kepada kita kapan dan bagaimana hendaknya ilmu pengetahuan
diaplikasikan dalam masyarakat. Apabila kita berada dalam sebuah sistem yang
dzalim dan korup, dimana seorang saintis tidak bisa mengaplikasikan ilmunya
kecuali harus dengan ikut larut dalam sistem dzalim dan korup tersebut, maka
jalan terbaik adalah keluar dari sistem tersebut, dan tidak berhubungan sama
sekali dengan sistem tersebut. Ada integritas yang melekat pada seorang
saintis, dan melanggar integritas itu adalah pengkhianatan terhadap jati
diri seorang saintis. Dalam hal ini, tidur tiduran saja di dalam gua di
tengah hutan adalah jauh lebih mulia daripada bertahan hidup di tengah
sistem korup dan harus kehilangan integritas. Kisah ash-habul kahfi
menunjukkan kepada para saintis bahwa adakalanya jihad/perjuangan hakiki
seorang saintis adalah dengan "doing nothing." Ash-habul kahfi menjadi
pahlawan bukan karena karya mereka yang luar biasa. Mereka hanya tidur
tiduran saja di dalam gua. Tetapi justru tidur tiduran mereka di dalam gua
itulah yang membuat mereka dikenang sebagai pahlawan: saintis yang teguh
menjaga integritas mereka.

Berbeda dari kisah alsh-habul kahfi, kisah Dzulkaraen menunjukkan kepada
kita bahwa saintis bisa pula menjadi seorang penguasa dan menggunakan ilmu
dan kekuasaannya untuk melaksanakan fungsi khalifah di muka bumi.
Dzulkarnaen datang ke negara negara di seluruh penjuru dunia, bukan untuk
mengeruk kekayaan alam negara tersebut, tetapi untuk membantu rakyat di
negara tersebut terlepas dari problema yang mereka hadapi. Dzulkarnaen
bahkan datang ke sebuah negeri yang amat terbelakang, membantu mereka
membangun benteng baja yang melindungi mereka dari negara tetangga yang suka
merampok kekayaan mereka. Tidak semata mata membangunkan benteng begitu
saja, Dzulkarnaen juga mentransfer ilmu beliau kepada rakyat tsb dengan
melibatkan SDM-nya sehingga rakyat tsb tidak tergantung kepada Dzulkarnaen
di masa masa yang akan datang. Untuk semua hal tersebut, Dzulkarnaen tidak
minta upah sepeserpun. Bahkan ia tidak berbicara sama sekali mengenai tauhid
dan akhirat, hingga akhirnya benteng baja tersebut selesai dibangun dan
rakyat di negara itu terbebas dari penderitaan sehingga bisa diajak berfikir
dengan normal untuk bisa memahami seruan tauhid dan akhirat. Inilah
tingkatan tertinggi seorang saintis yang mengaplikasikan ilmunya untuk
kepentingan umat manusia tanpa pamrih apapun selain karena Allah ta'ala.

Dzulkarnaen menghasilkan karya monumental dengan membangun benteng baja
diantara dua gunung. Sebaliknya, para Ash-haabul hanya tidur saja di dalam
gua di tengah hutan. Tetapi keduanya memiliki kesamaan. Mereka sama sama
menguasai ilmu pengetahuan dan mereka sama sama dikenang sebagai pahlawan:
sebagai saintis yang faham betul memegang prinsip dan integritas. Ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak boleh berselingkuh dengan kekuasaan yang
dzolim, Ilmu pengetahuan tidak boleh dijadikan alat untuk menindas dan
mengeruk kekayaan bangsa lain, tetapi ilmu pengetahuan harus digunakan dalam
kerangka tunduk kepada Allah menjalankan fungsi manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah di muka bumi, menjadikan bumi sebagai tempat yang nyaman
dihuni manusia sebagaimana Allah menghendakinya.

Hari ini, saintis hidup di jaman yang tidak ideal. Mereka tidak hidup di
dalam sebuah tirani. Tetapi mereka juga tidak hidup di bawah pemerintahan
adil dan makmur laksana kerajaan Dzulkarnaen. Saintis hidup di antara
keduanya. Ada hasrat dan cita cita untuk berjuang mengusahakan lahirnya
pemerintahan adil dan makmur a la kerajaan Dzulkarnaen. Tetapi situasi dan
kondisi memaksa para saintis pada derajat tertentu harus rela berkompromi
mengkhianati sebagian integritas dirinya. Pengkhianatan terhadap sebagian
integritas itu akhirnya menyadarkan sebagian saintis untuk mengikuti teladan
para ash-haabul kahfi, melepaskan diri sepenuhnya dari sistem yang korup.
Sebuah sikap yang tentu saja membuat kikuk para saintis yang memilih
terlibat dalam sistem untuk berjuang mewujudkan jalan bagi lahirnya kerajaan
Dzulkarnaen yang adil dan makmur.

Seandainya disuruh memilih, tentu kita lebih suka menjadi Dzulkarnaen
daripada Ash-haabul kahfi. Tetapi pilihan yang ada di hadapan kita bukanlah
semudah itu. Apapun keputusan yang kita ambil, hendaklah berdasarkan ilmu
yang sampai kepada kita dan bebas dari pengkhianatan terhadap hati nurani.
Dan begitu keputusan kita ambil, hendaklah kita mengingat pesan dari kisah
nabi Musa dan nabi Khidhir: janganlah menghakimi perbuatan orang lain dengan
ilmu yang kita miliki. Setiap orang memiliki ilmunya masing masing dan
setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban berdasarkan ilmu yang
dimilikinya. Kelak, Allah akan tampakkan siapa yang benar benar beramal
sesuai dengan ilmunya, dan siapa yang mengkhianati ilmu yang sampai
kepadanya dan memilih mengikuti hawa nafsunya.

Dengan segala situasi sulit yang dihadapi para saintis itulah akhirnya saya
memahami mengapa Allah mengangkat derajat para saintis mu'min jauh di atas
derajat manusia kebanyakan. Hidup menjadi saintis tidak semudah yang saya
bayangkan. Ada hal yang amat besar yang mereka pertaruhkan dalam hidup
mereka. Dan tidak semua manusia sanggup melewatinya. Termasuk barangkali
sebagian dari para saintis itu sendiri.

Saya memohon ampun kepada Allah atas kemungkinan kesalahan pada pikiran dan
tulisan saya.
Wallahu a'lam bis-shawab,

Kirim email ke