Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
 
Fyi...
Semoga bermanfaat...

 
TIADA BOSAN MEMINTA HIDAYAH
Minggu, 22 April 07, selengkapnya klik di sini: http://www.alsofwah.or
id/?pilih=lihatannur&id=425
 
 
Ihdinashshiraatal mustaqim, "Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus",
demikian kita -kaum muslimin- mengucapkan doa ini, paling tidak 17 kali
dalam sehari. Ada apakah di balik permohonan ini? bukankah jalan yang lurus
sudah jelas bagi kita, yakni agama Islam, dan kita semua alhamdulillah sudah
menjadi seorang muslim? Do'a tersebut ternyata mengandung makna yang sangat
mendalam, dan hampir mirip dengan doa qunut yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Seringkali kita mendengar lafazh do'a qunut
(misalnya qunut Ramadhan atau qunut nazilah, red) yang biasa dibaca oleh
imam-imam kita di dalam shalatnya. Di antara permohonan dalam do'a tersebut
adalah, "Allahummahdinaa fiiman hadait" artinya, "Ya Allah berilah kami
petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk."
 
Berikut penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkenaan dengan do'a tersebut, semoga bermanfaat.
 
Kalimat "Berilah kami petunjuk" yang terlampir pada cuplikan do'a di atas
mengandung makna yang sangat luas. Do'a tersebut bukan hanya permohonan
petunjuk saja, tetapi juga permohonan agar mampu untuk melaksanakan petunjuk
tersebut. Makna do'a itu adalah sebagai berikut, "Tunjukkanlah kami ya Allah
kepada kebenaran dan mudahkanlah bagi kami untuk menjalankan kebenaran itu."
Petunjuk yang sempurna lagi bermanfaat adalah petunjuk yang Allah subhanahu
wata 'ala memadukan di dalamnya antara ilmu dan amal.
 
Suatu petunjuk yang tidak diiringi dengan amal/perbuatan, maka akan sia-sia,
bahkan menyesatkan. Karena setiap orang yang tidak mengamalkan ilmu yang
telah ia miliki, maka ilmunya itu justru akan berbalik menjadi bencana bagi
dirinya sendiri.
 
Sebagai misal tentang petunjuk berupa ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi
dengan amal perbuatan adalah seperti yang difirmankan Allah subhanahu wata 
ala, yang artinya,
"Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka
lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu". (QS. Fushilat:17)
 
Dari ayat tersebut di atas "Mereka telah Kami beri petunjuk" mengandung
maksud bahwa Allah subhanahu wata 'ala telah memberi penerangan bagi mereka
akan suatu jalan dan telah Ia karuniakan bagi mereka itu ilmu pengetahuan,
akan tetapi mereka berbuat yang sebaliknya yaitu seperti yang termuat pada
kalimat berikutnya, yang artinya, "Tetapi mereka lebih menyukai buta
(kesesatan) daripada petunjuk itu".
 
Adapun petunjuk yang berupa ilmu dan penerangan guna menggapai kebenaran
adalah seperti yang telah dicontohkan di dalam firman Allah subhanahu wata 
ala yang ditujukan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alalaihi wasallam, artinya, 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus".
(QS. Asy-Syuuraa: 52)
 
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk" pada rentetan kata ayat
di atas memiliki penjabaran makna sebagai berikut, "Kamu (wahai Muhammad)
memberi petunjuk, penerangan, dan pengajaran kepada manusia menuju jalan
yang lurus.
 
Sedangkan contoh dari petunjuk yang bermakna taufiq adalah yang biasa
diucapkan oleh orang-orang yang sedang melaksanakan shalat, artinya, 
Tunjukilah kami jalan yang lurus". (QS. Al-Fatihah:6)
 
Maka di saat anda mengucapkan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus", maka
apakah anda memohon kepada Allah subhanahu wata 'ala suatu karunia ilmu
tanpa amal ? Ataukah mungkin sebaliknya suatu amalan tanpa didasari oleh
ilmu ? Atau mungkin yang ketiga ini yaitu karunia ilmu berserta amal ?
Pendek kata hendaklah bagi setiap insan jika ia memohon kepada Allah
subhanahu wata 'ala, "Tunjukilah kami jalan yang lurus", agar ia
menghadirkan jiwanya bahwa ia sedang meminta kepada Allah subhanahu wata 
ala karunia ilmu dan amal/perbuatan, maka ilmu itulah yang bertindak sebagai
petunjuk, sedang amal/perbuatan itulah yang dimaksudkan sebagai taufiq.
 
Hal inilah -menurut sepengatahuan saya, dan keilmuan tentang itu adalah
berada di sisi Allah subhanahu wata 'ala- yang masih jauh dari jangkauan
kebanyakan kaum muslimin di kala mereka mengucapkan, "Ihdinashshiraatal
mustaqim (Ya Allah Tunjukilah kami jalan yang lurus)".
 
Sehingga di sini dapat dikatakan bahwa firman-Nya yang berbunyi, artinya, 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus"
yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan
petunjuk berupa penerangan dan penjelasan saja, adapun firman-Nya yang
artinya, "Sesungguh nya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi." (QS. Al-Qashash: 56), maka arti dari petunjuk pada ayat
ini adalah petunjuk taufiq berupa amal perbuatan.
 
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak bisa memberi petunjuk
taufiq kepada seseorang guna melakukan amal shalih selamanya. Jika memang
Beliau mampu, niscaya Beliau akan dapat memberi petunjuk kepada paman beliau
Abu Thalib, yang mana Beliau telah mengusahakannya sampai Beliau bersabda
kepada pamannya itu di saat-saat menjelang kematiannya, "Wahai paman,
katakan Laa Ilaaha Illallah suatu kalimat yang aku akan berhujjah bagimu
dengan kalimat itu di sisi Allah.ยจ
 
Namun apa boleh buat apabila telah mendahuluinya suatu kalimat atau
ketetapan dari Allah subhanahu wata 'ala, bahwa ia merupakan penghuni neraka
-kami berlindung kepada Allah dari adzab api neraka- maka ia pun tidak
mengucapkan untaian kalimat syahadatain bahkan pernyataan akhirnya
mengindikasikan bahwa ia masih memeluk agama Abdul Muthalib (bapaknya).
 
Meskipun begitu yang terjadi, tapi Allah subhanahu wata 'ala mengizinkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk memberikan syafaat bagi
pamannya itu bukan lantaran ia adalah masih pamannya sendiri, namun tiada
lain karena ia telah bertindak melindungi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan Agama Islam, maka beliau pun telah memberi syafa'at di dalam adzab.
Adapun ia (Abu Thalib) berada di dalam bara api neraka dan ia di atas dua
alas kaki, sedang otaknya mendidih karena panas keduanya, dan sesungguhnya
dia ahli neraka yang mendapatkan seringan-ringan adzab. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kalaupun bukan karena aku (syafa'at
beliau, red), maka niscaya ia berada di dalam kerak api neraka". (HR.
al-Bukhari dalam Kitab Manaqibul Anshar, bab qishshatu Abi Thalib, Fath
al-Baari 7/193. Dan Muslim dalam Kitabul Iman)
 
Saya berpendapat, bahwa apabila kita ucapkan di dalam do'a qunut, "Ya Allah
berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk."
Maka pada hakikatnya kita meminta dua macam petunjuk yaitu petunjuk berupa
ilmu dan petunjuk berupa amal/perbuatan.
 
Adapun ungkapan, "Sebagaimana mereka yang telah Engkau beri petunjuk", maka
apa maksud dari ungkapan ini? Padahal kalau mau menyingkatnya dengan, "Ya
Allah berilah petunjuk kepada kami" sudah tersirat maksud dari permohonan do
a itu, namun mengapa harus disertai "sebagaimana orang yang telah Engkau
beri petunjuk", yaitu agar kalimat itu menjadi bagian dari "tawassul
(perantara) untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan yang Allah subhanahu
wata 'ala berikan kepada mereka yang telah memperoleh petunjuk-Nya agar Ia
melimpahkannya juga kepada kita melalui petunjuk tersebut.
 
Dengan arti lain sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ya Allah suatu petunjuk
karena itu merupakan sebesar-besar rahmat, kebijaksanaan, serta keutamaan-Mu
 maka sesungguhnya Engkau yang telah memberikan petunjuk kepada seluruh
insan, maka berilah petunjuk kepada kami sebagaimana mereka yang telah
Engkau beri petunjuk. (Sampai di sini penjelasan Syaikh al-Utsaimin)
 
Oleh karena itu seorang muslim tidak akan pernah merasa bosan untuk selalu
minta hidayah (petunjuk) kepada Allah subhanahu wata'ala, baik petunjuk
berupa ilmu (hidayah irsyad) dan petunjuk untuk melaksanakan ilmu tersebut
(hidayah taufiq). Sebab kalau kita bertanya pada diri kita, "Apakah kita
mengetahui seluruh ilmu dan kebaikan tanpa kecuali, maka tentu dengan jujur
kita akan menjawab tidak, apalagi kalau ditanya apakah kita sudah megerjakan
seluruh ilmu dan kebaikan tersebut tanpa kecuali? Begitu juga kalau kita
tanyakan apakah kita mengetahui seluruh keburukan tanpa kecuali tentu kita
akan menjawab tidak, dan lebih-lebih kalau ditanya apakah kita mampu
menjauhi seluruh keburukan tersebut tanpa kecuali, maka kita semua akan
berkata tidak.
 
(Sumber: Duruus Wal Fatawa Al Haram Al Makky, jilid 1, edisi terjemah 
Syarah Doa Qunut", Pustaka Islam Tadabbur)
 
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah
kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah
dengan menyampaikan Artikel ini kepada saudara-saudara kita yang belum
mengetahuinya.
Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin
 
Waassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
---------------------------------------------------------------------
 
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke