Novel
    oleh Rizki Ridyasmara

        The Untold History of Pangeran Diponegoro (2)



  Pangeran Diponegoro
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
 Di
 awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis
ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar.
Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga
ribuan.
 
           Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I
memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak
pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar
 menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara
penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang
dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala
Amangkurat I di antaranya adalah:           Pertama,
 dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok
kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan
meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau
kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.
 
           Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi
kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar
berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke
dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan
kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini
menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.
 
           Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum
diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah
dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit
kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang
selamat dari jenis siksaan seperti ini.    
           Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan
terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari
berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama,
guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh
keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram
ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta
 lautan jubah putih.
Di
 tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa
 kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di
 mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah
dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan
muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para
prajurit.
 
           Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata
 pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga.
Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun
dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
 
           Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan
keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit
mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung
ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap
 mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui
para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama
tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah
kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena
para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal
yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
 
           Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata
melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah
timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi
enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari
dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota
Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari
perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang
pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat
begitu anggun dan gagah.
 
           “Trisat Kenya...,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya
mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak
diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak
melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya
terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.
 
           Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya
merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang
semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan
tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas
seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan
keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan
melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.  
  
             Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram
Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga
Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat
 I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di
dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi
keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I,
yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.
Raden
 Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki
kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan.
 Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden
Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan
isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung
kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung.
Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke
 hutan larangan.
Kejadian
 ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut,
sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi
Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh
pengikutnya.

Namun
 sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia
 tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya
sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang
berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.
Awalnya,
 Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang
 merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan
sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri
menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit
pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal khususnya
 hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja
harus cantik.
“Mereka
 harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga
harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada
Kanjeng Ratu Ibu. “...dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya
hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau
 bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah 
sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah 
pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap 
menaiki bukit di timur alun-alun.
 
           Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah
pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang
 dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja
yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai
sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota
Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup,
 sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya
beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam
penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.
 
           Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak
perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak
berada paling depan membuka jalan. Di bagian paling belakang juga
ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh
 memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling
 tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke
bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang
hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana,
dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.
 
           Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa
 menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas
 bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang
raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas
singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang
memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di
dalam benaknya ketika itu.
 
           Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya
yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan
Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan 
beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak
pinggang.
Raja
 lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak
pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh
areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot
matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-binar tanda puas.
Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak
pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi.
Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore
telah siap dengan senjatanya.(bersambung)
http://eramuslim.com/berita-the-untold-history-of-pangeran-diponegoro-2-.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke