Ummu 'Umarah radhiallahu 'anha

sumber : http://www.asysayariah.com
Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Anisah Bintu
Kehidupan dunia dengan segala penderitaannya seolah tak lagi berarti baginya, 
manakala dia telah mendengar janji indah tentang surga. Sepenuh pengorbanan 
jiwa dan raga dia berikan untuk Allah dan Rasul-Nya.

 Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengernyitkan dahi 
sembari bertanya, siapakah dia? Namun tak mungkin diingkari, dia adalah seorang 
shahabiyah yang memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam 
sejarah kaum muslimin. Dia bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin 
‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiallahu 'anha. Ibunya bernama Ar 
Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin 
Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al Khazraj.
 Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul 
bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, 
‘Abdullah dan Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyertai beliau dalam medan peperangan. 
Sepeninggal suaminya, Ummu ‘Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin 
‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar 
radhiallahu 'anhu. Dari pernikahan mereka, lahir Tamim dan Khaulah.
 Ummu ‘Umarah radhiallahu 'anha menyambut datangnya seruan Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah keislamannya itu, Allah Subhanahu wa 
Ta'ala menganugerahkan banyak kemuliaan padanya. Satu per satu peristiwa besar 
turut dilaluinya. Dia salah satu wanita yang hadir pada malam ‘Aqabah dan 
berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Medan Uhud, 
Hudaibiyah, Khaibar, ‘Umratul Qadla’, Hunain tak lepas dari sejarah perjalanan 
hidupnya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan semasa 
pemerintahan Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu, dia turut terjun memerangi 
Musailamah Al Kadzdzab dalam perang Yamamah.
 Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah 
radhiallahu 'anha ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin 
‘Amr serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib radhiallahu 'anhum. Dengan 
membawa geriba tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu 
‘Umarah berangkat bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.
 Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, 
tak tersisa di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali hanya 
beberapa orang yang tak sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting 
itu, Ummu ‘Umarah terjun langsung dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama 
suami dan dua putranya, Ummu ‘Umarah mendekati Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam, melindungi di depan beliau dengan segenap kemampuan.
 Tanpa perisai Ummu ‘Umarah melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, sementara sebagian besar pasukan muslimin lari kocar-kacir. Di antara 
orang-orang yang berlarian menjauh dari beliau, ada seseorang yang lari membawa 
perisainya. Beliau pun berseru, “Berikan perisaimu pada orang yang berperang!” 
Orang itu pun melemparkan perisainya dan segera diambil oleh Ummu ‘Umarah. Ummu 
‘Umarah pun bertameng dengannya. Demikian keadaan yang mereka hadapi saat itu, 
sementara lawan mereka adalah pasukan berkuda kaum musyrikin.
 Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda memacu kudanya sembari menyabetkan 
pedangnya ke arah Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah menangkis tebasan itu dengan 
perisainya hingga orang itu tak berhasil berbuat sesuatu. Ummu ‘Umarah pun 
menebas kaki kudanya hingga penunggang kuda itu pun terjatuh. Menyaksikan hal 
itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam segera memanggil salah seorang 
putra Ummu ‘Umarah, “Ibumu! Ibumu!” Dengan cepat putra Ummu ‘Umarah datang 
membantu ibunya hingga dapat melumpuhkan musuh Allah itu.
 Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu ‘Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka 
di lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan 
berlalu begitu saja, tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. 
Melihat itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Balut lukamu!” 
Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut yang dipersiapkannya untuk membalut 
luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam berdiri mengawasi. Usai mengikat luka, Ummu ‘Umarah berkata 
pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar ucapannya, 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang mampu 
melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”
 Kemudian datanglah orang yang melukai ‘Abdullah. Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam pun berkata, “Itu orang yang menebas putramu!” Ummu ‘Umarah 
segera menghadangnya dan menebas betisnya hingga orang itu terjatuh. Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum menyaksikannya hingga tampak gigi 
geraham beliau. Ummu ‘Umarah pun menebasnya bertubi-tubi hingga mati. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu ‘Umarah, “Segala 
puji milik Allah yang telah menolongmu serta menyenangkan hatimu dengan keadaan 
musuhmu dan memperlihatkan pembalasan itu di depan matamu.”
 Ummu ‘Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling 
besar terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Allah dan 
Rasul-Nya, Ibnu Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan 
aku pada Muhammad! Aku tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera 
dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair radhiallahu 'anhu bersama para sahabat yang 
lain. Ummu ‘Umarah berada dalam barisan itu. Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan 
pedangnya ke pundak Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun membalas dengan beberapa 
kali tebasan, namun musuh Allah itu mengenakan baju perang yang melindunginya.
 Tatkala melihat Ummu ‘Umarah terluka di pundaknya, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam berseru pada ‘Abdullah, “Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya! 
Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan ibumu 
pada hari ini lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah 
memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan suami ibumu lebih 
baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah 
kepada kalian wahai ahlul bait!” Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasulullah, 
berdoalah kepada Allah agar kami menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, 
“Ya Allah, jadikan mereka orang-orang yang menemaniku di dalam surga.” Ummu 
‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang menimpaku di dunia.”
 Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman 
pedang Ibnu Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu 
‘Umarah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya.
 Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk 
membela Allah dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju 
peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, 
dia tak kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus 
diseka hingga pagi.
 Sepulang dari peperangan di Hamra`il Asad, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam mengutus ‘Abdullah bin Ka’b Al-Mazini untuk menanyakan keadaan Ummu 
‘Umarah. ‘Abdullah bin Ka’b pun melaksanakan perintah beliau, kemudian 
menyampaikan kabar Ummu ‘Umarah kepada beliau.
 Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq 
radhiallahu 'anhu menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama 
Musailamah Al-Kadzdzab, yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr radhiallahu 'anhu 
pun memeranginya bersama pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu 
‘Umarah pun turut serta dalam pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong 
tangannya dan menderita sebelas luka lainnya karena tebasan pedang dan tusukan 
tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah kehilangan putranya, Habib bin Zaid 
radhiallahu 'anhu.
 Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam. Pun Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya 
pada manusia. Perwujudan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segala 
pengorbanan jiwa dan raga sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, 
mengantarkan dirinya untuk mendapatkan kemuliaan yang kekal selama-lamanya.
 Ummu ‘Umarah, semoga Allah meridhainya….
 Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 Sumber Bacaan:
 Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/265-266)
 Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1948-1949)
 Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/412-415)
 Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/278-282)



 Barirah radhiallahu 'anha Maulah 'Aisyah radhiallahu 'anha Ummul Mukminin


 Ini adalah kisah seorang sahaya yang ingin mendapatkan kemerdekaannya. 
Perjalanan hidupnya membuahkan pelajaran-pelajaran berharga untuk seluruh kaum 
muslimin hingga akhir masa.

 Barirah, dia seorang sahaya (budak) milik salah seorang dari Bani Hilal. 
Suaminya seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah, bernama Mughits. 
Barirah radhiallahu 'anha menginginkan kemerdekaan dirinya. Dia pun mengikat 
perjanjian dengan tuannya untuk membayar sembilan uqiyah sebagai harga dirinya. 
Dalam setahun, dia membayar satu uqiyah.
 Barirah datang menemui ‘Aisyah radhiallahu 'anha untuk meminta bantuannya. 
Saat itu, ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan padanya, “Kembalilah pada tuanmu 
dan katakan, kalau mereka mau, aku akan membayarkan tunai seluruh hargamu, lalu 
kumerdekakan dirimu dan nanti wala`1mu untukku.” Barirah pun kembali untuk 
menyampaikan keinginan ‘Aisyah radhiallahu 'anha. Namun hasilnya nihil. Mereka 
menolak sembari mengatakan, “Kalau dia mau mengharapkan pahala dari Allah 
Subhanahu wa Ta'ala dengan bantuannya padamu, maka hendaknya dia lakukan, 
sementara wala`mu tetap untuk kami.”
 Barirah mengadukan penolakan mereka kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha, “Aku 
telah menawarkan hal itu kepada mereka, namun mereka menolak, kecuali bila 
wala`ku untuk mereka.”
 Hal itu didengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun 
bertanya, “Apa permasalahan Barirah?” ‘Aisyah menceritakan apa yang terjadi. 
Mendengar penuturan ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
“Belilah dia, lalu merdekakan. Sesungguhnya wala` itu bagi orang yang 
memerdekakan.” Setelah itu beliau bangkit untuk berkhutbah di hadapan manusia. 
Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta'ala beliau bersabda, 
“Bagaimana kiranya keadaan suatu kaum, mereka mengajukan syarat yang tidak ada 
di dalam Kitabullah. Syarat mana pun yang tidak ada di dalam Kitabullah, maka 
syarat itu batil, biarpun seratus kali mereka mengajukan syarat. Ketetapan 
Allah Subhanahu wa Ta'ala itu lebih haq, syarat Allah Subhanahu wa Ta'ala itu 
lebih kokoh. Bagaimana kiranya salah seorang dari mereka bisa mengatakan, 
‘Bebaskanlah budakku, wahai Fulan, sementara wala`nya untukku’. Sesungguhnya 
wala` itu hanya untuk orang yang memerdekakan.”
 Akhirnya, Barirah pun mendapatkan kemerdekaan dirinya yang selama ini 
diimpikan. Ketika itu, Barirah diberi pilihan oleh Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam untuk tetap bersama suaminya atau berpisah darinya. Namun 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi pula dengan nasihat agar 
Barirah tetap mempertahankan pernikahannya. Barirah lalu bertanya kepada 
beliau, “Wahai Rasulullah, apakah ini sesuatu yang wajib kulakukan?”
 “Tidak,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “akan tetapi aku hanya 
ingin menolongnya.”
 “Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.
 Maka berpisahlah Barirah dari Mughits. Barirah memilih dirinya, diiringi 
kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits mengikuti 
Barirah berjalan di jalan-jalan Madinah sembari berlinangan air mata, memohon 
kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Namun Barirah enggan untuk 
kembali sembari mengatakan, “Aku tidak membutuhkanmu.” Sampai-sampai Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas 
radhiallahu 'anhu, “Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa 
benci Barirah terhadap Mughits, dan rasa cinta Mughits pada Barirah?”
 Masa ‘iddah Barirah kala itu seperti ‘iddah wanita merdeka yang ditalak.
 Sebelum dimerdekakan, Barirah biasa membantu ‘Aisyah. Ketika tersebar berita 
dusta tentang ‘Aisyah yang disebarkan oleh gembong munafikin, Abdullah bin Ubai 
bin Salul, atas saran ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Barirah untuk menanyakan tentang 
keadaan ‘Aisyah.
 “Wahai Barirah, pernahkah engkau melihat sesuatu pada ‘Aisyah yang membuatmu 
bimbang?” tanya beliau.
 “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan Al-Haq,” jawab Barirah, “aku tidak pernah 
melihat sesuatu pun yang pantas kucela, kecuali dia itu seorang wanita yang 
masih sangat muda yang masih suka tertidur di sisi adonan makanan yang dibuat 
untuk keluarganya hingga datang hewan memakan adonan itu.”
 Berbagai kisah dirangkai oleh Barirah dengan keluarga Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Suatu ketika, Barirah pernah diberi sedekah daging kambing. 
Lalu ia pun menghadiahkan kepada keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam. Saat itu ‘Aisyah enggan memakannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam pun datang, dan bertanya, “Dari mana daging ini?”
 “Barirah yang memberikannya untuk kita dari daging yang disedekahkan baginya,” 
jawab ‘Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ini 
sedekah baginya dan hadiah bagi kita darinya.”
 Barirah melalui masa hidupnya hingga beberapa masa pemerintahan. Barirah 
sempat berfirasat bahwa nanti Abdul Malik bin Marwan akan menduduki 
kepemimpinan kaum muslimin. Disampaikannya firasat ini kepada Abdul Malik bin 
Marwan jauh-jauh hari sebelum Abdul Malik diangkat sebagai khalifah, ketika 
Abdul Malik bertemu dengan Barirah di Madinah. Kata Barirah, “Wahai Abdul 
Malik, aku melihatmu memiliki perangai-perangai yang mulia, dan engkau layak 
untuk memegang tampuk pemerintahan. Maka bila nanti engkau diserahi 
kepemimpinan, berhati-hatilah dengan masalah darah kaum muslimin, karena aku 
pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
“Sesungguhnya seseorang ditolak dari pintu surga setelah melihat keindahan 
surga disebabkan darah seorang muslim sepenuh mihjamah2 yang dia tumpahkan 
tanpa hak.”
 Barirah kembali kepada Rabbnya pada masa khilafah Mu’awiyah bin Abi Sufyan 
radhiallahu 'anhuma. Barirah maulah Ummu Mukminin ‘Aisyah, semoga Allah 
meridhainya….
 Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 Sumber Bacaan:
  Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/535)
  Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1795-1796)
  Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/256-260)
  Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Kitabul Mukatab, karya Al-Hafizh 
Ibnu Hajar Al-’Asqalani
  Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/297-304)
  Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/136-137)

 1 Bila seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia sementara ia 
meninggalkan harta, maka hartanya itu diwarisi oleh orang yang memerdekakannya
 2 Mihjamah adalah alat untuk berbekam



 Ummu Hani' bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu 'anha


 Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti 
tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin 
menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu 
mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat 
penyayang terhadap anak-anaknya.”

 Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri 
paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil 
Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu 
Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung 'Ali, ‘Aqil dan Ja’far, 
putra-putra Abu Thalib.
 Semasa jahiliyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminangnya. 
Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi 
pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga 
akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, 
lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di 
kemudian hari diangkat 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu -ketika menjabat 
sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya 
adalah `Amr –yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini 
meninggal ketika masih kecil– serta Hani` dan Yusuf.
 Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa 
Ta'ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam 
dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiallahu 'anha pun 
berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah 
pun melarikan diri ke Najran.
 Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari 
Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, 
datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula 'Ali 
bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi 
Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya 
dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
 Saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh 
putri beliau, Fathimah radhiallahu 'anha dengan kain. Ummu Hani` pun 
mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 
“Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”
 Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya 
sementara 'Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku 
melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan 
pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu 
adalah waktu dhuha.
 Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan 
halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang 
membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui 
betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak 
suami.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. 
Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, 
sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”
 Ummu Hani` radhiallahu 'anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus 
Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir 
kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, 'Ali bin Abi Thalib 
radhiallahu 'anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah 
Subhanahu wa Ta'ala meridhainya….
 Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 Sumber Bacaan:
  Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293)
  Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317)
  Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964)
  Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47)
  Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314)
  Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)



---------------------------------
Cheap Talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke