Artikel ini ditulis pada awal Desember 2009:

Evaluasi Perbankan Syariah di Indonesia
Oleh: Ahmad Ifham Sholihin, Sharia Business Consultant – PT Anabatic Teknologi 
 
Pada akhir tahun 1990-an, Indonesia dilanda krisis moneter yang 
memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Bank Muamalat, 
bank syariah pertama di Indonesia yang beroperasi tahun 1992, pun terimbas 
dampak krisis. Pada tahun 1998, pembiayaan bermasalah Bank Muamalat, yang biasa 
diukur dengan rasio Non Performing Financing (NPF) mencapai lebih dari 60% 
(bandingkan dengan batas maksimal NPF adalah 5%). 
Saat itu, Bank Muamalat, sebagai satu-satunya bank syariah di Indonesia, juga 
rugi Rp.105 miliar, dengan ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 
miliar (kurang dari sepertiga modal setor awal). Pada RUPS tanggal 21 Juni 
1999, IDB (Islamic Development Bank) secara resmi menjadi salah satu pemegang 
saham Bank Muamalat. Sejak saat itu, perlahan namun pasti, Bank Muamalat mulai 
memperoleh laba kembali.
Lahirnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 
tentang Perbankan, telah memungkinkan bank syariah beroperasi sepenuhnya 
sebagai Bank Umum Syariah (BUS) atau dengan membuka Unit Usaha Syariah (UUS). 
Maka, lahirlah Bank Syariah Mandiri (konversi dari Bank Susila Bakti) serta UUS 
Bank IFI. Pada akhir tahun 1999 tersebut, total aset bank syariah di Indonesia 
baru mencapai Rp 1,12 triliun atau sekitar 0,11% dibandingkan dengan aset bank 
konvensional. 
Kemudian lahirlah beberapa bank syariah yang lain, sehingga pada Desember 2002 
terdapat 2 BUS dan 6 UUS, dengan total aset mencapai Rp.4,05 triliun. Pada 16 
Desember 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang 
haramnya bunga bank yang menyebabkan terjadinya unorganic growth. Hingga 
Desember 2004, total bank syariah mencapai 3 BUS dan 15 UUS dengan total aset 
Rp 15,33 triliun. 
Dukungan terhadap perbankan syariah semakin kuat dengan disahkannya 
Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga saat ini 
(data Oktober 2009), telah ada 6 BUS dan 25 UUS dengan total aset sebesar 
Rp.59,68 triliun (2,4% dibandingkan dengan aset bank konvensional) dan berhasil 
menyerap lebih dari 17 ribu pekerja. Data ini belum termasuk Bank Pembiayaan 
Rakyat Syariah (BPRS).
 
Kinerja Bank Syariah
Data Oktober 2009 menyebutkan bahwa dana yang berhasil dihimpun oleh bank 
syariah mencapai Rp.46,5 triliun. Dana ini berasal dari Giro Wadiah sebesar 
Rp.5,36 triliun, Tabungan Wadiah Rp.1,27 triliun, Tabungan Mudharabah Rp.14,76 
tirliun, dan Deposito Mudharabah Rp.26,39 triliun. Jumlah rekening Dana Pihak 
Ketiga ini adalah 4.353.109 rekening.
Sementara dana yang telah disalurkan oleh bank syariah (pembiayaan) mencapai 
Rp.45,2 triliun, sehingga Financing to Deposit Ratio (FDR) bank syariah adalah 
97%. Primadona pembiayaan bank syariah adalah dengan akad Murabahah (jual beli) 
yang mencapai Rp.25,5 triliun, diikuti dengan akad Mudharabah Rp.10,18 triliun, 
Musyarakah Rp.6,44 triliun, Qardh Rp.1,49 triliun, Ijarah Rp.1,2 triliun, dan 
Istishna’ Rp.0,4 triliun. Belum ada laporan bank syariah yang menerapkan akad 
Salam. Jumlah rekening dana pembiayaan adalah 660.790 rekening.
Dari segi penggunaan pembiayaan, 51,3% dana bank syariah disalurkan untuk dunia 
usaha, disusul 27,4% untuk kebutuhan konsumsi dan 21,3% untuk investasi. 
Keberpihakan bank syariah pada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dibuktikan 
dengan alokasi 74% pembiayaan diberikan untuk UKM, sedangkan sisanya (26%) 
diberikan untuk non UKM.
Tampaknya fungsi manajemen risiko bank syariah kurang optimal. Ini terlihat 
dari NPF bank syariah yang mencapai Rp.2,49 triliun, setara dengan 5,51%. 
Persentase NPF terbesar adalah untuk pembiayaan modal kerja yang mencapai 
Rp.1,24 triliun (49,9%), disusul pembiayaan investasi sebesar Rp.0,64 triliun 
(25,7%) dan pembiayaan konsumsi sebesar Rp.0,61 triliun (24,4%). Sedangkan NPF 
dilihat dari golongan pembiayaan adalah Rp.1,63 triliun untuk UKM, dan Rp.0,86 
triliun untuk non UKM.
 
Prospek Bank Syariah
Fatwa DSN MUI, Undang-undang, Peraturan Bank Indonesia dan berbagai regulasi 
terkait perbankan syariah merupakan dukungan luar biasa dari pemerintah. Belum 
lagi permisivitas pemerintah terhadap pajak murabahah dan sukuk. Namun, Bank 
Syariah tak boleh larut dengan suka cita karena dukungan ini bisa menjadi 
bumerang bagi industri perbankan syariah jika tidak diimbangi dengan penyediaan 
produk/jasa/layanan yang memihak kepada kebutuhan masyarakat berupa jaringan 
luas, return menarik, akses mudah, teknologi canggih dan layanan prima.
Faktor psiko sosio kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini, 
menyebabkan Bank Syariah juga harus mampu menggerakkan segenap ormas Islam, 
partai Islam, dan berbagai komponen panutan masyarakat. Hal ini dilakukan agar 
masyarakat memiliki teladan sehingga tidak semakin ragu dengan bank syariah.
Sementara itu, menurut Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur BI dan Ketua 
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), dalam 5 tahun ke depan bank syariah masih 
memerlukan 42 ribu pekerja sebagai pra syarat untuk bisa ikut memenangkan pasar 
perbankan. Potensi sebenarnya cukup besar karena saat ini sudah ada lebih dari 
100 perguruan tinggi yang membuka jurusan/studi ekonomi syariah, belum termasuk 
pesantren dan madrasah. Adalah tugas segenap penggiat bank syariah untuk 
melakukan langkah tepat agar pekerja yang tersedia benar-benar paham konsep, 
paham praktek dan sekaligus taat aturan syariah.
Teknologi Informasi (TI) juga merupakan kebutuhan utama bank syariah dalam 
bersaing merebut pasar perbankan. Saat ini juga sudah tersedia aplikasi Core 
Banking System (CBS) bank syariah, baik PC based, platform AS/400, maupun web 
based yang bisa mengakomodir semua kebutuhan transaksi perbankan syariah dalam 
jumlah jaringan yang banyak, askes mudah, proses cepat, teknologi canggih, user 
friendly, serta kemudahan-kemudahan yang lain. Kurangnya dana masih menjadi 
kendala utama bank syariah dalam menyediakan infrastruktur TI yang canggih.
Kendala dana juga menyebabkan promosi dan publikasi bank syariah seakan tidak 
ada aktivitas. Seluruh bank syariah hanya mampu menyediakan dana promosi 
sebesar Rp.106 miliar untuk periode Januari – Oktober 2009. Dana ini masih jauh 
dari cukup untuk biaya promosi terutama di televisi. Padahal televisi masih 
menjadi media paling efektif untuk promosi, karena masyarakat telah menganggap 
televisi sebagai “teman hidup” untuk memperoleh informasi maupun hiburan dan 
bisa menjangkau ruang pribadi maupun publik sekaligus.
Dalam kondisi dana terbatas, bank syariah bisa secara cerdas dan kreatif 
melakukan gerilya marketing public relations dengan memanfaatkan setiap peluang 
atau momen yang bisa menjadi konsumsi kamera televisi maupun media lain, 
seperti kegiatan yang melibatkan public figure, hot issue, serta trend. 
Publikasi yang gencar dan efektif akan menimbulkan awareness serta minat 
masyarakat. Selanjutnya, bank syariah harus melakukan aktivasi untuk merebut 
hati masyarakat.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke