--- rifky pradana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> From rifky pradana Thu Mar 24 20:04:02 2005 > From: "rifky pradana" <[EMAIL PROTECTED]> > To: [EMAIL PROTECTED] > Date: Fri, 25 Mar 2005 11:04:02 +0700 > CC: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] > Subject: [Saksi] Teka-Teki dibalik kisruh BBM. > > Indonesia tampaknya benar-benar sedang menjadi > sasaran empuk campur > tangan Amerika. > > Ibarat adonan roti, melalui beberapa lembaga > keuangan dan pendanaan > internasional yang secara langsung dan tidak > langsung berada di bawah > kekuasaannya, Indonesia kini seperti sedang > diremas-remas oleh Amerika > untuk dibentuk menjadi donat atau roti keju. > > Simak misalnya keributan di seputar kenaikan harga > BBM yang terjadi > belakangan. > > Jika ditelusuri secara cermat, boleh dikatakan > hampir pada semua aspek > perumusan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga > BBM, sarat dengan > campur tangan Amerika. > > Memang benar, bila ditelusuri ke belakang kenaikan > harga BBM bukan hal > baru bagi Indonesia. > > Tetapi bila disimak motivasinya, kenaikan harga BBM > yang terjadi > belakangan ini sangat berbeda motivasinya dari > kenaikan harga BBM yang > terjadi pada masa sebelumnya. > > Sehubungan dengan itu, para pejabat pemerintah boleh > saja mengemukakan > 1001 alasan mengenai penyebab ''terpaksa'' > dinaikkannya harga BBM. > > Tetapi sesuai dengan UU Migas No 22/2001, kenaikan > harga BBM yang > terjadi belakangan mustahil dapat dipisahkan dari > tengah berlangsungnya > apa yang disebut sebagai liberalisasi industri migas > di negeri ini. > > Artinya, berbeda dengan kenaikan harga BBM sebelum > 2001, kenaikkan harga > BBM yang terjadi belakang secara tegas digerakkan > oleh motivasi untuk > menghapuskan subsidi BBM dan menyesuaikan harga BBM > dengan harga pasar > internasional. > > Pertanyaannya, mengapa industri migas harus > diliberalisasikan, dan > mengapa pula harga BBM harus disesuaikan dengan > harga pasar > internasional ?. > > Jawabannya sangat sederhana. Sebagaimana dikemukakan > Menteri Energi dan > Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, > tujuannya antara lain > adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke > sektor hilir > industri migas di sini. > > Sebagaimana dikatakannya, 'Liberalisasi sektor hilir > migas membuka > kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi > dalam bisnis eceran > migas....Namun, liberalisasi ini berdampak > mendongkrak harga BBM yang > disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih > rendah karena > disubsidi, pemain asing enggan masuk.'' (Kompas, 14 > Mei 2003). > > Karena sejak semula diniatkan untuk mengundang > masuknya investor asing, > tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan > kebijakan pemerintah dalam > melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan > harga BBM, sarat > dengan campur tangan asing, khususnya Amerika. > > Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States > Agency for > International Development) berikut, ''USAID has been > the primary > bilateral donor working on energy sector reform.'' > Khusus mengenai > penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka > menyatakan, ''The ADB and > USAID worked together on drafting a new oil and gas > law in 2000.'' > (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html). > > > Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disaksikan > betapa telah sangat > jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat > dalam penyusunan > kebijakan industri migas di Indonesia. > > Selain itu, disadari atau tidak, dapat disaksikan > pula betapa telah > sangat berkembangnya tradisi untuk menyerahkan > penyusunan rancangan > undang-undang (RUU) kepada pihak asing. > > Sebagaimana diketahui, keterlibatan asing dalam > penyusunan RUU tidak > hanya dialami oleh UU Migas. Tetapi dialami pula > oleh UU Kelistrikan, UU > Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan beberapa produk > perundang-undangan > lainnya. RUU Kelistrikan disusunkan oleh Bank Dunia, > sedangkan RUU BUMN > disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers. > Selanjutnya, khusus mengenai > kenaikan harga BBM, simaklah pernyataan USAID > mengenai keterlibatan Bank > Dunia berikut, ''Complementing USAID efforts, the > World Bank has > conducted comprehensive studies of the oil and gas > sector, pricing > policy, and provided assistance to the State > electric company on > financial and corporate restructuring.'' > > Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti > bila dalam iklan > layanan masyarakat yang diterbitkan pemerintah dalam > rangka sosialisasi > penghapusan subsidi BBM, ditemukan sebuah grafik > yang berjudul > ''Kelompok terkaya menikmati subsidi BBM terbesar,'' > yang datanya > bersumber dari hasil studi Bank Dunia. > > Bagaimana halnya dengan kajian dampak ekonomi > kenaikan harga BBM ?. > > Sebagaimana terungkap dalam sebuah laporan yang > berjudul ''Kajian Dampak > Ekonomi Kenaikan Harga BBM,'' yang diterbitkan oleh > Pusat Studi Energi, > Departemen ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut > ternyata dibiayai > oleh AUSAID (Australia Agency for International > Development), melalui > International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., > Australia. > > Sesuai dengan informasi yang tersaji dalam kajian > tersebut, kecuali > harga bensin yang pada 2001 dipandang sudah sesuai > dengan harga pasar, > pemerintah ternyata telah mengembangkan tiga > skenario mengenai pelepasan > harga BBM ke pasar. > > Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke > pasar pada 2004. > > Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar > dilepas ke pasar pada > 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada > 2007. > > Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar > dilepaskan ke pasar pada > 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010. > > Jika ditanyakan mengenai siapa yang tengah > harap-harap cemas menanti > tuntasnya pelepasan harga BBM ke pasar itu, selain > beberapa perusahaan > migas domestik, sekali lagi di sini kita akan > bertemu dengan beberapa > perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika. > > Sebagaimana dikemukakan Direktur Jenderal Migas > Departemen ESDM, Iin > Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan > yang sudah mendapat > izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk > membuka stasiun > pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi > 11/2004). Di antaranya > adalah perusahaan migas raksasa seperti British > Petrolium > (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China > (RRC), Petronas > (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). > > Pertanyaannya, akankah para anggota Dewan Perwakilan > Rakyat (DPR) yang > ada sekarang ini, akan membiarkan saja > berlangsungnya proses > Amerikanisasi BBM tersebut ?. > > Jawabannya, wallahu a'lam. > > *** > > Insya Allah, harga jual BBM pasar dalam negeri > Indonesia akan dinaikkan > oleh pemerintah Republik Indonesia, agar sesuai > dengan harga standard > pasar Internasional. Dengan demikian, kenaikan harga > jual yang standar > internasional ini akan membuka prospek dan peluang > bagi kalangan > pebisnis swasta nasional maupun swasta asing > multinasional. > > Jika harga tak sesuai dengan standar internasional > maka jelas tak akan > memungkinkan bagi kalangan pebisnis swasta nasional > maupun swasta asing > multinasional untuk berinvestasi dalam memasarkan > BBM di negara kita > untuk melayani kebutuhan BBM bagi rakyat Indonesia > serta turut serta > mengabdi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. > Subsidi BBM, perdebatan > panjang nan rumit, penuh istilah yang tak membuat > awam faham, jikalau > pun faham namun penuh muatan yang awam tak perlu > faham. Welcome-Ahlan Wa > sahlan-Wilujeng Sumping-Sugeng Rawuh, Era Baru, > Liberalisasi pasar BBM > dalam negeri. > > Gurihnya Pasar BBM Indonesia, telah membuat pemain > asing kepincut. PT. > Petronas Niaga Internasional (PNI) akan segera > memasarkan Primex, bensin > baru produksi Petronas dengan Ron 97 yang berarti > spesifikasinya lebih > tinggi ketimbang Pertamax Plus dengan Ron 94. > > Mengenai harga jual ke konsumen, Faris Mustafa > -President Director PNI- > memberikan ancar-ancar bahwa bensin jenis ini di > Malaysia dipasarkan > seharga RM 1,40 atau sekitar Rp.3.500,- per liter. > > Untuk tahap awal bensin ini akan dipasarkan di > Jakarta yang akan > dipasarkan secara bekerjasama dengan SPBU Lokal yang > sudah ada, selain > tentunya akan membangun beberapa SPBU baru dengan > desain seperti yang di > Malaysia. > > Subsidi BBM, perdebatan panjang nan rumit, penuh > istilah yang tak > membuat awam faham, jikalau pun faham namun penuh > muatan yang awam tak > perlu tahu. > > Tak perlu lah berpusing-pusing, segera cabut subsidi > BBM, > mari kita jelang era baru, > era gurihnya pasar domestik BBM dalam negeri > Indonesia. > Satu telah datang, seribu siap menjelang. > Primex, Petronas, Ahlan Wa Sahlan. > Siapa akan menyusul lagi ?. > > *** > > Prospek bisnis BBM pasar dalam negeri Indonesia yang > -Insya Allah- harga > jualnya akan dinaikkan agar sesuai dengan harga > standard pasar > Internasional, rupanya tak hanya membuat kepincut > para perusahaan > multinasional bidang migas. > > BPPT (badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) pun > kepincut untuk > segera mencari partner dari kalangan pebisnis swasta > yang berminat > bekerjasama memproduksi dan memasarkan Gasohol > Bioethanol BE-10. > > Maklum, harga BBM dalam negeri yang akan dipatok > oleh pemerintah > diperkirakan -Insya Allah- akan memberikan tingkat > harga yang > memungkinkan pebisnis swasta untuk turut menikmati > bisnis BBM dalam > negeri Indonesia yang mempunyai tingkat konsumsi > yang menggiurkan. > > Dr. Ir. Agus Eko Tjahyono, M.Eng - Kepala Balai > Besar Teknologi Pati > B2TP BPPT- memberikan gambaran bahwa BBM yang mirip > Bentol (Bensin > Toluene) ini biaya produksinya sekitar Rp.2.300,- > per liter. > > Bioethanol ini merupakan campuran 80%-90% > Bensin/Premium dengan 10%-20% > ethanol dari tanaman Singkong. Nilai oktan Gasohol > Bioethanol BE-10 ini > sekitar 105-110, setara dengan Pertamax Plus namun > dengan harga yang > lebih bersaing alis lebih rendah dari harga Pertamax > Plus saat ini. > > Beberapa negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada, > Uni Eropa, dan > Australia sudah menggunakan campuran 63% ethanol dan > 37% bensin. > Pemakaian etanol di dunia makin dan makin besar. > Produksi etanol dunia > untuk bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 > milyar liter (2001) > menjadi 31 milyar liter (estimasi 2006). > > Sumber bioetanol tak cuma dari singkong saja , bisa > juga tebu, ubi > jalar, sagu, jagung, gandum, bahkan limbah pertanian > seperti jerami. Di > Amerika Serikat yang banyak dipakai sebagai sumber > pati adalah jagung. > > Ethanol yang minim kandungan air ini -sehingga tak > mengakibatkan karat > di saluran bensin/nosel injektor/ruang bakar- > diproduksi dari > serangkaian proses penyulingan Singkong. Setelah > diambil gulanya, > kemudian difermentasi dan didistilasi hingga menjadi > ethanol. > > Produksi untuk 1 (satu) liter ethanol didapat dari > sekitar 6-6,5 Kg > Singkong. Produksi skala kapasitas 60.000 liter per > hari dibutuhkan > sekitar 2 juta ton singkong dari lahan seluas > 100.000 hektare. > > Pencampuran antara Premium dengan ethanol ini tak > memerlukan proses > rumit. Premium -yang bisa didapat dari Pertamina > atau Perusahaan Asing > lainnya- tinggal dicampur pada tangki pencampur > dengan ethanol hasil > penyulingan Singkong tadi. Saat ini B2TP BPPT telah > mendirikan pilot > project produksi di Lampung Tengah. > > Hasil serangkaian test uji coba di Balai > Termodinamika Motor dan > Propulsi BPPT di Serpong -dengan menggunakan unit > test Toyota Kijang > Kapsul bermesin karburator pada kecepatan 80 km/jam- > menunjukkan > pemakaian Gasohol Bioethanol BE-10 lebih baik > dibandingkan dengan > pemakaian Premium biasa, setara dengan pertamax. > > Pencampuran etanol ke dalam bensin ini berfungsi > seperti zat aditif > (methyl tertiary buthyl ether --MTBE) dan tetra > ethyl lead (TEL)] yang > umum dipakai untuk menaikan angka oktan, sehingga > tenaga mesin yang > dihasilkan pun meningkat sekitar 10,26 KW atau 10,26 > DK. Etanol yang > mengandung 35% oksigen membuat efisiensi pembakaran > meniningkat sehingga > kadar emisi gas buang pun menjadi lebih baik. > > Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 > dengan bantuan > teknis dari lembaga penelitian Jepang, JICA. Mereka > terus mengembangkan > teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak > berharga itu -di > Lampung, tiap kilogram, harganya tak lebih dari > harga sepotong ubi > goreng di Jakarta- menjadi bahan bakar bernilai > tinggi. Tahun 2004 > konsumsi bensin 15 juta kiloliter. Jika 20%-nya > diganti gasohol BE-10, > berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. > > Bagi yang berminat dapat menghubungi BPPT : (021) > 3169598, B2PT : (0725) > 25253. > > Akhirul kalam, demikian sedikit ringkasan salah satu > dari sekian banyak > prospek bisnis yang akan menjadi terbuka dan > berkembang bagi pebisnis > yang berminat dan mempunyai kecukupan modal, pada > era pasca kenaikan > harga BBM dalam negeri, yang akan disesuaikan setara > dengan harga pasar > Internasional. > > Seyogyanya memang harga BBM dalam negeri harus > segera disesuaikan agar > sesuai dengan standard harga internasional, agar > berkah kenaikan harga > itu dapat membawa berkah dan kemaslahatan bagi > negara dan bangsa. > > Dengan demikian, bisnis swasta pun akan lebih > berkembang lagi, > perusahaan asing multinasional pun dapat segera > berinvestasi dalam > memasarkan BBM di negara kita untuk melayani > kebutuhan BBM bagi rakyat > Indonesia. > > Jika harga tak sesuai dengan standar internasional > maka jelas tak akan > memungkinkan bagi swasta asing untuk turut serta > mengabdi bagi > kesejahteraan rakyat Indonesia. > > Subsidi BBM, perdebatan panjang nan rumit, penuh > istilah yang tak > membuat awam faham, jikalau pun faham namun penuh > muatan yang awam tak > perlu > faham. > Wilujeng Sumping, Era Baru, > Liberalisasi pasar BBM dalam negeri. > > *** > > HARGA BBM sudah dinaikkan. > Harapannya sekarang supaya harga yang sudah naik ini > sementara berlaku > untuk waktu yang relatif lama sehingga atas dasar > harga yang baru dunia > usaha sudah bisa melakukan kalkulasi dan membuat > perencanaan bisnisnya. > Syukur kalau ada jaminan pemerintah tidak akan > menaikkannya lagi sampai > tahun 2009. > Mungkinkah itu ?. > > BERKALI-kali saya beserta banyak orang > mempertanyakan > apa relevansinya harga minyak dunia dengan harga > yang dikenakan kepada > konsumen rakyat Indonesia yang memiliki sendiri > minyaknya ?. > > Kalau pemerintah konsisten dengan titik tolak pikir > bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) harus dibawa > sampai sepenuhnya sama > dengan yang terbentuk di pasar internasional, jelas > tidak akan ada > kepastian, > apakah harga BBM tidak akan naik lagi kalau harga > minyak dunia meningkat > terus. > > Ada baiknya kita mempertanyakan hal-hal mendasar > sejak sekarang agar ada > pegangan untuk kebijakan di masa mendatang. > > MINYAK MENTAH TIDAK DIHARGAI NOL. > > Pertama, perlu diluruskan adanya pandangan bahwa > harga minyak mentah > Indonesia dihargai nol kalau tidak mengacu pada > harga minyak dunia. Ini > tidak benar. > > Ketika harga bensin premium masih Rp 1.810 per > liter, harga minyak > mentahnya dihargai Rp 1.270 per liter, yaitu harga > konsumen yang Rp > 1.810 per liter dikurangi dengan biaya lifting, > pengilangan, dan > transportasi sebesar Rp 540 per liter. Setelah > dinaikkan menjadi Rp > 2.400 per liter, maka minyak mentahnya dihargai Rp > 1.860 per liter. > Tidak nol !. > > MEKANISME PASAR YANG MANA ?. > > Dikatakan bahwa kalau sistem ekonomi yang kita anut > bukan sistem ekonomi > komunis, > semua barang dihargai dengan harga yang terbentuk > melalui mekanisme > pasar. > Jelasnya, > harga adalah titik perpotongan antara kurva > permintaan dan kurva > penawaran. > > Seperti kita ketahui, > kurva permintaan dan kurva penawaran ditentukan dari > semua yang berminat > membeli dan semua yang berminat menjual. > Dari massa titik-titik para pembeli itu ditentukan > garis tengahnya. > Itulah kurva permintaan. > > Demikian juga dengan pembentukan kurva penawaran. > > Pertanyaannya, > di mana kurva permintaan dan kurva penawaran itu > dikompilasi guna > menentukan titik potongnya ?. > Di New York. > > Adakah minyak mentah Indonesia yang diperdagangkan > di sana ?. > Praktis tidak ada, > karena produksi minyak Indonesia seluruhnya sudah > kurang untuk memenuhi > kebutuhan rakyatnya sendiri. > > Berapa dari jumlah produksi minyak mentah seluruh > dunia yang > diperdagangkan di New York ?. > Hanya 30 persen. > Yang 70 persen dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan > raksasa minyak dari > hulu sampai hilir. > > Kita tahu ada banyak bentuk pasar, antara lain > perfect competition, > monopolistic competition, oligopoli, duopoli, dan > monopoli. > Bentuk pasar di New York mirip dengan perfect > competition. > Bentuk pasar minyak di Indonesia jelas monopoli, dan > monopoli itu > diberikan kepada Pertamina, dengan harga yang > ditentukan oleh > pemerintah. > > Harga yang ditentukan oleh pemerintah bukan harga > yang > setinggi-tingginya sebagaimana layaknya monopolis > partikelir. > Justru sebaliknya, pemerintah menetapkan harga yang > serendah-rendahnya > supaya terjangkau oleh rakyat banyak yang masih > miskin dan sangat rendah > daya belinya. > > Jadi, > kedudukan monopoli pemerintah tidak dipakai untuk > memperoleh laba > maksimal, > tetapi dipakai untuk menjalankan fungsi sosialnya > sesuai dengan jiwa dan > amanat Pasal 33 UUD kita. > > Karena itu, kurva penawarannya tidak dapat digambar > seperti yang ada > dalam buku teks karena perilakunya bukan profit > maximisation. > > Mengapa tim ekonomi di pemerintahan lantas bersikap > dan berperilaku > seperti monopolis partikelir ?. > > Lantas melupakan fungsi sosialnya dalam penetapan > harga minyak yang > miliknya rakyat ?. > > Bukankah buat migas produk Indonesia yang bekerja > bukan invisible > hands-nya mekanisme pasar, tetapi invisible > hands-nya kekuatan politik, > kepentingan dan ideologi ?. > > Saya paham supaya hasil penjualannya yang lebih > besar dapat dipakai > untuk tujuan-tujuan baik juga buat rakyat. > > Tetapi, siapa yang menentukan prioritas bahwa > pemerintah sebaiknya > menggencet rakyat dalam hal minyak supaya dapat > memanjakannya dalam > bidang pendidikan dan kesehatan ?. > > Jadi, dengan kebijakan yang diprotes rakyat banyak, > pemerintah justru > ingin memperbesar keadilan. > > KEADILAN. > > Dikatakan yang menikmati bensin terlampau murah > hanya orang kaya. > Ini tidak betul. > > Bagian terbesar dari kendaraan yang mengonsumsi > premium adalah sepeda > motor, bajaj, mikrolet, pick up dan truk pengangkut > barang, angkot, > ojek, dan masih banyak lagi orang miskin atau > kelompok yang > berpendapatan pas-pasan. > Orang kaya memakai bensin pertamax dan pertamax > plus. > > Kalau mau adil, jelas, konkret, dan tepat sasaran, > mobil sedan dan MPV > trendy dengan kapasitas di atas cc tertentu dipajaki > setinggi-tingginya. > Mengapa lantas menjadi tambal sulam ?. > > Rakyat digencet, > terus diobati dengan apa yang dinamakan kompensasi. > > Yang digencet perutnya sampai menjadi lapar, > obatnya pendidikan dan pelayanan kesehatan murah. > > Buat orang yang terlampau miskin dan lapar, > pendidikan menjadi abstrak, > betapapun pentingnya untuk jangka panjangnya. > Dan orang yang terlampau miskin, > dengan pendidikan yang membaik, > jangka panjangnya akan mati di tengah jalan karena > kelaparan. > > Pelayanan kesehatan murah memang diberikan, tetapi > mengapa dibuat tidak > sehat terlebih dahulu dengan disuruh kekurangan > makan karena naiknya > harga barang-barang kebutuhan pokoknya ?. > > ARTI KATA "SUBSIDI". > > Karena secara fundamentalis harus ikut dengan > mekanisme pasar di New > York, > selisih harga antara pasar New York dan harga yang > ditetapkan oleh > pemerintah Indonesia > disebut subsidi. > > Ini membawa kebingungan lagi. > Walaupun harga bensin ditetapkan sangat rendah, > tetapi tidak berarti > harga minyak mentah dihargai nol. > > Dengan harga yang sekarang berlaku untuk bensin > premium sebesar Rp 2.400 > per liter, harga minyak mentahnya dihargai Rp 1.860 > per liter. > Dengan sendirinya pemerintah memperoleh kelebihan > uang tunai sebesar Rp > 1.860 per liter untuk setiap liter bensin premium > yang digali dari bumi > Indonesia sendiri. > > Maka, istilah "subsidi" tidak sama dengan uang > keluar. > > Tetapi, karena kata "subsidi" lazimnya berarti ada > uang keluar, > sadar atau tidak, > pemerintah menjadi percaya bahwa subsidi identik > dengan pengeluaran > uang. > Ini mengakibatkan ucapan yang sangat aneh dan > membingungkan. > > Pernyataan pemerintah terakhir berbunyi : > "Kalau harga bensin tidak dinaikkan, pemerintah > tekor sekitar Rp 60 > triliun. Tetapi, kalau harga bensin dinaikkan, > pemerintah bisa > memberikan santunan kepada kaum miskin dengan jumlah > Rp 17,9 triliun". > > Mari kita telaah kalimat tersebut. > > Harga bensin premium sudah dinaikkan dari Rp 1.810 > menjadi Rp 2.400 per > liter. > Apakah dengan kenaikan ini pemerintah sudah > kelebihan uang sebesar Rp > 17,9 triliun atau lebih yang digunakan untuk > menyantuni kaum miskin ?. > > Saya bertanya kepada banyak orang yang menganut > faham bahwa subsidi > identik dengan uang keluar. > Mereka mengatakan, dengan harga bensin premium Rp > 2.400 per liter, > keuangan pemerintah masih tekor. > Hanya tekornya tidak lagi Rp 60 triliun. > Katakanlah tekornya yang tadinya Rp 60 triliun > menjadi Rp 20 triliun. > > Kalau masih tekor Rp 20 triliun, > kok bisa menyantuni kaum miskin sebesar Rp 17,9 > triliun ?. > > Inilah yang membuat sebagian anggota DPR sangat > berkeinginan menggunakan > hak angketnya supaya mempunyai gambaran yang > menyeluruh dan sebenarnya. > > Memang ruwet sekali, karena jenis-jenis produk dari > minyak mentah yang > demikian banyaknya, belum lagi derivatifnya. > > Oleh sebab itu, penghargaan kita menjadi berlipat > ganda buat para > anggota DPR yang ingin mengetahui segala sesuatunya > melalui hak angket. > > ASAS KAS ATAU ASAS AKRUAL ?. > > Keanehan lain. > Pos "Penerimaan BBM" dalam APBN adalah kuantitas > dikalikan dengan harga > minyak di pasar internasional yang tidak akan pernah > diterima oleh > pemerintah. > Mengapa ?. > > Karena harga yang berlaku di Indonesia ditetapkan > oleh pemerintah dengan > harga yang jauh lebih rendah. > Oleh sebab itu, untuk mengimbanginya, dicantumkan > angka di sisi > pengeluaran APBN dengan pos yang bernama "Subsidi > BBM". > Dengan sendirinya pos "Subsidi BBM" juga angka yang > tidak pernah akan > dikeluarkan. > > Cara penyusunan APBN seperti ini menyalahi prinsip > cash basis. > > Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang > Keuangan Negara Pasal 36 > memang diindikasikan akan diberlakukan basis akrual, > tetapi sebagai > peraturan peralihan dengan tenggang waktu lima > tahun. > Saya kira sekarang masih belum diberlakukan dengan > peraturan > pelaksanaannya. > Pasal 36 merujuk pada Pasal 1 Nomor 13, 14, 15, dan > 16 yang dinyatakan > sebagai sistem akrual. > Bunyi Pasal 1 Nomor 13 : > "Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang > diakui sebagai > penambah nilai kekayaan bersih". > > Harga yang berlaku di pasar dunia bukan hak > pemerintah karena pemerintah > menetapkan sendiri yang menjadi haknya untuk bensin > premium Rp 2.400 per > liter. Bukan Rp 3.240 per liter kalau didasarkan > atas harga minyak > mentah di pasar New York sebesar 50 dollar AS per > barrel dan 1 dollar AS > dianggap sama dengan Rp 8.600. > > UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak mampu > merumuskan dan > menjabarkan asas Kas dan asas Akrual yang benar > karena kacaunya pikiran > para pembuat undang-undang dalam kaitannya dengan > arti kata "subsidi" > untuk migas. > > IMPOR NETO. > > Sering dijelaskan bahwa tekor sampai Rp 60 triliun > itu betul-betul > pengeluaran uang karena kita harus mengimpor minyak > mentah maupun > bensin. > > Jumlah produksi kurang dibandingkan dengan jumlah > konsumsi. > Memang, tetapi tidak 100 persen dari kebutuhan > diimpor. > Yang diimpor adalah selisih antara produksi yang > merupakan hak pihak > Indonesia dan konsumsi. > Namun, jumlah yang harus dikeluarkan ini diimbangi > dengan jumlah > kelebihan uang dari seluruh produksi yang menjadi > hak pihak Indonesia. > > Kalau sekadar sebagai contoh kita mengacu pada > bensin premium, untuk > setiap liternya pemerintah kelebihan uang sebesar Rp > 1.860 seperti telah > dijelaskan tadi (Rp 2.400 dikurangi Rp 540). > > Berapa persisnya kelebihan uang ini dan berapa > persisnya uang yang > dibutuhkan untuk impor tidak pernah dibeberkan, > betapapun ruwetnya, > karena produk-produk dari minyak mentah yang begitu > banyaknya > > *** > > BANYAK keanehan dan teka-teki tentang bahan bakar > minyak atau migas > dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. > > KITA mengenal tiga macam sistem akunting atau > pembukuan. > > Pertama, sistem pembukuan tunggal atau single entry > system. > > Kedua, dan yang sekarang dipakai oleh semua > perusahaan, adalah sistem > double entry system, yang hampir semuanya juga > menganut prinsip accrual. > > Ketiga, sistem kameral. Sistem terakhir ini yang > dipakai untuk pembukuan > keuangan negara. > Sistem ini juga dinamakan sistem yang didasarkan > atas cash basis. > Artinya, tidak ada angka yang dicantumkan sebagai > penerimaan kalau > jumlah itu tidak masuk ke kas negara dalam bentuk > tunai. > Sebaliknya, tidak ada angka yang dicantumkan pada > sisi pengeluaran kalau > tidak dikeluarkan dalam bentuk uang tunai. > > Anggaran negara kita jelas menganut sistem tunai > atau cash basis. > Tetapi, yang aneh, hanya dalam hal migas saja > menyimpang. > > Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), > pada sisi > penerimaannya selalu ada pos yang bernama > "Penerimaan Migas". > > Jumlah ini adalah hasil volume atau quantity dalam > barrel dikalikan > dengan harga minyak yang berlaku di pasar dunia. > > Angka ini tidak akan pernah diterima oleh kas negara > karena, dengan > keputusan pemerintah bersama-sama dengan Dewan > Perwakilan Rakyat, harga > yang diterima dari penjualan kepada konsumen > Indonesia ditetapkan. Yang > sekarang berlaku untuk bensin premium adalah Rp > 1.810 per liter. > > Maka, terjadi selisih antara apa yang tercantum > dalam sisi penerimaan > dari APBN (karena harga dunia yang tidak akan pernah > diterima) dan harga > konsumen yang sekarang berlaku. > > Selisihnya ini dikoreksi pada sisi pengeluaran dalam > APBN dengan sebutan > "Subsidi Migas". > > Mengapa tidak dicantumkan satu angka saja pada sisi > penerimaan, yaitu Rp > 1.810 per liter ?. > > Harga standard. > > Dalam akuntansi, kita mengenal harga standar yang > bisa berbeda dengan > harga sebenarnya. > Harga standar yang demikian selalu diperkirakan > supaya sedekat mungkin > dengan harga yang sebenarnya. > Maksudnya tiada lain supaya pembukuan dapat langsung > dilakukan dengan > cepat agar hasilnya yang sangat mendekati kebenaran > diketahui oleh > manajemen yang sangat membutuhkannya untuk mengambil > keputusan-keputusan > dengan cepat. > Selisihnya dengan harga sebenarnya (harga aktual), > yang ketahuannya baru > belakangan, dikoreksi dengan pos "Selisih Harga". > Dalam APBN pada > umumnya yang cash basis, kita mengenal > APBN-Perubahan (APBN-P). > Dalam hal migas, kebutuhan ini tidak ada karena > harga bensin tidak > berubah-ubah. > Semua penerimaan dapat langsung dibukukan karena > semuanya eksak, yaitu > Rp 1.810 per liter untuk bensin premium. > > Pembukuan migas dalam APBN tidak demikian. Yang > tercantum dalam pos > "Penerimaan Migas" tidak dimaksudkan untuk mendekati > penerimaan yang > sebenarnya dari konsumen Indonesia, tetapi yang > mendekati harga yang > terbentuk di pasar internasional. > Selisih antara dua angka ini sangat besar. > > Harga normatif. > > Kita juga bisa memasukkan dalam harga standar itu > unsur norma sehingga > harga standar namanya berubah menjadi harga > normatif. Harga normatif > adalah harga yang mestinya bisa dicapai. > > Dalam hal harga bensin premium, mestinya bisa dijual > dengan harga Rp > 3.240 atas dasar harga minyak mentah dunia yang 50 > dollar AS per barrel > dengan kurs rupiah Rp 8.600 per dollarnya, > seandainya tidak ada > kewajiban pemerintah mesti menyediakan bahan bakar > minyak (BBM) untuk > rakyatnya dengan harga yang dianggap terjangkau. > > Akan tetapi, karena kenyataannya dijual dengan harga > Rp 1.810 per liter, > selisihnya itu adalah kesempatan yang hilang. > Bukan kerugian dalam bentuk uang tunai. > > Mengapa ada kebutuhan menampilkan kesempatan yang > hilang kepada rakyat > Indonesia, sampai pembukuan keuangan negara dibuat > menentang Indonesian > Corruption Watch (ICW) maupun Undang-Undang Nomor 17 > Tahun 2003 tentang > Keuangan Negara yang harus cash basis ?. > Siapa yang menyuruh, Dana Moneter Internasional > (IMF) dan Bank Dunia ?. > Dengan maksud apa ?. > Bagaimana dengan normatif untuk penerimaan pajak ?. > > Kalau penerimaan harus dicantumkan dengan angka > normatif seperti halnya > dengan migas yang normatifnya adalah harga yang > terbentuk di pasar > internasional, mengapa penerimaan pajak tidak > dicantumkan dengan angka > normatif. Yaitu yang normalnya harus diterima dengan > tax ratio yang > wajar, dengan korupsi tidak keterlaluan seperti yang > berlaku di > negara-negara lain ?. > > Karena kenyataannya banyak yang tidak membayar pajak > dan juga banyak > yang dikorup, bisa diimbangi dengan cara > mencantumkan pengeluaran di > sisi pengeluaran APBN dengan pos yang misalnya > dinamakan "Subsidi kepada > Penggelap Pajak dan Pencuri Hasil Pajak" ?. > > Mengapa hanya migas yang diperlakukan seperti yang > diuraikan di atas ?. > > Bagaimana dengan pembukuan dari sumber daya mineral > lainnya, seperti > batu bara, emas, tembaga, dan uranium ?. > > Mengapa tidak disebutkan harga dunianya yang lalu > diimbangi dengan pos > "subsidi" kalau menyangkut semua sumber daya mineral > lainnya kecuali > migas ?. > > Para teknokrat birokrat di Departemen Keuangan perlu > memberikan > penjelasan tentang landasan falsafah yang bagi orang > awam sangat aneh > ini. > > Dalam menjelaskan itu, semua data dan informasi > harus dibuka. > > Minyak dan gas alam milik rakyat seluruhnya. > Mengapa rakyat yang memiliki itu tidak boleh > mengetahui semua hal ihwal > tentang miliknya sendiri, > sedangkan kita sudah enam tahun dalam era > keterbukaan ?. > > Kalau semuanya itu dibuka, dijelaskan dan > dikemukakan alasan yang > sebenarnya kebijakan menaikkan harga bensin, > rasanya rakyat akan mengerti. > > *** > > MENAIKKAN HARGA BENSIN PREMIUM. > > JUDUL tulisan ini tidak seperti lazimnya, yaitu > "Mencabut Subsidi BBM". > Mengapa ?. > > Pertama, lebih dimengerti rakyat jelata menggunakan > istilah "bensin" > ketimbang bahan bakar minyak atau BBM. > > Kedua, dengan harga bensin premium yang berlaku > sekarang, yaitu Rp 1.810 > per liter, pemerintah sama sekali tidak memberi > subsidi. > > Sebaliknya, pemerintah memperoleh kelebihan uang > tunai. > > MINYAK mentah yang ada di bawah permukaan bumi > disedot sampai ke atas > permukaan bumi. > Untuk itu ada biayanya, yaitu Rp X per liter. > > Minyak mentah yang sudah ada di atas permukaan bumi > diproses sampai > menjadi bensin. > Biayanya Rp Y per liter. > > Bensin itu harus diangkut ke pompa-pompa bensin. > Biayanya Rp Z per liter. Rp X + Rp Y + Rp Z = 10 > dollar AS per barrel. > > Satu barrel sama dengan 159 liter. > > Kalau nilai tukar rupiah satu dollar AS sama dengan > Rp 8.600, > maka keseluruhan biaya untuk 1 liter adalah > = (10 x Rp 8.600) : 159 = Rp 540,88, > dibulatkan menjadi Rp 540 per liter. > > Seperti kita ketahui, bensin premium dijual dengan > harga Rp 1.810 per > liter. > > Jadi, untuk setiap penjualan satu liter bensin > premium, pemerintah > kelebihan uang sebanyak Rp 1.270, > yaitu kemasukan uang dari menjual bensin sebanyak Rp > 1.810 per liternya > dikurangi dengan pengeluaran uang sebanyak Rp 540 > itu tadi. > > Ditinjau dari sudut keluar masuknya uang, > pemerintah kelebihan uang tunai. > Mengapa dikatakan pemerintah memberi subsidi ?. > > PENGERTIAN SUBSIDI. > > Pemerintah merasa memberi subsidi kepada rakyat yang > membeli bensin > premium karena seandainya bensin premium itu dijual > di luar negeri, saat > ini harganya 50 dollar AS per barrel. > > Dengan kurs yang sama, yaitu Rp 8.600 per dollar AS, > harga minyak mentah > di luar negeri per barrel sebesar 50 x Rp 8.600 = Rp > 430.000. > Per liternya dibagi 159 atau sama dengan Rp 2.704,4, > dibulatkan menjadi Rp 2.700. > Ini harga minyak mentah di luar negeri. > > Kalau dijadikan bensin, ditambah dengan tiga biaya > itu tadi, yakni biaya > penyedotan, pengilangan, dan transportasi > yang keseluruhannya berjumlah Rp 540 per liter, maka > harga bensin di > luar negeri > Rp 2.700 + Rp 540 = Rp 3.240 per liter. > > Selisih harga bensin di luar negeri yang Rp 3.240 > per liter > dengan harga bensin di Indonesia yang Rp 1.810 per > liter ini, > atau Rp 1.430 per liternya, > ini disebut subsidi. > > Pemerintah "merasa" memberi subsidi karena tidak > bisa menjual bensin > dengan harga dunia, gara-gara adanya kewajiban > memenuhi kebutuhan > rakyatnya akan bensin premium dengan harga yang > rendah, > yaitu hanya Rp 1.810 per liternya. > > Pemerintah jengkel, merasa sial benar tidak dapat > menjual bensinnya > diluar negeri dengan harga Rp 3.240 per liter. > > Seandainya tidak perlu menjual kepada rakyatnya > sendiri dengan harga Rp > 1.810, > pemerintah akan memperoleh tambahan pendapatan > sebesar selisihnya yang > disebut "subsidi" itu tadi sebesar > Rp 3.240 - Rp 1.810 atau Rp 1.430 per liternya. > > Bayangkan, berapa kesempatan yang hilang. > Ya, kesempatan itulah yang hilang, > bukan uang tunai. > > Jadi, jelas kiranya, > yang dinamakan subsidi itu pengertian abstrak > yang sama sekali tidak berimplikasi adanya uang > keluar. > > Dalam kenyataan pemerintah mendapatkan kelebihan > uang. > > Hanya, kelebihannya tidak sebesar seandainya rakyat > Indonesia diharuskan > membeli bensin produksi dalam negeri dengan harga > dunia. > > BERAPA KELEBIHAN UANG PEMERINTAH ?. > > Angkanya yang pasti, tidak dapat saya peroleh, > karena saya tidak berhasil mendapatkan kuantitas > minyak mentah yang > menjadi haknya bangsa Indonesia. > > Sekitar 92 persen dari minyak mentah kita disedot > oleh kontraktor asing. > Hasilnya dibagi antara kontraktor asing dan bangsa > Indonesia yang > memiliki minyak mentah karena terdapatnya di dalam > perut bumi Indonesia. > Perhitungannya ruwet sekali. > > Yang sering kita dengar hanyalah kontrak bagi hasil > antara pemerintah > yang diwakili oleh Pertamina dan kontraktor asing > dalam perbandingan 85 persen untuk bangsa Indonesia > dan 15 persen untuk > kontraktor asing. > Tetapi, ada faktor-faktor lain yang membuat ruwet > seperti apa yang > dinamakan : cost recovery, pro rata, dan in kind, > sehingga kita sulit > mendapatkan angkanya yang eksak. > > Maka, kita katakan saja minyak mentah yang menjadi > haknya bangsa > Indonesia netonya sebesar Q liter per tahunnya. > Kelebihan uangnya per tahunnya ya, > Q liter dikalikan dengan Rp 1.270 itu tadi. > Jumlah ini banyak sekali. > > Kalau kita andaikan bersihnya 70 persen dari > produksi minyak mentah > yang 1,125 juta barrel per hari hak bangsa > Indonesia, > ini sama dengan 70 persen x 1.125.000 barrel > atau 787.500 barrel per hari > atau 125.212.500 liter per hari, > yaitu 787.500 barrel dijadikan liter > dengan mengalikannya dengan 159 (1 barrel = 159 > liter). > Per tahunnya dikalikan 365 menjadi 45.702.562.500 > liter. > > Kelebihan uang per liternya Rp 1.270. > Jadi, kelebihan uang per tahunnya adalah > 45.702.562.500 x Rp 1.270 > atau Rp 58.042.254.375.000 > > HARUS IMPOR. > > Kebutuhan bensin kita 60 juta kiloliter per tahunnya > atau 60.000.000.000 liter. > Produksinya seperti kita lihat tadi, hanya > 45.702.562.500 liter. > Maka, kita harus impor sebesar 14.297.437.500 liter. > > Ini harus dibayar dengan harga dunia sebesar Rp > 3.240 per liternya, > atau Rp 46.323.697.500.000. > > Jadi, ada kelebihan uang sebesar Rp > 58.042.254.375.000. > > Tetapi, ada kebutuhan impor dengan jumlah uang > sebesar Rp 46.323.697.500.000. > > Alhasil masih ada kelebihan uang sebesar Rp > 11.718.556.875.000. > > Masih kelebihan uang. > > Jadi, walaupun sebagian dari kebutuhan bensin harus > diimpor > dengan harga dunia, > masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp > 11.718.556.875.000 > > HARGA BENSIN TERLAMPAU MURAH. > > Apakah harga bensin premium yang Rp 1.810 per > liternya itu tidak > terlampau murah ?. > Rasanya ya, > karena satu botol Coca Cola di restoran dijual Rp > 10.000 sampai Rp > 15.000. > Maka, kalau mau dinaikkan memang pantas, > asalkan kenaikannya tidak terlampau memberatkan. > > Dengan menaikkan harga bensin premium, > pemerintah memang mendapat pemasukan lebih besar > yang dapat dipakai untuk tujuan-tujuan baik atau > dikorupsi. > > Tetapi, kalau dikatakan bahwa harga bensin premium > tidak dinaikkan, > pemerintah harus keluar uang sekitar Rp 10 triliun > per bulannya, > jelas tidak betul. > > Yang betul malah kelebihan uang sebesar Rp 11,73 > triliun per tahun. > > Keseluruhan gambaran dari tulisan ini sangat amat > disederhanakan dari > kenyataan. > Demikian juga angka-angkanya. > Tulisan ini adalah model untuk mendapat pengertian > yang sebenarnya. > > Jadi, bukan angka-angka eksak yang dipentingkan. > Maksudnya hanya menjelaskan bahwa > tanpa menaikkan harga bensin premium, > pemerintah sudah kelebihan uang tunai > dari keseluruhan eksploitasi minyak mentah > untuk dijadikan bensin premium. > > Apakah harganya terlalu rendah sehingga perlu > dinaikkan adalah urusan > lain lagi. > > Tetapi, jangan menakut-nakuti rakyat > dengan mengatakan kalau tidak dinaikkan sampai harga > dunia, > pemerintah harus keluar uang Rp 10 triliun per > bulannya, > dan karena itu keuangan negara menjadi bangkrut. > > Artikel ini hanya membahas bensin premium, > belum bensin pertamax dan pertamax plus serta gas > yang semuanya surplus lebih besar lagi. > > *** > > Janji perubahan yang pernah dilontarkan SBY perlu > dicermati komitmen > pemerintahannya terhadap perbaikan nasib rakyat, > pemberantasan korupsi, > dan peningkatan martabat bangsa. > > Memang harus diakui, masa seratus hari memang jauh > dari cukup untuk > menilai secara tuntas hal-hal yang telah dicapai > oleh sebuah > pemerintahan. > > Walaupun demikian, jika dibatasi hanya untuk membaca > arah dan menakar > komitmen untuk melakukan perubahan, maka masa > seratus hari sesungguhnya > lebih dari cukup. > > Jangankan seratus hari, arah dan komitmen perubahan > sebuah pemerintahan > sesungguhnya dapat dibaca dan ditakar sejak hari > pertama pemerintahan > tersebut. > > Apabila disimak pada aspek kepemimpinan, > keraguan terhadap kualitas kepemimpinan SBY > sesungguhnya sudah mencuat > sejak hari pertama. > > Hal itu tidak hanya ditandai oleh terjadinya > tarik-menarik dan penundaan > dalam pembentukan kabinet. > > Tetapi tampak secara mencolok pada didominasinya tim > ekuin Kabinet > Indonesia Bersatu (KIB) oleh para ekonom yang sangat > propasar dan > berwatak neoliberal. > > Kegagalan SBY membentuk tim ekuin Kabinet Indonesia > Bersatu (KIB) yang > memiliki "watak berbeda" dengan tim ekuin Kabinet > Gotong Royong (KGR), > jelas mengindikasikan kelemahan watak kepemimpinan > SBY dalam memenuhi > janji perubahan yang pernah dilontarkannya. > > Dengan dominasi para ekonom yang sangat propasar dan > berwatak neoliberal > -di struktur tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu > (KIB)- maka > berlanjutnya proses peminggiran rakyat melalui > penyelenggaraan > agenda-agenda ekonomi neoliberal, dapat dipastikan > akan sulit dicegah. > > Mengenai komitmen untuk membela kepentingan bangsa, > sejauh ini boleh > dikatakan belum ada yang dapat dicatat sebagai > pertanda kemajuan. > > Alih-alih pertanda kemajuan, bahkan dalam kasus > pembatalan UU > Kelistrikan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi > -atas nama > pembangunan infrastruktur- pemerintahan SBY justru > tampak lebih berpihak > kepada investor asing daripada kepada UUD 1945. > > Tidak tanggung-tanggung, situasi makin diperparah > dengan rencana tim > ekuin KIB untuk menaikkan harga BBM sebesar > rata-rata 40 persen. > > Situasi itu masih diperparah lagi oleh belum > dicapainya kemajuan dalam > penyelesaian sengketa dengan beberapa perusahaan > multinasional. Sengketa > antara pemerintah dan PT Karaha Bodas Company (KBC), > Cemex Asia Holding, > dan PT.Newmont Indonesia, boleh dikatakan masih > jalan di tempat. > > Pemerintahan SBY dalam membela harkat dan martabat > bangsa, jelas sekali > menunjukkan kelemahan. > > Kegagalan tim ekuin dalam memperoleh hasil maksimal > tawaran moratorium > utang, ditambah dengan keterlibatan yang sangat > intens dari pasukan > asing dalam penanganan bencana tsunami. > > Bagaimana halnya dengan komitmen untuk memberantas > korupsi ?. > > Pengangkatan Abdurahman Saleh sebagai jaksa agung > pada mulanya tampak > cukup menjanjikan. Pada mulanya figur itu memberikan > harapan, paling > tidak bisa membebaskan dirinya dari tekanan berbagai > pihak yang ingin > melanggengkan korupsi. > > Tetapi bila disimak perjalanan pemerintahan SBY > dalam 100 hari terakhir, > kita kembali dipaksa untuk mempertanyakan > keseriusannya. > > Sulit dibayangkan bahwa rencana SBY untuk > memberantas korupsi tidak akan > diganjal oleh orang-orang di sekitarnya. > > Mencermati catatan-catatan tersebut, mudah > dimengerti bila kepercayaan > masyarakat terhadap pemerintahan SBY akhir-akhir ini > cenderung merosot. > > Hal mendasar yang menyebabkan ditinggalkannya > pemerintahan Megawati > Soekarnoputri (MSP) oleh masyarakat Indonesia. > Antara lain disebabkan > oleh : > > Pertama, pemerintahan MSP ditandai oleh watak > kepemimpinan yang lemah. > Janji MSP untuk membela kepentingan wong cilik, > dengan mudah ditelikung > oleh tim ekuin Kabinet Gotong Royong (KGR), dan > kemudian dibelokkan ke > arah penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal. > > Kedua, pemerintahan MSP sangat lemah komitmennya > untuk membela > kepentingan bangsa. Kasus penjualan PT Indosat > kepada BUMN Singapura, > lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, Indonesia yang > selalu menjadi > pecundang oleh kepentingan asing. > > Ketiga, pemerintahan MSP buruk komitmennya untuk > memberantas korupsi. > Pemilihan jaksa agung yang tidak tepat, diperparah > oleh berbagai skandal > korupsi yang mengindikasikan keterlibatan sejumlah > menteri Kabinet > Gotong Royong (KGR). > > Agar pemerintahan SBY tidak mengalami nasib serupa > dengan pemerintahan > MSP. Maka sudah tiba masanya bagi SBY untuk > melakukan terapi kejut untuk > mengejutkan para pembantunya. > > Reshuffle kabinet ?, Jenderal !. > Siap Laksanakan !. > > *** > diramu & disadur dari : > AMERIKANISASI BBM. > Revrisond Baswir. > Republika, Senin, 21 Maret 2005. > SERATUS HARI TANPA KEJUTAN. > Revrisond Baswir. > Republika, Senin, 31 Januari 2005. > MENAIKKAN HARGA BENSIN PREMIUM. > Kwik Kian Gie. > Kompas, Kamis, 03 Februari 2005. > PEMBUKUAN BBM DALAM APBN. > Kwik Kian Gie. > Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005. > FUNDAMENTAL KEBIJAKAN BBM. > Kwik Kian Gie. > Kompas, Senin, 14 Maret 2005. > BENSIN PETRONAS SIAP MELUNCUR. > BENGKONG, BENSIN DARI SINGKONG. > Tabloid Otomotif. > edisi 40:XIV. > MENANAM BENSIN DI KEBUN SINGKONG. > Gatra. > *** > This article comes from Musholla Al Barokah > http://www.albarokah.or.id/ > BUNGA RAMPAI SEPUTAR SUBSIDI BBM. > The URL for this story is: > http://www.albarokah.or.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=392 > *** > > > > > > > > > > > > > > > > _______________________________________________ > Saksi mailing list > [EMAIL PROTECTED] > http://groups.syahid.com/mailman/listinfo/saksi_groups.syahid.com > Bacalah artikel tentang Islam di: http://www.nizami.org __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - Find what you need with new enhanced search. http://info.mail.yahoo.com/mail_250 ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Has someone you know been affected by illness or disease? Network for Good is THE place to support health awareness efforts! http://us.click.yahoo.com/Rcy2bD/UOnJAA/cosFAA/GEEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/