KENAIKAN HARGA TANAH

 DI INDONESIA DAN JEPANG :

 SEBUAH STUDI PERBANDINGAN





Dhaniel Ilyas[1]




I.     PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Perkembangan pesat yang terjadi di daerah sekitar perkotaan, mengakibatkan
kebutuhan terhadap tanah semakin meningkat. Kebutuhan tanah bagi industri
dan berbagai kegiatan ekonomi bersaing dengan kebutuhan tanah bagi perumahan
yang terus meningkat.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, pemerintah mengimbau pengusaha swasta untuk
melakukan pengembangan kawasan perumahan skala besar secara terpadu dalam
rangka mengantisipasi lonjaknya kebutuhan rumah di perkotaan. Himbauan
pemerintah ini, awalnya tidak didukung oleh juklak yuridis yang mengatur
penguasaan lahan dalam skala besar.

Sejumlah pengusaha dengan caranya masing-masing membawa proposal
pengembangan kota baru pada Pemda Tingkat I dan Tingkat II serta ikut terjun
melakukan penguasaan lahan dalam skala besar. Maka, lahirlah belasan proyek
kota baru di kawasan Jabotabek dengan proyeksi penguasaan lahan mencapai
puluhan ribu hektar.

Sesuai dengan hukum ekonomi, pembebasan lahan dalam skala besar yang
berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, diikuti pula oleh melonjaknya
harga tanah di perkotaan. Praktek-praktek spekulasi, percaloan, dan sukses
yang dilakukan sejumlah pendatang baru di bisnis realestat dalam merekayasa
pasar, adalah beberapa faktor yang ikut mendorong terjadinya lonjakan harga
tanah tersebut.

Luas tanah perkotaan konstan sementara yang membutuhkan semakin banyak. Maka
tak heran bila harga tanah perkotaan cenderung membubumg. Selain sebagai
obyek bisnis, tanah juga menjadi ajang spekulasi. Nilai komersial tanah yang
terus naik mendorong pemilik modal melakukan penguasaan tanah. Investasi di
sektor tanah dipandang sangat menguntungkan karena dalam waktu yang relatif
singkat bisa memberikan capital gain. Maka jangan heran bila banyak spekulan
memburu lahan-lahan pertanian yang berdekatan dengan kota-kota besar untuk
dijadikan daerah pengembangan pemukiman .

Komponen harga tanah di Indonesia, khususnya jakarta, merupakan salah satu
yang termahal di Dunia, berkisar antara 45-90 persen dari keseluruhan harga
rumah. Dengan tingkat pendapatan yang jauh lebih tinggi, komponen harga
tanah di Perancis hanya 20 persen, di AS juga hanya 20 persen. Tanah
berkembang menjadi komoditi spekulasi, dan tidak adanya sistem pajak untuk
pemilihan rumah kedua, membuat akses masyarakat luas kepada sumber daya
perumahan semakin terbatas. Lalu bagaimana dengan fenomena harga tanah di
Indonesia ini bila dibandingkan dengan Jepang, "Negeri mitosnya harga tanah"
,yang merupakan negara dengan harga tanah termahal di dunia. Dan bagaimana
pula bila dibandingkan dengan negara di Eropa, seperti Jerman atau Amerika
Serikat. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus harga tanah di negara-negara
lain tersebut?

Tanah merupakan sebuah komoditi yang sangat penting perannya dalam
perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan. Tanah menyangkut kebutuhan
hidup orang banyak (seperti perumahan), juga sebagai faktor yang menentukan
suatu bisnis (fator lokasi tanah). Perkembangan naik turunnya harga tanah
akan mempunyai dampak yang luas dari segi ekonomi maupun sosial, maka oleh
karena itulah pemerintah harus benar-benar memperhatikan masalah pertanahan.


B.     Tujuan Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penyusun bertujuan untuk mengeksplorasi pengaruh
perkembangan naik turunnya harga tanah terhadap pertumbuhan ekonomi
perkotaan. Penulis berharap dengan pembuatan makalah ini, wawasan di sekitar
masalah pertanahan dapat meningkat, khususnya masalah pertanahan yang
berhubungan dengan aspek-aspek ekonomi. Sehingga pengetahuan pertanahan
penyusun tidak hanya sekedar pada isu klasik "penggusuran".

Penyusun juga berharap dengan adanya makalah ini, akan menjadi latihan yang
berguna dalam melakukan analisis masalah-masalah perkotaan, khususnya
permasalahan pertanahan dengan mengunakan ilmu ekonomi perkotaan dan
pengangkutan yang berumur masih muda. Semoga hasil analisis yang dilakukan
penyusun dapat berguna kelak sebagai pelajaran berharga penyusun dalam
menganalisa isu-isu perekonomian yang mempunyai dimensi yang luas terkait
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.



II.  BEBERAPA DASAR TEORI EKONOMI TANAH PERKOTAAN

A.     Penggunaan Tanah Perkotaan dan Karakteristik dari Tanah Perkotaan
Penggunaan tanah, konsep dasar yang digunakan dalam makalah ini, diartikan
sebagai suatu tujuan akhir dari pengalokasian tanah, dengan mengasumsikan
sebuah keputusan yang sadar untuk menggunakannya kepada tujuan yang
diinginkan. Kita mengenal pembagian penggunaan tanah untuk keperluan
statistik dan diskusi adalah sebagai berikut : [2] perkotaan, rekreasi,
pertanian, ladang, kehutanan, transportasi, cadangan air, perlindungan satwa
dan hutan lindung, dan penggunaan lainnya. Perubahan dari penggunaan tanah
dari suatu keperluan untuk keperluan lainnya secara langsung akan memasukan
perubahan kompensasi untuk penggunaan lainnya. Maksudnya perubahan
penggunaan tanah juga akan merubah struktur opportunity cost tanah itu
sendiri beserta tanah-tanah lainnya.

Penggunaan tanah perkotaan disebutkan pertama kali dalam pembagian
penggunaan tanah karena dalam berbagai hal, tanah perkotaan adalah jenis
penggunaan tanah yang nilainya paling tinggi dibanding  tipe-tipe penggunaan
yang lainnya. Dan penggunaan tanah perkotaan ini diperkirakan akan semakin
meningkat di masa depan seiring dengan terus berlangsungnya proses
urbanisasi dan aglomerasi.

Dalam pembahasan mengenai tanah perkotaan kita harus dapat membedakannya
antara penggunaan aktual dari tanah dan total area yang ditarik kembali oleh
kota untuk penggunaan lainnya. Di Amerika hanya sekitar setengah dari jumlah
tanah perkotaan yang ditarik kembali oleh kota yang benar-benar digunakan
untuk perumahan dan keperluan industri dan untuk sekolah, taman dan jalan.
Lebih lanjut lagi kita juga harus dapat membedakan antara kota sebagai suatu
unit politik(dengan batasan-batasan kota yang legal dan kekuatan legalnya)
dengan kota sebagai sebuah unit ekonomi. Area yang terurbanisasi telah
dimapankan sebagai sebuah area kota yang inklusif. Kepadatan penduduk di
suatu kota adalah sebuah fungsi dari ukuran kota. Tanah digunakan secara
kurang intensif di kota-kota kecil dibanding di kota-kota besar.

Fakta sejarah di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada hubungan paralel yang
dekat antara pertumbuhan pendapatan nasional Amerika Serikat dalam harga
konstan dengan pertumbuhan ukuran dari populasi perkotaan. [3] Hal ini
menunjukkan peran penting dari ekonomi perkotaan dalam pertumbuhan ekonomi
nasional.

Ada tiga set karakteristik tanah yang membedakan dengan barang lainnya yang
sering disebutkan dalam literatur-literatur ekonomi tanah perkotaan(urban
land economics) : [4]

1.      Karakteristik fisik

Karakteristik fisik termasuk atribut-atribut seperti kemiringan, ketinggian,
bentuk, kesuburan dan dimensi yang secara alamiah melakat pada tanah.
Berikut ini Empat karakteristik fisik yang paling abstrak yanng membedakan
tanah perkotaan dengan entitas ekonomi lainnya :

  1.. Berdimensi ruang(Space)
Karakteristik dimensional dari sebuah tanah mungkin merupakan karakteristik
fisik yang terpenting. Jadi kuantitas lokasi yang terdapat pada sebuah tanah
adalah secara kritis amat penting dalam pemahaman kita akan utilitas ekonomi
dari sebuah tanah perkotaan.

  2.. Tidak dapat dihancurkan(Indestructibility)
Lokasi fisik tanah dapat diciptakan atau dimusnahkan. Pemahaman mengenai
suatu lokasi muncul dari suatu struktur yang diciptakan untuk membuatnya
berguna bagi masyarakat. Sifat tidak dapat dihancurkan dari tanah, ini
berarti bahwa tanah perkotaan memiliki sebuah karakteristik jangka panjang
yang secara signifikan berbeda dari jenis barang dan jasa ekonomi lainnya.
Hal tersebut juga mengimplikasikan bahwa jumlah persediaan fisik lokasi
secara absolut adalah tetap, meskipun struktur dari ketahanan yang tidak
lama mempengaruhi penawaran efektif dari properti riil yang tersedia pada
suatu titik waktu tertentu.

  3.. Tidak dapat bergerak atau dipindahkan(Immobility)
Lokasi pada permukaan bumi tidak dapat dipindahkan dengan cara apapun. Tanah
secara permanen besifat tetap dengan lokasi fisik yang melingkupinya.

  4.. Keunikan(Uniqueness)
Dalam pengertian sempit, setiap unit dari properti riil adalah unik. Hanya
ada satu dari setiap lokasi pada permukaan bumi ini. Lebih lanjut lagi,
setiap unit tanah dikarakteristikkan dengan kemiringannya, aspek-aaspeknya,
ketinggiannya, kesuburannya, mineralisasinya, unit tanah di sekelilingnya
dan karakteristiknya, dimensinya, bentuknya, iklimnya dan seterusnya.
Keunikan ini mengimplikasikan bahwa supplai dari pemandangan tanah dapat
dibeda-bedakan, yang membutuhkan dengan cepat sebuah analisis yang agak
berbeda dari analisis secara tradisional dalam situasi persaingan
sempurna(perfect competitive) dengan asumsi barang dan jasanya yang homogen
dan tidak terdiferensiasi. Walaupun tanah bersifat unik, tetap ada sebuah
substitusi yang dekat pada beberapa unit tanah di alam area kota, yang
membolehkan kita membuat asumsi mengenai persaingan, tetapi asumsi ini harus
digunakan dengan kehati-hatian yang tinggi untuk menetapkannya pada
kesesuaian dalam setiap kondisi. Keempat karakteristik diatas membedakan
tanah dengan kuantitas ekonomi lainnya dan membutuhkan pengaturan khusus.

2.      Karakteristik lokasional

Ada sebuah cerita lama yang sering dikatakan dalam industri real estate
bahwa tiga karakteristik terpenting dari real estate perkotaan, secara
berurutan adalah lokasi, lokasi dan lokasi. Lokasi merupakan salah satu
bahasan sentral dalam ekonomi tanah perkotaan dan ekonomi perkotaan, dan
aspek lokasi dari tanah perkotaan akan menyita banyak perhatian kita,
seperti mereka berhubungan secara erat dengan penggunaan unit-unit tanah
perkotaan yang diletakkan, sampai kepada nilai ekonomi dan sosialnya. Ketika
kita berkata mengenai koordinasi dari unit-unit tanah, kita menunjuk kepada
keseluruhan jaringan dari interaksi ekonomi, sosial, spasial yang
mempengaruhi aktivitas ekonomi pada lokasi tertentu yang dipertanyakan.

3.      Karakteristik legal

Dalam pengenalan kita mengenai keunikan dari sumber daya tanah perkotaan,
sebuah set institusi legal yang terpisah telah dikembangkan berabad-abad
yang lalu mengenai isu legal yang berhubungan dengan penggunaannya,
disposisinya dan kepemilikan dari tanah perkotaan dan perkembangan yang
melekat padanya.

      Secara fundamental barang ekonomi yang kita sebut tanah perkotaan
tidak lain hanyalah sebuah kombinasi dari hak legal yang inheren dengan
tanah perkotaan. Hak properti ini merefleksikan sikap sosial dan institusi
sosial dari suatu masyarakat. Institusi dari riil properti ini berbeda dari
satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainnya, dan sifat dari hak properti yang
tepat harus diikutsertakan sebelum kita melakukan analisa ekonomi
pertanahan.

Karakteristik-karakteristik dari tanah perkotaan yang membedakannya dengan
jenis barang-barang ekonomi lain ini akan membawa kita kepada suatu
penentuan harga tanah yang unik, yang bergantung kepada karakteristik
lokasi, fisik berikut legalitasnya.



B.     Permintaan Tanah Perkotaan untuk Tujuan Spekulasi [5]
Ada juga permintaan tanah yang secara independen tidak didasarkan pada
produktivitas dari keperluan penggunaannya untuk pertanian, komersial, atau
perumahan. Permintaan ini secara potensial muncul dari distorsi yang
diciptakan oleh sistem pajak atau dari efek inflasi.

Pada analisis ini, sebuah rumah tangga(household) mempunyai pendapatan
sebesar y yang telah dipajaki(after-tax), dan harus dialokasikan antara
perumahan dan barang lainnya. Misalkan t merupaka marginal rate dari
personal income taxation dan Z menjadi pendapatan rumah tangga(household)
sebelum pajak(before-tax). Rumah tangga(household) mempunyai dua periode
dengan pertimbangan, katakan saja t dan t + 1 dengan t + 1 terjadi setahun
kemudian setelah t.

Misalkan saja tanah didapatkan oleh household secara murni untuk keperluan
investasi, dengan tidak mempunyai tujuan untuk mengkonsumsi. Jadikan tingkat
dari ekspektasi inflasi menjadi pe ,dan jadikan r menjadi tingkat suku bunga
untuk investasi selain investasi di tanah, yang dapat dieksemplifikasi
dengan membuka tabungan atau deposit finansial lainnya(deposito, dll). Jika
rn adalah return bersih dari deposit tabungan setelah pajak, maka :



                   rn = (1 - t)r - pe................(1)



Dimana ekspektasi inflasi tidak dapat dikurangkan dalam penghitungan
kewajiban pajak. Tingkat bunga pada investasi lainnya adalah r, tetapi ini
akan menjadi subjek dari pajak. Jadi (1 - t)r adalah tingkat bunga setelah
pajak; dengan dikurangi ekspektasi inlasi pe akan menghasilkan return riil
setelah pajak dari investasi ini. Dimana dalam kasus ini, rn akan sama
dengan (1 - t) (r - pe). Jika tingkat bunga 12 persen dan ekspektasi inflasi
10 persen, seorang investor dengan marginal tax market menerima sebesar -
2.8 persen return dari investasi.

            Investasi alternatif adalah dalam tanah, yang tidak mempunyai
return secara kas(cash return) tetapi meningkat dengan tingkat ekspektasi
inflasi pada pe. Capital gain pada tanah dipajaki setengahnya di Amerika
serikat dan Kanada. Jadi rL + (1 - t/2)pe - pe. Ini mengasumsikan bahwa
tanah tidak mempunyai marjinal produk. Jika tanah mempunyai sebuah marjinal
produk yang positif, hasilnya adalah perubahan untuk meningkatkan return,
tetapi efek kualitatifnya adalah sama. Untuk mengindikasikan hal ini,
misalkan saja marjinal produk dari tanah adalah k. Maka return riil adalah
marjinal produk ditambah inflasi, atau pe + k sebelum pajak. Tingkat pajak
pada capital gains adalah t/2, jadi tingkatnya setelah pajak(after- tax
rate) adalah (1 - t/2)(pe + l). Akhirnya, rL diperoleh dari return riil
setelah inflasi dan pajak dengan dikurangi pe, Maka :



                        rL = (1 - t/2)(pe + k) - pe...........(2)



Dan jika k adalah 2 persen, rL = 0.096 - 0.1, atau - 0.0004 persen. Dalam
kasus ini keduanya memberikan return yang negatif, tetapi untuk tanah lebih
kecil ruginya. Semakin rendahnya tingkat pajak pada tanah akan semakin
mengarahkan kepada sebuah investasi yang lebih besar dalam sebuah lingkungan
yang inflasioner. Dari teori ini kita sebenarnya  bisa mencoba rumusnya yang
telah dimodifikasi untuk kemudian diterapkan pada data kenaikan harga tanah
di Jakarta, untuk melihat tingkat spekulasi dalam perkembangan kenaikan
harga tanah di Jakarta. Tetapi untuk itu kita memerlukan data-data lainnya.
Seperti data pajak terhadap return dari investasi tanah di Indonesia,
ekspektasi inflasi di Indonesia dan marjinal produk tanah perkotaan di
Indonesia.



III.             STUDI PERBANDINGAN HARGA TANAH PERKOTAAN DI INDONESIA DAN
JEPANG



A.     Harga tanah perkotaan di Indonesia : Contoh kasus kota Jakarta

Untuk melihat perkembangan harga tanah di Jakarta, maka disini kita akan
melihat perkembangan kenaikan harga tanah di lima daerah yaitu : Rasuna
Said, Gatot subroto, Sudirman, Pondok Indah, Kebun Jeruk dan Bintaro.
Berikut ini adalah data harga tanah dari tahun 1983-1996.



Land Price Development and Yearly Price Increase : Jakarta


     1983
     1984
     1985
     1986
     1987
     1988
     1989
     1990
     1991
     1992
     1993
     1994
     1995
     1996

      Rasuna Said
     0. 4
     0. 4
     0. 45
     0. 45
     0. 6
     0. 7
     1. 2
     2. 8
     3. 2
     4
     4
     4. 6
     5
     5. 6

      Gatot Subroto
     0. 6
     0. 6
     0. 65
     0. 75
     0. 9
     1. 25
     2
     3. 4
     3. 65
     3. 8
     4. 6
     5
     6. 5
     8. 2

      Sudirman
     0. 7
     0. 85
     0. 95
     1
     1. 25
     1. 8
     3
     5. 5
     6. 5
     6. 5
     7
     7. 5
     8. 5
     10

      Pondok Indah
     0. 16
     0. 18
     0. 2
     0. 28
     0. 35
     0. 45
     0. 7
     0. 9
     4. 1
     1. 25
     1. 4
     1. 75
     2. 1
     2. 5

      Kebon Jeruk
     0. 1
     0. 13
     0. 15
     0. 18
     0. 25
     0. 43
     0. 5
     0. 55
     0. 6
     0. 7
     0. 8
     1
     1. 1
     1. 2

      Bintaro
     0. 06
     0. 08
     0. 11
     0. 13
     0. 14
     0. 16
     0. 28
     0. 25
     0. 35
     0. 4
     0. 45
     0. 55
     0. 7
     0. 75




Lalu dengan rumus sederhana : P1996 = P1983(1 + r)13  dan P1996 = P1988(1 +
r)8, akan kita dapatkan return yang diterima para spekulan tanah dari tahun
1983 s/d 1996 dan dari 1988 s/d 1996 untuk setiap daerah di Jakarta sebagai
berikut :



      Lokasi
     P1996/P1983

     Growth
     P1996/P1988

     Growth

      Rasuna said
     14
     1. 225078
     22. 51 %
     8
     1. 29684
     29. 68 %

      Gatot Subroto
     13. 66667
     1. 222809
     22. 28 %
     6. 56
     1. 265065
     26. 51 %

      Sudirman
     14. 28571
     1.2269832
     22. 70 %
     5. 555556
     1. 239056
     23. 91 %

      Pondok Indah
     15. 625
     1.23547
     23. 55%
     5. 555556
     1. 239056
     23. 91 %

      Kebon jeruk
     12
     1. 210637
     21. 06 %
     2. 823529
     1. 138542
     13. 85 %

      Bintaro
     12. 5
     1. 214445
     21. 44 %
     4. 6875
     1. 213019
     21. 30 %




            Disini kita melihat bahwa return yang dihasilkan dari tanah
sangat tinggi dengan rata-rata return di kelima daerah untuk tahun 1983 s/d
1996 sebesar 22, 2567 persen dan untuk tahun 1988 s/d 1996 menjadi sebesar
23.1933 persen. Berarti seiring dengan berjalannya waktu return yang
dihasilkan oleh para spekulan tanah semakin meningkat. Return tersebut lebih
tinggi dari tingkat suku bunga di masa itu dan masih tinggi walaupun telah
dikurangi oleh tingkat inflasi yang berlaku. Jadi disini kita melihat daya
tarik untuk berinvestasi pada tanah sangat besar. Apalagi untuk tanah-tanah
yang termasuk ke dalam lokasi CBD(Cental Business District), seperti
Sudirman dan Gatot Subroto. Harga tanah di kedua lokasi tersebut pada tahun
1996 saja mencapai 10 juta/m2 dan 8.2 juta/m2. Kenaikan return pada harga
tanah di daerah Rasuna Said yang berkembang sebagai daerah CBD juga
berkembang dengan sangat pesat sebesar 29.68 persen. Bukan tidak mungkin
suatu saat harga tanahdi Rasuna said akan menyamai harga tanah Gatot Subroto
atau bahkan menyamai harga tanah di Sudirman. Juga pada daerah-daerah
perumahan terjadi kenaikan return dari harga tanah yang cukup tinggi, pada
daerah Bintaro, Pondok indah dan Kebon Jeruk dari tahun 1983 s/d 1996
sebesar 23.91 persen, 21.30 persen dan 13.85 persen. Kebun Jeruk mengalami
peningkatan yang agak rendah yang disebabkan karena Kebon jeruk tidak
berkembang menjadi pusat kota, sedangkan Pondok Indah dan Bintaro telah
berkembang mengarah kepada terbentuknya pusat-pusat kota yang baru karena
pembangunan daerahnya yang terpadu(termasuk pembuatan daerah perbelanjaan,
tempat rekreasi, dsb). Sedangkan kita tahu kenaikan harga tanah yang terus
menerus ini akan menyebabkan permasalahan perumahan dimana harga rumah
menjadi sangat mahal. Sekarang komponen harga tanah pada rumah RSS saja
sudah mencapai sekitar 90 persen. Juga dengan adanya peningkatan investasi
pada tanah, maka kredit di sektor properti akan meningkat. Tetapi sektor
properti ini mempunyai sifat non-tradable, sehingga  apabila terjadi crash
di sektor properti, maka kesehatan perekonomian akan sangat terganggu. Lihat
saja Jepang yang pertumbuhan ekonominya tertekan di bawah 2 persen akibat
property crash. Jadi motif spekulasi pada investasi tanah ini sangat
mendistorsi perekonomian. Bila pemerintah tidak berusaha memberi perhatian
khusus terhadap fenomena kenaikan harga tanah yang berkembang di Indonesia,
bukan tak mungkin kita akan mengalami resesi seperti yang dialami Jepang.



B.     Harga Tanah Perkotaan di Jepang : Contoh Kasus di Enam Kota Besar

Jepang memang telah menjadi satu kasus tanah spektakuler dalam lingkungan
internasional, yang sejak tahun 1992 hingga 1996 masih terus berkutat dengan
masalah perbankan yang mempunyai banyak kredit bermasalah. Kredit bermasalah
itu ternyata terkait dengan kredit properti, atau malah secara khusus
terkait dengan masalah perumahan. [6] Perkembangan pertumbuhan kenaikan
harga tanah di enam kota besar di Jepang, yaitu : Tokyo, Yokohama, Nagoya,
Kyoto, Osaka dan Kobe dari tahun 1955 sampai tahun 1990 dengan menggunakan
ukuran Asset Price Ratio dapat kita lihat pada tabel berikut. Dalam tabel
tersebut juga akan dimasukkan Stock Price Ratio dan CPI Ratio untuk
dibandingkan pertumbuhannya dengan pertumbuhan Resource Land Price Ratio, di
enam kota besar di jepang.

JAPAN between 1955-1990, Asset Price Ratio and its Growth, %


     Ratio
     Growth

      Resource Land Price ratio, 6 cities
     200
     16. 34393

      Stock Price ratio
     90
     13. 71965

      CPI Ratio
     8
     6. 121302




Kalau kita perhatikan data diatas, ternyata peningkatan harga tanah di
jepang melebihi peningkatan harga saham dan tingkat inflasi yang berdasarkan
Consumer Price Index(CPI), berarti kecenderungan investasi pada tanah di
Jepang sangat besar. Investasi yang besar pada tanah ini, akan semakin
memarakkan praktek spekulasi pada pertanahan di Jepang yang pada akhirnya
akan menaikkan harga tanah.

            Kita dapat melihat kenaikan harga tanah ini dari tiga
perkembangan yang ada di Jepang pada saat itu, yaitu : [7]

1.      Kenaikan dalam harga tanah yang dimulai di daerah Tokyo tengah di
sekitar tahun 1985 adalah abnormal. Peningkatan harga tanah selama
pertengahan tahun 1980-an lebih kurang dapat dijelaskan dengan pergerakan
pertumbuhan GNP dan pergerakan tingkat suku bunga. Tetapi banyak ekonom yang
tidak dapat menginterprestasikan secara cukup apa yang sedang terjadi di
Jepang di tahun 1985. Fenomena kenaikan harga tanah ini telah meluas dari
Tokyo ke Osaka, Nagoya dan kota-kota lainnya.

2.      Hukum perpajakan di Jepang setelah diperhatikan tenyata memberikan
pembebanan pajak yang "sangat murah hati" terhadap saham dan tanah. Warga
negara Jepang telah meminta untuk meningkatkan pembebanan pajak pada pemilik
properti. Setuju dengan pernyatan sub komisi pemerintah di bidang
perpajakan(Government Tax Commision), dalam laporan di tahun 1990 bahwa
"Perpajakan tanah berperan penting dalam kebijakan pajak", pemerintah telah
mempertimbangkan perubahan drastis atas sistem perpajakan tanah untuk
mengkoreksi pertumbuhan kesenjangan kekayaan diantara orang yang memiliki
tanah untuk mempromosikannya atas penggunaan yang lebih efektif.

3.      Jepang mempunyai lebih dari 270 hukum yang berkaitan dengan tanah
dan telah mengadopsi hampir semua ukuran yang berhubungan dengan yang
diterapkan di negara-negara lain. Sayangnya, semua legislasi ini hanya
mempunyai pengaruh kecil dalam menyelesaikan pemasalahan pertanahan, salah
satu alasan bahwa sebelum diberlakukannya Basic Land Act tidak ada
prinsip-prinsip yang menyatukan dan mengatur regulasi-regulasi yang ada.
Akhirnya pada tahun 1989 barulah diumumkan Basic Land Act yang berisi empat
prinsip : (1) Bahwa prioritas seharusnya diberikan terhadap kesejahteraan
publik;(2) Bahwa penggunaan tanah yang tepat dan terencana seharusnya
dipromosikan; (3) Bahwa  transaksi yang bersifat spekulatif harus dibatasi;
dan (4) Bahwa kewajiban pajak seharusnya sepadan dengan keuntungan.

Perkembangan-perkembangan yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa
Jepang sudah sangat "telat" untuk menyelesaikan pemasalahan pertanahannya
yang telah meruak menjadi permasalahan yang menggoncang perekonomian
nasionalnya.

Demikianlah, keadaan pertanahan di Jepang yang seharusnya dapat dijadikan
pelajaran dalam pengaturan permasalahan pertanahan di kota-kota besar di
Indonesia. Indonesia seharusnya mengkoreksi kembali hukum pertanahan yang
ada, agar di masa depan kenaikan harga tanah tidak menjadi momok bagi
perekonomian nasional.

IV.    PENUTUP



A. Kesimpulan

Setelah kita mendalami masalah kenaikan harga tanah serta membandingkannya
di kedua negara, Indonesia dengan kasus kota Jakarta dan Jepang dengan kasus
pada enam kota besarnya, maka penyusun berkesimpulan :

1.      Kenaikan harga tanah yang tak terkendali membawa kepada berbagai
implikasi permasalahan yang merugikan perekonomian. Kenaikan harga tanah,
menyebabkan harga perumahan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat semakin
meningkat. Kenaikan harga tanah mengundang spekulasi tanah yang meningkatkan
kredit properti, sedangkan karakteristik fisik, lokasional dan legalitas
dari tanah mengarah kepada sifat non-traded. Yaitu aset pertanahan tidak
dapat diperdagangkan di pasar internasional(ekspor-impor). Sehingga crash di
sektor properti, akan membawa dampak yang sangat buruk terhadap
perekonomian, seperti kasus di Jepang. Bila kaitan antara spekulasi tanah
dengan kredit perbankan dan pasar saham sudah begitu kuat, maka kejatuhan
salah satunya akan mempengaruhi yang lain.

2.      Kenaikan harga tanah di Indonesia akan menjadi "api dalam sekam",
bila pemerintah tidak berusaha mengupayakan reformasi-reformasi di bidang
hukum pertanahan, khususnya yang menyangkut pengaturan tanah perkotaan.
Indonesia dapat mengikuti beberapa hal yang sudah dilakukan Jepang dalam
pengaturan permasalahan pertanahannya, agar tidak "telat" seperti dalam
kasus Jepang. Jadi jangan sampai penyakitnya telah parah, baru diobati.



B. Saran

Sebaiknya pemerintah Indonesia secepatnya melakukan reformasi di bidang
hukum Agraria. Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan yang paling penting
adalah yang menyangkut pengaturan tanah perkotaan yang mempunyai
karakteristik yang khusus di banding tanah untuk pertanian misalnya.
Peningkatan nilai tanah di daerah perkotaan berkembang jauh lebih pesat bila
dibandingkan dengan tanah pedesaan, sehingga dengan berdasarkan hal tersebut
perlu ada pengaturan agar spekulan yang meraup "economic rent" diatas normal
dapat dibatasi secara hukum. Misalnya dapat dilakukan dengan suatu
pembatasan kepemilikan tanah berdasarkan klasifikasi penggunaannya untuk
keperluan-keperluan tertentu.

Pemerintah juga seharusnya memiliki suatu hukum dasar pertanahan seperti
"Basic Land Act"nya Jepang untuk mengkoordinasikan hukum-hukum pertanahan
yang ada agar tidak bertentangan. Reformasi di bidang pajak pertanahan juga
perlu dilakukan untuk meredam daya tarik return dari spekulasi tanah.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Beberapa artikel yang diambil dari, Media Indonesia, Bisnis Indonesia,
Kompas dan Warta Ekonomi.

Goldberg, Michael dan Peter Chinley, Urban Land Economics, John wiley &
Sons, Inc., Canada, 1984.

Halcrow, Harold G., Joseph Ackerman, Marshall Harris, Charles L. Stewart dan
John F. Timmons,(eds.), Modern Land Economics : Papers of The Land
Institute, University of Illinois Press, Urbana, 1960.

Nobuyuki, Kurokawa, Getting Serious About Land Prices, Japan Quarterly Vol:
XXXVII, No. 4 October-December,1990.

Simarmata, Dj. A., Ekonomi Pertanahan dan Properti di Indonesia : Konsep,
Fakta dan Analisis, Center for Policy and Implementation Studies
Publication, Jakarta, 1997.



----------------------------------------------------------------------------
----

[1] Mahasiswa FEUI jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, nomor
0696000342, asisten dosen mata kuliah Pengantar Makroekonomi.

[2] Halcrow, Harold G., Joseph Ackerman, Marshall Harris, Charles L. Stewart
dan John F. Timmons,(eds.), Modern Land Economics : Papers of The Land
Institute, University of Illinois Press, Urbana, 1960, hal.4.



[3] Ibid.,hal.5.

[4] Goldberg, Michael dan Peter Chinley, Urban Land Economics, John wiley &
Sons, Inc., Canada, 1984, hal.37-39.



[5] Ibid.,hal.118-119.



[6] Simarmata, Dj. A., Ekonomi Pertanahan dan Properti di Indonesia :
Konsep, Fakta dan Analisis, Center for Policy and Implementation Studies
Publication, Jakarta, 1997,hal.87.

[7] Nobuyuki, kurokawa, Getting Serious About Land Prices , Japan Quarterly
Vol : XXXVII, No. 4 October-December,1990,hal.393-394.





salam,
Ari Condro






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/EpW3eD/3MnJAA/cosFAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke