Hampir 3 jam saya berdiskui dengan teman
yang berasal dari sesama kampoeng JK, dengan pemikiran yang tajam dan analisis 
bahwa bukan soal daerah dan satu kampoeng saya dengan JK,
saya memilih dia.
Dan dia mengatakan dulu dia GOLPUT,
setelah melihat perdebatan capres tersebut pemikirannya berubah dan di tambah
dengan salah satu tulisan bung EEP
SAEFULLAH di Tempo sekitar bulan Maret mengenai KALLAMATIKA.
 
Saya coba mencari di mesin pencari tidak
lain dan tidak bukan GOOGLE pastinya.. dan akhirnya ketemu salah satu di blog
orang yang tercecer kemudian saya membaca dengan seksama tulisan tersebut, dan
sebuah analisa tajam yang diberikan oleh bang EEP mengenai KALLAMATIKA
tersebut… 
 
katanya bahwa “Kallamatika adalah rumus sederhana yang memadukan penciuman 
politik
tajam, kalkulasi pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang. Penciuman tajam
Kalla pertama saya temukan hampir persis lima tahun lalu, tepatnya 11 Maret
2004.”
 
Selengkapnya saya posting disini beserta
sumbernya…silahkan di simak… :
 
Pada Muhammad Jusuf Kalla kita bersua yang
kita rindukan sekaligus kita cemaskan. 
 
*
 
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan sigap meminta maaf kepada 
Malaysia karena kiriman asap kebakaran
hutan Indonesia mengganggu negeri jiran itu, 
 
Kalla berkelit.
Di tengah kunjungan kontroversialnya ke Malaysia yang merayakan tahun emas 
kemerdekaan mereka, Kalla didesak menyatakan
permohonan maaf serupa. Alih-alih, ia balas
menyerang.
Orang Malaysia,
katanya, hanya terserang asap selama
sekitar satu bulan. Sementara dalam sebelas bulan sisanya, Malaysia dikirimi
udara segar dan sehat dari hutan-hutan Indonesia. Ia menggugat : mengapa
Malaysia tak pernah berterima kasih untuk kiriman udara segar-sehat itu, dan
hanya sibuk menuntut Indonesia minta maaf karena asap kebakaran hutan yang cuma
sebulan ?.
 
Di depan delegasi Uni Eropa yang memuji Indonesia sebagai negara demokrasi 
terbesar ketiga di dunia, Kalla justru menghardik. 
Indonesia,
katanya, tak butuh puji-pujian itu. Yang
Indonesia butuhkan adalah pembuktian persahabatan antarnegara demokratis,
berupa masuknya investasi dan peningkatan hubungan ekonomi. Tanpa itu,
puji-pujian hanya basa-basi.
 
Di Tokyo,
Kalla digugat karena Indonesia gagal
mengelola hutannya dan menjadi negara perusak hutan tercepat di dunia. Kalla 
menjelaskan, 
kerusakan hutan itu berkembang tak terkendali sejak
Amerika Serikat dan Jepang, pada 1970-an, mengenalkan pada Indonesia teknologi
pengolahan bubur kayu, yang antara lain menghasilkan produk olahan semacam
tripleks.
Jepang,
katanya, punya kontribusi besar dalam
laju perusakan hutan itu. Kalla pun menuntut agar Jepang —sebagaimana 
masyarakat internasional lainnya— melihat kerusakan hutan itu bukan
semata-mata sebagai perkara domestik Indonesia. Kalla justru mengajak Jepang
melibatkan diri secara lebih aktif untuk merehabilitasi hutan Indonesia.
 
*
 
Kita merindukan seseorang yang memadukan keluguan, terus-terang, percaya diri, 
dan diplomasi
yang berkarakter. 
 
Untuk sebagian, kita menemukannya pada
Kalla.. 
 
Tapi, kemampuannya mengambil risiko yang
di atas rata-rata, ketergesaan langkahnya, pragmatismenya yang kerap kali
telanjang, tak urung membikin kita cemas.
 
Maka, Kalla adalah sejumlah paradoks. 
Ia, sekadar misal, adalah politikus yang
amat realistis, tapi juga bisa
bertindak di luar dugaan karena optimisme dan percaya dirinya yang begitu besar.
 
*
 
Pilihannya mencelat dari Konvensi Nasional Golkar dan bergabung ke Yudhoyono
dalam Pemilihan Presiden 2004 adalah
bukti realisme Kalla. 
 
Ia lalu secara realistis menjalankan
fungsinya sebagai ”the real vice
president” di bawah kepemimpinan Presiden yang memiliki gaya kepemimpinan
yang berbeda secara diametral dengannya.
 
Lepas dari sejumlah ketegangan politik
yang sempat menyeruak dari hubungan Yudhoyono  -Kalla selama memerintah-  harus 
diakui bahwa realisme Kalla (dan Yudhoyono) sejauh ini telah sukses membuat
mereka tak terpecah. 
 
Atas nama realisme politik itulah keduanya bertahan mengelola kohabitasi  
—berpadunya dua pejabat dari partai berbeda untuk
mengelola satu biduk pemerintahan—  hingga
hari-hari ini.
 
*
 
Namun, Kalla juga seorang optimistis
dengan kepercayaan diri besar. Ia optimistis mampu mengelola pemerintahan. Ia
juga optimistis tentang nasib Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009. Ia yakin 
Golkar
bisa meraih hingga 30 persen kursi DPR. Perhitungannya : 16 persen pemilih
loyal Golkar, 5 persen tertarik karena iklan Golkar yang sekarang sedang
digencarkan terutama melalui televisi, 5-7 persen sebagai hasil kampanye para
calon anggota legislatif Golkar dari pintu ke pintu, dan sekian persen sisanya
merupakan limpahan suara partai-partai kecil yang tak lolos parliamentary
threshold, yang kemudian dilimpahkan ke Golkar (partai dengan sebaran dukungan
nasional terbaik, menurut dia).
 
Atas nama realisme, masuk akal jika Kalla memilih kembali menjadi sekondan 
Yudhoyono dalam Pemilihan
Presiden 2009. 
 
Namun optimisme dan percaya dirinya bisa
saja mendorong Kalla maju lebih ke depan,
mengubah duetnya dengan Yudhoyono
menjadi duel. Terlebih-lebih, Kalla
dikelilingi sejumlah politikus pokok Partai Golkar yang mencita-citakan
kekuasaan lebih besar bagi Golkar dalam lembaga eksekutif selepas Pemilu 2009.
 
*
 
Paradoks lain Kalla : ia sadar akan
pentingnya dukungan publik, tapi
terlihat enggan mengubah gayanya di
depan khalayak. Ia sadar benar bahwa demokrasi menempatkan para pemilih sebagai
penentu.
 
Demokrasi adalah era persekutuan di antara
popularitas dan elektabilitas. Tetapi, di tengah kesadaran ini, ia terlihat
enggan mengubah gaya politiknya di depan khalayak. 
 
Ia membiarkan Yudhoyono mematut-matut diri sebagai
seorang presiden yang ”amat presidensial”
: berjarak, tertata, terbentengi birokrasi istana. 
 
Tapi, ia membiarkan dirinya menjadi bergaya bak orang biasa, seperti tetangga 
di sebelah rumah kita.
 
*
 
Lalu, ketika tiba-tiba Kalla mengubah
langgam berpolitik, menjadi lebih ofensif,
dan menegaskan kesediaannya maju sebagai kandidat presiden, apa yang
sesungguhnya terjadi ?.
 
Bagi saya, jawabannya terletak pada satu
frase kunci : matematika politik Kalla—alias Kallamatika.
 
Kallamatika adalah rumus sederhana yang memadukan penciuman politik tajam, 
kalkulasi
pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang. 
 
Penciuman tajam Kalla pertama saya temukan
hampir persis lima tahun lalu, tepatnya 11
Maret 2004.
 
Dering telepon di apartemen saya di
Columbus, Ohio, Amerika Serikat, pada pukul 02.00 dini hari itu, membangunkan
saya. Dari seberang terdengar suara Kawiyan, reporter sebuah stasiun televisi
swasta di Jakarta.  Ia memberi tahu saya
bahwa Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengirim surat pengunduran 
diri dari kabinet
kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, dan segera menggelar jumpa pers. 
 
Ia juga meminta kesediaan saya untuk
wawancara jarak jauh yang ditayangkan langsung tentang isu itu. Belum bangun
sepenuhnya, saya mengiyakan, dengan satu syarat : diberi waktu menghubungi
beberapa narasumber di Tanah Air yang akan membuat saya lebih memahami situasi
secara layak. Orang pertama yang saya hubungi tentulah sang hulu hikayat :
Yudhoyono.
 
Fajar, ajudan Yudhoyono, mengangkat
telepon saya dan memberi tahu bahwa Yudhoyono akan menelepon saya balik segera
setelah pertemuannya dengan Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu) Muhammad Jusuf Kalla.
 
Dalam pembicaraan via telepon
internasional, beberapa saat kemudian, selain menjelaskan isi surat pengunduran
dirinya, Yudhoyono mengapresiasi tinggi Kalla, koleganya dalam pemerintahan 
yang dinilainya memiliki ruang simpati dan empati paling lapang bagi
dirinya.
 
Pada dini hari  (waktu Columbus atau petang waktu Jakarta)  itulah saya untuk 
pertama kali yakin bahwa Yudhoyono-Kalla suatu saat
akan maju sebagai pasangan kandidat presiden-wakil presiden. 
 
Dini hari itu pula diam-diam saya mengakui
tajamnya daya endus politik Jusuf Kalla.
 
Juli 2008.
Dalam pertemuan dengan 11 pengamat politik di kediaman resminya di seberang
Masjid Sunda Kelapa, Wakil Presiden Kalla memberikan beberapa penegasan. Ia
sangat yakin bahwa pemerintahan Yudhoyono-Kalla berada dalam jalur yang benar.
Ia yakin, jika diberi kesempatan lebih panjang, mereka akan mengantar Indonesia
pada kelimpahruahan ekonomi pada
2011.
 
Di atas segalanya, Kalla mengaku tak terlalu memikirkan mau jadi apa  (tafsir 
saya : jadi wakil presiden lagi pun
tak masalah)  dan lebih senang memusatkan
pikiran dan energi untuk dengan selamat menggapai 2011 itu.
 
Dalam beberapa pertemuan pribadi empat
mata sebelum dan sesudah diskusi Juli 2008 itu, Kalla memberikan penegasan
berulang bahwa ia sadar benar betapa pentingnya berhitung secara cermat sebelum
memutuskan ayunan langkah. 
 
Ia menegaskan bahwa menghadapi 2009 adalah
kesediaan untuk menang, bukan sekadar memaksakan diri mengejar posisi tertentu.
 
Lalu, melihat langkah-langkah politik ofensif yang diayunnya
belakangan ini, sebagian orang bertanya, apakah
Kalla sudah siap kalah dan kehilangan segalanya, berhadapan dengan
Yudhoyono yang popularitasnya sedang pasang naik. 
 
Perhitungan politik apa yang digenggamnya
sehingga ia terlihat begitu yakin dengan langkah ofensif barunya itu ?.
 
Langkah ofensif itu dibentuk oleh
penciuman tajam Kalla mengenai apa yang sedang berkembang di sekitar­nya :
Yudhoyono yang dinilainya mulai pasang kuda-kuda, dinamika dan ketegangan dalam
Partai Golkar yang mulai memuncak, dan intuisi politiknya tentang pencarian
peluang-peluang alternatif.
 
Saya yakin, Kalla hanya akan bersedia maju
manakala kalkulasi pragmatisnya ”mengizinkan”
itu. 
 
Jika tidak, ia bisa saja merasa nyaman
kembali bersama Yudhoyono, sekalipun dengan risiko mesti memadamkan gejolak
dalam Golkar yang bakal membara karena itu.
 
Jangan lupa, cara kerja Kallamatika sejatinya sederhana saja : memadukan 
penciuman
politik tajam, kalkulasi pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang.
 
(Eep Saefulloh Fatah, http://vgsiahaya.wordpress.com/2009/03/04/kallamatika/)
 
Artikel ini dapat dibaca di :
Kallamatika.
http://public.kompasiana.com/2009/06/29/kallamatika/
 
***


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke