http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/28/opini/1644248.htm


Perangkap Neoliberal 
Oleh A Prasetyantoko



BAGI ahli sejarah setiap kejadian adalah unik. Sebaliknya, minat para ekonom 
menemukan kejadian-kejadian yang berulang dalam sejarah. Sejarah bersifat 
partikular dan ekonomi bersifat general. Begitu kata Charles Kindelberger 
(1978).

Para ekonom tengah memperdebatkan hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi 
dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) tentang dampak pengurangan 
subsidi bahan bakar minyak/BBM (baca: kenaikan harga BBM) terhadap angka 
kemiskinan. Kisahnya agak lain dari sekadar perdebatan akademis di kampus.

Kali ini, secara terbuka angka-angka temuan penelitian dipampang untuk 
meyakinkan orang akan sebuah kebijakan. Dengan angka-angka itu pula sekelompok 
intelektual merasa memiliki legitimasi moral untuk merekomendasi sebuah 
kebijakan kepada pemerintah melalui sebuah iklan. Yang terpenting, angka-angka 
hasil penelitian tersebut telah menjadi referensi penting dari kebijakan yang 
menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tim LPEM-UI meyakini pencabutan subsidi BBM yang disertai dengan pemberian 
kompensasi subsidi (pangan, pendidikan, dan kesehatan) akan berdampak pada 
penurunan angka kemiskinan. Sementara itu, sama-sama menggunakan model 
computable general equilibrium (CGE), Rina Oktaviani dari Fakultas Ekonomi dan 
Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) memiliki hasil perhitungan yang 
berbeda. Kompensasi subsidi hanya akan mendongkrak daya beli masyarakat sebesar 
0,6 persen, sementara dampak pencabutan subsidi BBM akan mendorong inflasi 
sebesar 2,80-3,02 persen (Kompas, 14/3).

Tim Indonesia Bangkit mempersoalkan legitimasi penelitian LPEM-UI. Terlepas 
dari masalah metodologis yang tengah diperdebatkan itu, tampaknya ada pula 
persoalan epistemologis di dalamnya. Selain dari sudut pandang metodologis, 
sebuah penelitian umumnya dikaji dari sudut pandang perumusan konsep yang 
berhubungan dengan sebuah kriteria "kebenaran" tertentu (relatif). Karena pada 
prinsipnya, sebuah metode (model) bisa diatur untuk melayani (menggugat atau 
menguatkan) sebuah konsep kebenaran tertentu.

Neoliberal

Daoed Joesoef (Kompas, 16/3) membuat analogi pernyataan Menteri Koordinator 
Perekonomian tentang ketidakmampuan rakyat membeli elpiji dengan kata-kata 
sinis Ratu Marie Antoinette (istri Raja Louis XVI) di hadapan rakyat Paris yang 
lapar. Kita tahu, Antoinette-putri Raja Francois I dari Austria-harus menemui 
ajal secara mengenaskan di papan guillotine. Dia berada di dalam sistem 
kekuasaan yang diidamkannya pada saat yang tidak tepat. Rakyat sedang 
kelaparan, negara sedang dilanda krisis keuangan yang parah, sementara warga 
Paris tengah marah pada simbol kekuasaan yang mewah.

Di mata sejarah setiap kejadian penting dan kita bisa banyak belajar darinya. 
Kisah tragis Ratu Antoinette bisa bertutur banyak atas kejadian aktual di masa 
sekarang ini. Sayangnya, para ekonom hanya peduli pada kejadian yang berulang 
karena di sana bisa ditemukan model guna memprediksi masa depan.

Di mata ekonom krisis tak lebih dari sekadar kejadian yang berulang, bisa 
terjadi kapan saja dan di mana saja. Studi Tornell & Westernmann (2004) 
menunjukkan, krisis yang melanda negara sedang berkembang merupakan efek 
samping (by product) dari liberalisasi sektor finansial. Meskipun ada risiko 
krisis, liberalisasi sektor finansial tetap diperlukan bagi perekonomian karena 
dia mendorong pertumbuhan.

Di negeri kita sebagian besar ekonom juga meyakini krisis disebabkan oleh tidak 
bekerjanya sistem pasar dengan baik. Jadi, solusinya: deregulasi, liberalisasi, 
dan privatisasi (Washington Concensus). Sama halnya dengan Dana Moneter 
Internasional (IMF) yang datang dengan rumus yang klasik: krisis harus diakhiri 
dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan defisit serta melakukan gerak 
stabilisasi dan privatisasi.

Dalam logika ini setiap kegagalan liberalisasi hanya bisa dipecahkan dengan 
kebijakan liberalisasi yang lebih maju. Sejarah pun terus berulang; 
liberalisasi terus-menerus dijalankan sebagai proyek berkesinambungan. Dalam 
kasus pencabutan subsidi BBM tampaknya kita terperangkap dengan logika ala 
neoliberal ini. Masalahnya, pencabutan subsidi BBM terkait langsung dengan 
masalah "rakyat yang lapar" dan kali ini proyek liberalisasi justru menyeret 
kita pada masalah politik dan sosial yang kompleks.

Bernard Walleser (2000), dosen di EHESS-Paris, dalam bukunya L'économie 
Cognitive mengkritik pendekatan ekonomi atas dua ketimpangan utama; 
rasionalitas individual dan keseimbangan kolektif. Pendekatan utama 
(mainstream) ilmu ekonomi terlalu meyakini, secara individu manusia memiliki 
rasionalitas yang sempurna dan akibatnya, secara kolektif akan selalu terjadi 
keseimbangan umum (general equilibrium).

Pada dasarnya, rasionalitas manusia bersifat terbatas (bounded rationality). 
Karena itu, keseimbangan kolektif akan terjadi secara evolutif dan tidak 
tunggal (multiple equilibria). Aktor ekonomi, bukan semata pencari kepuasan 
maksimal (homo economicus), tetapi juga pemikir (homo cogitans) dan juga 
pembelajar (homo adaptans). Kelemahan epistemologis inilah yang membuat 
pendekatan ekonomi terkadang cedera karena terlalu meyakini rasionalitas, 
informasi, dan mekanisme pasar yang dianggap selalu berjalan dengan sempurna, 
sementara faktor-faktor kelembagaan sering dilalaikan begitu saja.

Kelembagaan
Kalkulasi dampak pencabutan subsidi oleh LPEM-UI sama halnya dengan kebijakan 
menaikkan harga BBM itu sendiri, terlalu berorientasi pada tujuan akhirnya 
dalam jangka panjang dan mengabaikan realitas jangka pendeknya. Dalam logika 
ilmu pengetahuan, gejala ini dinamai gejala teleologis.

Mungkin benar bahwa tujuan akhir pencabutan subsidi BBM tak mungkin dielakkan 
lagi. Tapi mungkin juga tidak tepat melakukannya sekarang. Ibarat seorang 
dokter harus mengoperasi kanker dalam situasi pasien yang tidak sehat. 
Persoalannya bukan tindakan melakukan operasi itu sendiri, tetapi pilihan 
momentumnya. Argumen pemerintah, penundaan pencabutan berarti potensi kerugian 
negara karena harus terus memberi subsidi, justru menyulut kemarahan rakyat. 
Etiskah jika memberi subsidi kepada rakyat yang hidupnya sudah berat dianggap 
beban, sementara penjaminan perbankan dianggap sebagai biaya krisis?

Dan lagi, di antara jajaran kabinet ada pengusaha yang dulunya masuk dalam 
daftar 200 debitur terbesar di bawah kendali Aset Manajemen Kredit Badan 
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan kata lain, mereka juga turut 
menikmati fasilitas penjaminan pemerintah meski tidak langsung. Dalam daftar 
panjang debitur tersebut terdapat nama-nama perusahaan, seperti Bakrie & 
Brothers PT (manufaktur), Bakrie International Finance (industri jasa), Bakrie 
Investindo PT (industri jasa), dan Bakrie Nirwana Resort PT (hotel/restoran).

Pantas saja, keraguan atas kredibilitas kebijakan publik dari pemerintah begitu 
kuat terasa di kalangan rakyat. Tim Indonesia Bangkit secara tegas 
merekomendasikan pengganti- an menteri, sebelum kredibilitas menggerogoti 
posisi presiden sendiri. Bisa jadi, rekomendasi ini memiliki agenda politis. 
Meskipun begitu, masyarakat luas merasakan urgensinya.

Faktor kelembagaan luput dalam kalkulasi para penganjur pencabutan subsidi BBM. 
Pencabutan subsidi dilakukan dalam situasi penuh korupsi yang tampak belum 
meyakinkan diatasi sehingga membuka luka lama di kalangan mahasiswa. Selain 
itu, kenaikan harga BBM telah menjadi momentum bagi terbukanya tarik-menarik 
kepentingan di parlemen. Karena itu, perdebatan menjadi sangat panjang dan 
melelahkan. Sudah pasti realitas seperti ini tidak akan teradopsi dalam sebuah 
model ekonomi secanggih apa pun.

Mungkin benar, para ekonom perlu banyak belajar dari ahli sejarah agar kisah 
tragis di akhir kehidupan Antoinette tak perlu menjadi model yang terulang 
kembali.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure 
(ENS) de Lyon, Perancis

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/EpW3eD/3MnJAA/cosFAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke