John Perkins is on Twitter! http://twitter.com/economic_hitman
--- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, Irwan Kurniawan <irwank...@...> wrote: > > Quote: > ".. > Saat aku bertanya mengapa ia membeberkan informasi ini, ia menoleh dan > memandang > lalu lintas jalanan dari jendela restoran. Akhirnya ia kembali menatapku. > "Aku seorang > kolaborator. Korupsi yang aku lalukan bahkan lebih parah kalau dibandingkan > ayahku. > Aku satu diantara orang yang mengatur, mengumpulkan uang dari perusahaan, > dan > menyerahkan kepada militer. Aku malu. Yang bisa aku lakukan hanya berbicara > dengan > Anda dan berharap Anda memberitahukannya kepada dunia.E> .." > > Pantesan aja militer masih tetap menguasai RI.. pengalaman mengumpulkan dana > (baik legal maupun) ilegal masih dipelihara.. > > CMIIW.. > > -- > Wassalam, > > Irwan.K > > ---------- Pesan terusan ---------- > Dari: Satrio Arismunandar > Tanggal: 27 Oktober 2009 17:57 > Subjek: John Perkins : 4 cara suap resmi di Indonesia > > JOHN PERKINS: 4 CARA SUAP RESMI DI INDONESIA > > Dalam Confessions of Economic Hit Man, aku menggambarkan hubunganku pada > akhir 1980-an dan 1990-an dengan Stone and Webster Company (SWEC), yang pada > saat itu merupakan firma konstruksi dan konsultan paling terhormat dan > terbesar di AS. SWEC akan memberiku sekitar setengah juta dolar asalkan aku > menghentikan penulisan buku tentang kehidupanku sebagai Bandit Ekonomi. > Sesekali, perusahaan tersebut meminta aku benar-benar mengabdi kepada > mereka. > > Suatu hari pada tahun 1995, seorang petinggi SWEC menelepon untuk meminta > bertemu denganku. Sambil makan siang, ia membahas proyek pembangunan > kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia. Ia berusaha meyakinkanku bahwa > pembangunan itu akan menjadi salah satu proyek terbesar sepanjang seabad > sejarah perusahaan. Nilainya tak kurang dari 1 Milyar dolar. "Aku bertekad > mewujudkan proyek ini,Ekatanya dan kemudian, sambil melirihkan suaranya, ia > mengaku, "tapi aku tak bisa melakukannya sebelum menemukan cara membayar > salah seorang anggota keluarga Soeharto sebesar 150 juta dolar.E> > "Suap,Ejawabku. > Ia mengangguk. "Anda pernah tinggal lama di Indonesia. Tolong beritahukan > kepadaku bagaimana mewujudkannya.E> > Aku katakan ada empat cara memberi "suap resmiE > SWEC bisa menyewa buldozer, mesin derek, truk, dan peralatan berat lainnya > dari perusahaan milik keluarga Soeharto dan kroninya dengan harga yang lebih > tinggi dari harga normal > Cara kedua dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan > milik keluarga tersebut dengan harga tinggi > Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan, perumahan, > mobil, bahan bakar dan kebutuhan lainnya > Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukan putra-putri para > kroni orang Indonesia itu ke kampus-kampus prestisius AS, menanggung biaya > mereka, dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan pegawai perusahaan > ketika berada di AS > > Meski tahu bahwa barangkali dibutuhkan keempat pendekatan di atas sekaligus, > dan butuh waktu beberapa tahun untuk mengatur uang sebanyak itu, aku > meyakinkan dirinya bahwa aku sudah menyaksikan keberhasilan siasat semacam > ini, dan bahwa perusahaan dan eksekutif AS yang melakukannya tak pernah > terseret hukum. Aku sarankan juga agar ia memikirkan usulan menyewa geisha > untuk memuluskan rencana. > > "Geisha,Ekatanya sambil menyerangi culas, "itu saja pekerjaan sulit.E> > Selain itu, ia mengaku prihatin karena anak buah Soeharto meminta "uang di > muka secara terang-terangan.E> > Harus aku akui, aku tidak tahu bagaimana menyediakan uang tunai sebanyak itu > "di mukaE Setidaknya secara ilegal. > > Ia berterimakasih kepadaku, dan aku tak mendengar kabar lebih jauh darinya. > > Pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk berikut ini dalam halaman > depan segmen bisnisnya : MEMO SUAP DAN BANGKRUTNYA STONE & WEBSTER. Artikel > itu membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang berdiri tahun 1889 > dan memiliki sejarah cemerlang itu ambruk dan mencatatkan kebangkrutannya > pada tahun 2000. Ujung-ujungnya perusahaan ini diakuisisi Shaw Group. > Menurut Globe "lebih dari 1.000 karyawan di PHK, dan tabungan mereka dalam > bentuk saham Stone & Webster lenyap.EWartawan Globe, Steve Bailey > menyimpulkan bahwa keruntuhan tersebut berpangkal pada "Memo kritis (yang) > membeberkan suatu usaha rahasia perusahaan secara detail. Yakni, membayar > suap senilai 147 juta dolar kepada seorang kerabat Presiden Soeharto untuk > mengamankan kontrak terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster. > > Insiden kedua bermula dengan email yang aku terima dari putra seorang > pejabat pemerintah Indonesia yang pernah mempekerjakanku pada tahun 1970-an. > Ia meminta bertemu denganku. > > Emil (bukan nama sebenarnya) bertemu denganku di sebuah restoran Tailand > yang tenang di Upper West Side New York. Ia mengaku terkesan dengan bukuku, > Confessions of Economic Hit Man. Ayahnya mengenalkan padaku di Jakarta saat > usianya kira-kira sepuluh tahun. Seingatnya ia sering mendengar namaku. Ia > mengaku mafhum bahwa ayahnya adalah salah seorang pejabat korup yang aku > gambarkan dalam buku itu. Lalu, sambil menatap lurus ke mataku, ia mengaku > telah mengikuti jejak ayahnya. "Aku ingin bertobat,Ekatanya. "Aku ingin > mengaku seperti Anda.EIa tersenyum lembut. "Tapi aku mempunyai keluarga dan > akan kehilangan banyak hal. Aku yakin Anda mengerti maksudku.E> > Aku meyakinkannya bahwa aku tak akan memberitahukan namanya atau apa saja > yang bisa membuat identitasnya terbongkar. > > Kisah Emil sesungguhnya membuka pikiran kami. Ia menegaskan bahwa militer > Indonesia memiliki sejarah panjang mengumpulkan uang dari sektor swasta > untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Dia mencoba menganggap enteng hal ini, > mengabaikannya dengan tawa, karena sepengetahuannya, hal semacam itu sudah > biasa di negara Dunia Ketiga. Lalu ia menjadi serius. "Sejak lengsernya > Soeharto 1998, segalanya bahkan kian buruk. Soeharto benar-benar diktator > militer yang bertekad tetap mengendalikkan angkatan bersenjata. Begitu > kekuasaan berakhir, banyak tokoh Indonesia yang berusaha mengubah hukum agar > kedudukan sipil bisa lebih tinggi dibanding militer, tapi sia-sia. Mereka > pikir dengan mengurangi anggaran militer, tujuan akan tercapai. Tapi para > jenderal tahu kemana mereka harus meminta bantuan: perusahaan-perusahaan > pertambangan dan energi asing.E> > Aku katakan kepada Emil bahwa ucapannya mengingatkanku pada kondisi di > Kolombia, Nigeria, Nikaragua, dan banyak negara lain. Di negara-negara itu, > milisi swasta digunakan untuk menambah angkatan bersenjata nasional. > > Emil mengiyakan. EDi Indonesia pun banyak tentara bayaran. Tapi yang aku > ceritakan ini lebih buruk. Dalam beberapa tahun terakhir angkatan bersenjata > kami dibeli oleh korporasi-korporasi asing. Dampaknya menakutkan karena, > seperti Anda lihat, sekarang korporasi memiliki angatan bersenjata sekaligus > sumber daya alam kami.E> > Saat aku bertanya mengapa ia membeberkan informasi ini, ia menoleh dan > memandang lalu lintas jalanan dari jendela restoran. Akhirnya ia kembali > menatapku. "Aku seorang kolaborator. Korupsi yang aku lalukan bahkan lebih > parah kalau dibandingkan ayahku. Aku satu diantara orang yang mengatur, > mengumpulkan uang dari perusahaan, dan menyerahkan kepada militer. Aku malu. > Yang bisa aku lakukan hanya berbicara dengan Anda dan berharap Anda > memberitahukannya kepada dunia.E> > Berminggu-minggu setelah pertemuan itu, sebuah artikel di website The New > York Time menggelitik sanubariku. Tulisan itu merinci kegiatan sebuah > perusahaan yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper and Gold. > Mereka "membayar 20 juta dolar untuk para komandan dan unit militer di > kawasan tersebut (Papua) selama tujuh tahun terakhir sebagai imbalan > perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di sana.ESelanjutnya > ditegaskan, "Hanya sepertiga dana untuk angkatan bersenjata Indonesia yang > berasal dari anggaran negara. Selebihnya dikumpulkan dari sumber "tak > resmiE> sebagai "biaya perlindunganE sehingga administrasi militer bisa > berjalan > mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah. > > Artikel tersebut mengantarkanku kepada dua artikel lainnya yang pernah > muncul di website The Times pada September 2004. Keduanya mendeskripsikan > dua kejadian baru-baru ini di tempat aku dahulu bermain, Sulawesi, selain > mendokumentasikan dugaan bahwa perusahaan penghasil emas terbesar dunia, > Newmont Mining Corp., yang berbasis di Denver, membuang arsenik dan merkuri > secara ilegal ke lautan di Teluk Buyat. Saat membaca, aku teringat > pekerjaanku- jaringan listrik, jalanan, pelabuhan, dan infrastruktur lainya > yang didanai Bandit Ekonomi dan dibangun kembali pada 1970-an. Semua itu > menciptakan kondisi yang memungkinkan Newmont menjalankan aktivitas > penambangan sekaligus meracuni laut. Sebagaimana ditegaskan manajer > proyekku, Charlie Illingworth, pada kunjungan pertamaku, kami dikirim ke > Indonesia untuk memastikan perusahaan minyak mendapatkan apa saja yang > mereka perlukan. Tapi sebentar kemudian aku paham bahwa misi kami tidak > sebatas itu. Sulawesi menjadi > contoh utama bagaimana uang "bantuanEmemberi keuntungan pada perusahaan > multinasional. > > The Times menunjukan, "perseteruan dengan Newmont telah menyulut kesan > populer yang menguat bahwa perusahaan pertambangan dan energi mengendalikan > sistem regulasi Indonesia yang lemah. Banyak yang menuding korupsi, > kronisme, dan tidak berkembangnya struktur hukum adalah kondisi yang > diwariskan Jenderal Soeharto, diktator yang lengser pada 1998 dan yang, demi > sejumlah uang, membuka pintu bagi investasi asing.E> > Saat menatap artikel-artikel itu, dugaan yang dulu dilontarkan walikota > "Desa KelelawarEdan orang Bugis pembuat kapal, muncul di layar komputer. > Seolah para rasul yang disebutan kitab suci turun kembali untuk > menghantuiku. AS benar-benar telah mengirim kelelawarnya untuk > mengekspliotasi dan mencemari negeri-negeri asing. Para pelaut dan > kapal-kapal kuno, yang hanya bersenjatakan golok besar, tak punya banyak > peluang untuk mempertahankan negeri mereka dari kekuatan Pentagon, atau > melawan angkatan bersenjata yang menjadi antek perusahaan. > > > [Non-text portions of this message have been removed] >