Untuk bisa berilmu atau pintar tidak harus dibawah bangunan yang disebut
sekolah...
Nabi Muhammad yang tidak "sekolah" bisa jadi sumber ilmu ribuan Profesor dan
milliaran manusia...
Banyak makhluk Allah lain yang bernama manusia yang juga bisa berilmu tanpa
sekolah dibawah atap bangunan...

Salam Z

2010/5/28 Nabila Dewi <nabila...@yahoo.co.id>

>
>
> pendidikan bermutu memang harus mahal. Khan kita butuh banyak fasilitas
> untuk menunjang proses pembelajaran. Jadi, WAJAR adanya jika PENDIDIKAN
> MAHAL. Tapi, yang jadi masalah......SIAPA pihak yang BERTANGGUNGJAWAB
> MEMBIAYAI mahalnya pendidikan
>
> ________________________________
> Dari: A Nizami <nizam...@yahoo.com <nizaminz%40yahoo.com>>
> Kepada: ekonomi-nasional@yahoogroups.com<ekonomi-nasional%40yahoogroups.com>;
> ppiin...@yahoogroups.com <ppiindia%40yahoogroups.com>; lisi <
> l...@yahoogroups.com <lisi%40yahoogroups.com>>; 
> sab...@yahoogroups.com<sabili%40yahoogroups.com>;
> istiq...@yahoogroups.com <istiqlal%40yahoogroups.com>; Indonesia Raya <
> indonesiar...@yahoogroups.com <indonesiaraya%40yahoogroups.com>>
> Terkirim: Rab, 26 Mei, 2010 20:01:15
> Judul: [ekonomi-nasional] Sekolah Mahal tapi Rakyat Bodoh - Re: RSBI :
> Rintisan Sekolah Bertarif Internasional
>
>
> RSBI itu cuma sekedar taktik untuk mengenakan biaya sekolah yang tinggi ke
> orang tua murid.
>
> Untuk urusan sekolah internasional dan mahal biarlah itu urusan swasta.
> Pemerintah berkewajiban memberikan pendidikan yang baik dengan harga yang
> terjangkau untuk para pembayar pajak.
>
> Kalau sekolah mahal dan rakyat Indonesia akhirnya bodoh-bodoh dan miskin,
> kan pemerintah juga akhirnya yang melarat karena uang pajak yang saat ini
> sekitar Rp 600 trilyun jadi jauh berkurang?
>
> Jadikan pendidikan itu sebagai investasi bagi pemerintah agar rakyat cerdas
> dan makmur, sehingga penerimaan pajak pemerintah bisa naik jadi Rp 50 ribu
> trilyun...!!!
>
> Tidak rubuh saja sekolahnya para siswa sudah bersyukur. Tidak perlu pakai
> internasional-internasionalan...:)
>
>
> http://infoindonesia.wordpress.com/2008/03/11/agar-sekolah-terjangkau-oleh-rakyat-kecil/
>
> ===
>
> Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits
>
> http://media-islam.or.id
>
> Milis Ekonomi Nasional: 
> ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com<ekonomi-nasional-subscribe%40yahoogroups.com>
>
> Belajar Islam via SMS:
>
>
> http://media-islam.or.id/2008/01/14/dakwah-syiar-islam-lewat-sms-mobile-phone
>
> --- Pada Rab, 26/5/10, Roni Risdianto 
> <risdianto.r...@yahoo.com<risdianto.roni%40yahoo.com>>
> menulis:
>
> Dari: Roni Risdianto <risdianto.r...@yahoo.com<risdianto.roni%40yahoo.com>
> >
> Judul: Re: [ekonomi-nasional] RSBI : Rintisan Sekolah Bertarif
> Internasional
> Kepada: ekonomi-nasional@yahoogroups.com<ekonomi-nasional%40yahoogroups.com>
> Tanggal: Rabu, 26 Mei, 2010, 7:43 PM
>
> RSBI=Rintihan Siswa Bangkrutnya Ibu
>
> --- On Wed, 5/26/10, rifky pradana 
> <rifkyp...@yahoo.com<rifkyprdn%40yahoo.com>>
> wrote:
>
> From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com <rifkyprdn%40yahoo.com>>
>
> Subject: [ekonomi-nasional] RSBI : Rintisan Sekolah Bertarif Internasional
>
> To: ekonomi-nasional@yahoogroups.com <ekonomi-nasional%40yahoogroups.com>,
> eramus...@yahoogroups.com <eramuslim%40yahoogroups.com>,
> forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com<Forum-Pembaca-Kompas%40yahoogroups.com>,
> indonesia-ris...@yahoogroups.com <Indonesia-Rising%40yahoogroups.com>,
> mediac...@yahoogroups.com <mediacare%40yahoogroups.com>,
> nongkrong_bare...@yahoogroups.com <Nongkrong_Bareng2%40yahoogroups.com>,
> ppiin...@yahoogroups.com <ppiindia%40yahoogroups.com>,
> sab...@yahoogroups.com <sabili%40yahoogroups.com>,
> syiar-is...@yahoogroups.com <syiar-islam%40yahoogroups.com>,
> wartawan-indone...@yahoogroups.com <wartawan-indonesia%40yahoogroups.com>,
> wartawanindone...@egroups.com <wartawanindonesia%40egroups.com>,
> zama...@yahoogroups.com <zamanku%40yahoogroups.com>
>
> Date: Wednesday, May 26, 2010, 4:19 AM
>
> Sejak zaman dahulu kala, di jajaran sekolah negeri (sekolah milik
>
> negara) sudah dikenal adanya sekolah yang oleh masyarakat dilabeli sebagai
>
> sekolah favorit.
>
> Label sebagai sekolah favorit itu lantaran masyarakat menganggap mutu
>
> dan kualitas pelajaran serta guru dan lulusannya berada diatas
> sekolah-sekolah
>
> lain yang tidak dilabeli dan dikategorikan sebagai favorit.
>
> Anggapan masyarakat itu tak seratus prosen salah, mengingat pemerintah
>
> pun sepertinya memang terlihat memberikan perhatian lebih kepada sekolah
> yang
>
> dilabeli dan dikategorikan oleh masyarakat sebagai sekolah favorit itu.
>
> Biasanya jajaran guru dan kepala sekolahnya pun dipilihkan oleh
>
> pemerintah dari jajaran pengajar yang telah terbukti berprestasi.
>
> Bisa jadi hal itu akan dibantah oleh sementara pihak, namun faktanya
>
> sebagian kalangan masyarakat yang pernah bersekolah di zaman itu merasakan
> hal
>
> tersebut.
>
> Memang tidak ada jaminan bahwa dengan bersekolah di sekolah favorit itu
>
> maka lulusannya pasti 100% akan meraih keberhasilan prestasi di jenjang
>
> pendidikan yang lebih tinggi serta pasti 100% akan menjadi orang sekses
> yang
>
> berhasil meraih sukses dalam karier dan di ranah kehidupannya.
>
> Banyak juga lulusan sekolah favorit yang gagal dan drop out di jenjang
>
> pendidikan lanjutannya, bahkan menjadi orang gagal dalam karier dan di
> ranah
>
> kehidupannya.
>
> Sebaliknya justru lulusan sekolah yang tidak dilabeli sebagai sekolah
>
> favorit malahan berhasil menjadi orang terkenal dan sukses dalam karier dan
> di
>
> ranah kehidupannya.
>
> Namun tak dapat dipungkiri, pada waktu itu dapat dikatakan bahwa secara
>
> statistik (pada jenjang sekolah setingkat SMA sebagai misalnya) jumlah dari
>
> lulusan sekolah-sekolah favorit itu mayoritas berhasil lolos dalam tesnya
> di
>
> Skalu, Sipenmaru, sehingga dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi
>
> negeri atau univertisa negeri atau institut negeri yang dikategorikan
> favorit.
>
> Tentu tak semua akan sependapat dengan itu, namun memang tulisan ini
>
> tidak akan membahas panjang lebar tentang dikotomi sekolah favorit dengan
> fakta
>
> mutu lulusannya maupun keberhasilan para alumninya.
>
> Hal tersebut diatas itu hanyalah prolog untuk pengantar bahwa sejak
>
> zaman dahulu pun sudah dikenal dan terdapat fakta nyata adanya sekolah
> favorit
>
> dan sekolah non favorit.
>
> Maka dapat dibilang bahwa program pemerintah di zaman ini berkait
>
> dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) pada satu sisi boleh
>
> dibilang bukanlah sesuatu hal yang 100% baru. Boleh dibilang itu hanyalah
>
> merupakan formalisasi dari sekolah favorit, atau suatu bentuk formalisasi
> dari
>
> suatu kenyataan yang sudah ada di zaman dahulu dan terus berlangsung sampai
>
> hari ini.
>
> Tentu tak bisa dibilang juga 100% tak ada yang baru, paling tidak dalam
>
> program sekolah berstatus RSBI itu ada materi-materi muatan baru yang
> menjadi
>
> pembeda dari sekolah yang bukan RSBI.
>
> RSBI sebagai sesuatu yang 100% baru itu yang paling jelas adalah disoal
>
> di soal jumlah nominal dari uang pangkal dan biaya pendidikan serta biaya
>
> lain-lainnya yang harus dibayar oleh siswa dan orang tuanya.
>
> Pada zaman dahulu, antara sekolah negeri favorit (yang sekarang
>
> dilabeli RSBI itu) dengan sekolah negeri non favorit (yang sekarang tidak
>
> berlabel RSBI) itu boleh dikatakan hampir tidak ada perbedaan dalam biaya
> yang
>
> dibayar oleh oleh siswa dan orang tuanya.
>
> Memang pada zaman dahulu pun besarnya SPP antara sekolah negeri dengan
>
> sekolah swasta itu berbeda. Tapi antar sekolah yang sama-sama sekolah
> negeri
>
> tak ada bedanya.
>
> Jadi pada zaman dahulu, antara sekolah favorit dengan non favorit itu
>
> kalau pun berbeda biaya paling-paling di soal uang iuran untuk program
>
> lain-lain dan eskul saja, bukan pada besaran uang pangkal dan SPP-nya.
>
> Inilah yang sekarang terjadi pada program RSBI, sehingga muncul
>
> plesetan akronim RSBI menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional.
>
> Hal itu boleh saja akan mendapatkan bantahan dari beberapa kalangan.
>
> Namun pejabat Kementrian Pendidikan justru ternyata malahan mengamini hal
> itu.
>
> “Sekarang ini muncul suara
>
> sumbang dari berbagai tempat. Bahkan, RSBI dipelesetkan menjadi rintisan
>
> sekolah bertarif internasional. Kesannya RSBI itu sekolah mahal, padahal
>
> awalnya konsep RSBI itu bagaimana meningkatkan mutu pendidikan”, kata
>
> Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Hamid Muhammad..
>
> Demikian menurut berita di harian Kompas pada
>
> berita bertajuk “RSBI akan Dievaluasi”.
>
> Memang tak ada yang salah dengan keinginan pemerintah agar
>
> sekolah-sekolah negeri di Indonesia itu menjadi bertaraf internasional.
>
> Hal yang sungguh teramat mulia dan sangat bisa jadi akan berpahala
>
> dunia akhirat seperti halnya pahala amal jariyah.
>
> Dan sangat pasti itu tentunya akan membuat biaya penyelengaraan dari
>
> sekolah-sekolah itu akan menjadi lebih mahal.
>
> Namun, apakah untuk itu
>
> harus berkonsekuensi dalam biaya dan SPP dari sekolah-sekolah negeri itu
>
> menjadi bertaraf internasional pula ?.
>
> Jika sekolah negeri yang berstatus RSBI saja sudah sedemikian mahal
>
> biaya dan SPP yang harus dibayar oleh siswa dan orangtuanya (bagi kalangan
>
> masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rata-rata) maka dapat
> dibayangkan
>
> akan menjadi seberapa lebih mahal lagi andai sekolah negeri RSBI meningkat
>
> menjadi sekolah negeri yang status SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).
>
> Akhirulkalam, situasi yang
>
> demikian itu menjadikan tak salah jika ada kalangan yang mempunyai pendapat
>
> bahwa semua desain pendidikan di Indonesia itu pada hakikatnya
>
> diarahkan untuk menghilangkan dikotomi antara sekolah negeri dan sekolah
>
> swasta.
>
> Dalam arti kata, pemerintah tak boleh membedakan antara sekolah negeri
>
> dengan sekolah swasta, sebab murid yang bersekolah di sekolah negeri dan
>
> sekolah swasta itu sama-sama bersatatus sebagai rakyat Indonesia.
>
> Sehingga ujung akhirnya, jika pemerintah mengeluarkan uang negara
>
> (APBN) yang diperuntukkan bagi sekolah negeri maka pihak sekolah swasta
> (pengelola
>
> dan yayasannya) pun juga harus mendapatkan bagian jatah uang APBN yang sama
> dan
>
> serupa serta sebanding.
>
> Seperti halnya yang sudah terjadi dan terlaksana di program uang BOS
>
> (Biaya Operasi Sekolah).
>
> Benarkah
>
> demikian ?.
>
> Wallahualambishshwab.
>
> *
>
> RSBI: Rintisan
>
> Sekolah Bertarif Internasional
>
>
> http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/26/rsbi-rintisan-sekolah-bertarif-internasional/
>
> *
>
> Nasib anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dengan bekal
>
> kemampuan otak rata-rata yang standar saja memang tak beruntung di negeri
> ini.
>
> Keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dan
>
> kuliah di perguruan tinggi haruslah dipupusnya.
>
> Ironisnya, keadaan seperti itu justru terjadi di saat anggaran
>
> pendidikan telah berhasil diperjuangankan sehingga mencapai 20% dari total
> APBN
>
> (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara).
>
> Alasan mahalnya biaya pendidikan selalu bernada klasik yaitu anggaran
>
> yang 20% dari APBN itu belum mencukupi untuk melaksanakan pendidikan gratis
> di
>
> sekolah-sekolah negeri.
>
> Ajaibnya, ditengah keluhan anggaran yang tak mencukupi itu justru
>
> negara sangat berbaik hati membagi-bagikan anggaran uang negara itu tak
> hanya
>
> untuk khusus diperuntukkan bagi sekolah negeri saja, namun sekolah swasta
> pun
>
> ikut kebagian mendapatkan jatah uang dari anggaran APBN.
>
> Hasilnya, sekolah-sekolah negeri menjadi tak bisa digratiskan dan
>
> sekolah-sekolah swasta pun tetap mahal.
>
> Mungkin ada diantara kita yang masih bernafas lega dan merasa
>
> beruntung, lantaran mereka merasa bahwa anak-anak mereka tak akan terlantar
>
> dalam pendidikan, disebabkan dirinya merupakan karyawan kantoran yang bukan
>
> gelandangan dan pemulung.
>
> Mereka merasa bahwa kerepotan lantaran biaya pendidikan itu hanyalah
>
> persoalan miliknya anak-anak dari kaumnya para pengemis dan gelandangan
> serta
>
> pemulung saja, bukan persoalannya anak-anak dari karyawan kantoran.
>
> Ya, bisa jadi memang begitu, lantaran mereka adalah karyawan kantoran
>
> yang gajinya sangat memadai.
>
> Atau, jika pun karyawan kantoran yang sesungguhnya gajinya juga tak
>
> memadai tapi anak-anaknya masih kecil sehingga belum merasakan mahalnya
> biaya
>
> pendidikan di zaman ini.
>
> Atau, bisa juga mereka adalah karyawan kantoran yang gajinya tak memadai
>
> akan tetapi anaknya berotak brilian nan jenius sehingga anak mereka
> mendapatkan
>
> beasiswa untuk biaya pendidikannya..
>
> Terlepas dari soal gaji yang memadai atau tidak memadai, dan perdebatan
>
> soal setuju atau tidak setuju dengan pendapat bahwa biaya sekolah di zaman
> ini
>
> memang mahal, yang jelas Menteri Diknas secara tersirat telah mengakui
> bahwa di
>
> saat ini memang biaya pendidikan itu mahal.
>
> ”Memang harus ada regulasi agar
>
> sekolah tidak memungut biaya terlalu mahal, hingga belasan juta” , kata
>
> Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. ”Akan
>
> kita dorong (mekanisme) subsidi silang agar sekolah tidak menjadi eksklusif
> dan
>
> elite. Ini harus diatur. Kalau tidak, nanti sekolah X, misalnya, sudah
>
> (kumpulan) anak pintar, kaya-kaya lagi”, tuturnya.
>
> Begitu pernyataan Mendiknas yang dimuat di harian Kompas dalam berita yang
> bertajuk “Pendidikan Kian Menguras Air Mata”.
>
> Kembali ke pokok bahasan soal alasan mahalnya biaya pendidikan,
>
> biasanya alasan klasik yang lainnya adalah soal konsekuensi dimana sekolah
> yang
>
> berkualitas itu memang mahal biayanya.
>
> Ya, bisa jadi begitu, biaya sekolah berkualitas memang mahal, sedangkan
>
> yang tak mahal itu berarti tak berkualitas.
>
> Jika begitu, maka hasil produk dari sekolah tak berkualitas tentunya
>
> produk lulusannya juga tak berkualitas.
>
> Akhirulkalam, berdasarkan
>
> alasan dan logika itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa seluruh jajaran
>
> pemimpin negeri ini beserta seluruh menteri-menteri kabinetnya lengkap
> dengan
>
> semua anggota parlemennya itu semuanya merupakan hasil dari pendidikan yang
> tak
>
> berkualitas.
>
> Lantaran mereka-mereka itu merupakan produk lulusan dari sekolah-sekolah
>
> di zamannya biaya sekolah masih belum mahal alias masih murah .
>
> Wallahulambishshawab.
>
> *
>
> Negeri Tak
>
> Gratis, Swasta Pun Mahal
>
>
> http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/08/negeri-tak-gratis-swasta-pun-mahal/
>
> *
>
> Saya tertarik dengan tilisannya kang pepih yang berjudul “Mau Tahu Seberapa
> Pantas Gajimu ?” .
>
> Saya merasakan ada nuansa ‘visi modern dan internasional’ yang
>
> direfleksikan dengan adanya kekhawatiran soal jangan sampai gaji kita ada
> di
>
> bawah standar dari yang seharusnya bisa (pantas) didapatkan.
>
> Namun ada nuansa ‘kearifan tradisional’ yang nrimo ing
>
> pandum yang direfleksikan dengan adanya kepasrahan dari apa yang telah
>
> diterimanya dari perusahaan tempatnya bekerja selama 20 tahun ini yang
> sudah
>
> terasa cukup untuk menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak. Jadi
>
> seyogyanya cukup bersyukur sajalah.
>
> Inilah mungkin ciri khasnya manusia-manusia yang berbudaya timur,
>
> tentunya mungkin termasuk diri saya ini.
>
> Adasisi baiknya,
>
> namun tentu banyak pula sisi lemahnya. Bagi para pemimpin yang culas dan
> zalim,
>
> soal nrimo dan pasrah ini akan selalu diekploitasi agar rakyatnya memaklumi
>
> kegagalan kinerja pemerintah yang dipimpinnya.
>
> Bahkan dulu, pernah ada ustadz paling kondang yang dengan rela hati
>
> menjadikan dirinya sebagai bintang iklan kenaikan harga BBM.
>
> Didalam iklan itu, si ustadz mentausiahi rakyat Indonesia agar
>
> nrimo dengan kenaikan harga BBM yang berlipat kali itu, dan disikapi saja
>
> dengan tawakal.
>
> Giliran disuruh pasrah dan nrimo, rakyat digiring kearah suasana batin
>
> yang menghormati ‘kearifan tradisional’. Padahal disisi lain, setiap kali
>
> menaikkan harga komoditi tertentu, seperti harga BBM misalnya, pendukung
>
> pemerintah ribut membelanya dengan mengkaitkannya dengan standar harga
>
> internasional.
>
> Saat biaya pendidikan perguruan tinggi melonjak naik sebab akibat dari
>
> kebijakan BHP/BHMN dan keengganan pemerintah mengucurkan subsidinya,
> alasannya
>
> pun internasinoal, yaitu agar dapat bersaing dengan standar internasional.
>
> Semua menjadi serba internasional, termasuk biayanya tentunya.
>
> Namun giliran diperbandingkan dengan biaya pendidikan di India misalnya
> (ini India juga standar internasional
>
> lho) kok malah berang dan marah serta membentak.
>
> Untuk perbandingan kebijakan pemerintah Indonesia dengan pemerintah India
> silahkan baca di “Pak eSBeye dan
>
> Pendidikan yang Meng-Internasional” dengan mengklik disini.
>
> Visi internasional itu baik namun jangan hanya dipakai untuk jargon
>
> mengelabuhi rakyat, seperti dalam soal hutang Negara dipakai standar
>
> internasional yang patokannya adalah Rasio Hutang terhadap PDB. Padahal itu
>
> cuma menyembunyikan fakta bahwa jumlah hutang negara yang sebenarnya
> malahan
>
> naik tajam secara jumlah nominalnya.
>
> Ndak masalah sih, jika semua mau diinternasionalkan, termasuk katanya
>
> BUMN pun juga akan diprivatisasi kepada pihak asing agar menginternasional.
>
> Ndak masalah juga jika biaya hidup juga menginternasional, harga kebutuhan
>
> pokok juga menginternasional.
>
> Namun masalahnya, apakah gajimu
>
> dan pendapatanmu juga sudah menginternasional pula ?.
>
> Jangan sampai, gaji standar lokal, tapi biaya hidup dan harga kebutuhan
>
> pokok berstandar internasional.
>
> Giliran menyekolahkan anak ke perguruan tinggi yang standarnya katanya
>
> internasional, gaji yang standar lokal ini tak mampu untuk menjangkau biaya
>
> kuliah Universitas Negeri yang biaya kuliahnya berstandar internasional.
>
> Nah gimana?, Gajimu dan pendapatanmu sudah standar yang
>
> menginternasional ?.
>
> Udah apa belum
>
> ya?, baca aja deh tulisannya kang Pepih yang dapat dibaca dengan
>
> mengklik disini.
>
> Wallahualambishsawab.
>
> *
>
> Gaji Standar
>
> Lokal, Biaya Hidup Standar Internasional
>
>
> http://umum.kompasiana.com/2009/07/03/gaji-standar-lokal-biaya-hidup-standar-internasional/
>
> *
>
> Slogan ‘een natie van koelias en
>
> een koelie onder de naties’ atau ‘negara
>
> kuli dan kulinya bangsa lain’, apakah masih relevan untuk kondisi hari ini
>
> ?. Ataukah hanya relevan dengan
>
> situasi zaman kolonial pra Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 saja ?.
>
> Jika bangsa kita, kaum bumiputera Indonesia hanya menjadi ‘buruh’ di negeri
> sendiri sedangkan sang
>
> ‘tuan majikan’ tetaplah bangsa asing,
>
> maka slogan itu tentu masih sangat
>
> relevan sampai hari ini.
>
> Koeli Ordonantie nomor 78, barangkali dapat menjadi salah satu
>
> referensi perihal relevansinya suratan takdir bumiputera di negeri ini yang
> di
>
> zaman kolonial hanyalah sebagai ‘KOELI’ -Proklamasi Kemerdekaan 1945
>
> tidaklah merubah nasibnya- sekarang di hari ini tetap saja hanya
>
> sebagai ‘BOEROEH’.
>
> Cerita
>
> Selengkapnya :
>
> J Nienhuis, seorang pengusaha Belanda pada tahun
>
> 1863 -bersamaan dengan beralih haluannya pemerintah kolonial Hindia
>
> Belanda menjadi berpaham ‘ekonomi liberal’
>
> dalam mengelola ekonomi Hindia Belanda- mulai menanamkan investasi dengan
>
> membuka perekebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara.
>
> Hasil ekspor tembakau Deli ini kemudian menguasai pasar Eropa karena
>
> mempunyai mutu yang sangat baik untuk bahan pembuat cerutu.
>
> Maka mulailah Deli dibanjiri investasi besar-besaran dari para investor
>
> Eropa terutama dari para pengusaha negeri Belanda dalam investasi disektor
>
> perkebunan tembakau.
>
> Penduduk Deli dan sekitarnya, pada tahun 1874 hanya berjumlah sekitar
>
> 32.000 orang yang terdiri dari 20.000 orang Batak dan 12.000 orang Melayu.
>
> Keadaan ini tentunya tak menunjang bagi terciptanya iklim investasi
>
> yang kondusif untuk mendukung percepatan dan perkembangan penanaman modal
> di
>
> sektor perkebunan tembakau..
>
> Dikarenakan itu maka para investor mulai mendatangkan tenaga kerja dari
>
> orang Cina asal Malaka.
>
> Namun rupanya upaya itu belum cukup untuk mendukung iklim yang kondusif
>
> bagi pesatnya investasi di bidang perkebunan tembakau di deli.
>
> Untuk itu pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama ‘Deli
> Planters Vereeniging’ dengan
>
> tujuan untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah dalam
> rangka
>
> mendukung banjirnya investasi perkebunan tembakau di Deli.
>
> Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan
>
> sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh buruh murah.
>
> Maka mulailah didatangkan secara besar-besaran kuli-kuli dari orang
>
> Jawa asal daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
>
> Koeli Ordonantie ini dibuat berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang
>
> dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Keputusan
> Gubernur
>
> Jenderal Nomor 138. Pada perkembangannya peraturan ketenagakerjaan ini
>
> mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78.
>
> Peraturan ini ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu.
>
> Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial
>
> Hindia Belanda ini juga cukup berimbang, dalam arti tak hanya memuat
> ketentuan
>
> untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja atau saat itu disebut
> sebagai ‘koeli’, namun juga memberikan kepastian
>
> hukum untuk melindungi kepentingan para investor dan pengusaha demi
>
> menjaga iklim yang kondusif bagi terjaminnya kelancaran penanaman modal dan
>
> investasi.
>
> Beberapa aturan pada beberapa pasalnya bertujuan untuk melindungi
>
> kepentingan para tenaga kerja, seperti hak para koeli untuk meminta
> dikirimkan
>
> dan diongkosi kepulangannya kembali ke kampung halamannya bila masa kerja
> pada
>
> kontrak kerjanya telah usai.
>
> Juga tentang hak para koeli untuk mendapatkan tempat tinggal dan MCK
>
> serta makan maupun upah yang selayaknya.
>
> Tak lupa juga para koeli diberikan pas keterangan untuk mengadukan
>
> perlakuan para ondernemer yang tak sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.
>
> Hebatnya lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam peraturan
>
> ketenagakerjaan atau Koeli Ordonantie ini mengharuskan para biro pencari
> tenaga
>
> kerja untuk memberikan honorarium awal kepada para koeli setelah menanda
>
> tangani kontrak kerja, walaupun belum efektif bekerja karena belum sampai
> ke
>
> tempat tujuan kerjanya.
>
> Uang honorarium awal itu, pada saat itu disebut sebagai ‘uang panjar’.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga cukup cerdas dan arif
>
> bijaksana.
>
> Dalam rangka menjaga stabilitas dan harmonisasi di daerah tujuan
>
> penanaman modal dan investasi itu, maka beberapa pasalnya memuat aturan
> yang
>
> memastikan para koeli untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di
> daerah
>
> itu.
>
> Parakoeli juga
>
> diwajibkan untuk mencatatkan diri di Pemerintah Daerah setempat.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat berkepentingan menciptakan
>
> iklim yang kondusif untuk memajukan dan mendorong laju pertumbuhan
> ekspornya
>
> juga membuat peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan para investor
>
> sebagai penanam modal dan pengusahanya.
>
> Beberapa aturannya mencakup juga ketentuan jam kerja selama 10 jam
>
> sehari yang harus dipatuhi oleh para koeli.
>
> Juga aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya
>
> selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri
> dari
>
> tempat bekerjanya.
>
> Untuk itu para koeli akan dihukum jika desersi, melarikan diri, melawan
>
> perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan
> kerja,
>
> bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran
>
> proses produksi.
>
> Namun maksud baik dan mulia dari pemerintah kolonial Hindia Belanda
>
> agar tercipta iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja
> bagi
>
> para penganggur yang miskin, ternyata lebih mengikat dan merugikan
> kepentingan
>
> para koeli.
>
> Inilah awal dari cerita yang didalam sejarah dicatat sebagai zaman
>
> penuh penderitaan bagi para koeli orang-orang Jawa.
>
> Begitu mengenaskan sehingga ada catatan dalam sejarah yang mencatat
>
> beberapa penggal kisah para koeli orang Jawa ini bagaikan cerita kehidupan
> para
>
> budak saja layaknya.
>
> Posisi tawar yang lemah dari para koeli dibandingkan posisi tawar yang
>
> dimiliki oleh para tuan atau ondernemer, ditambah dengan lemahnya fungsi
>
> pengawasan dari para aparat pegawai pemerintah kolonial Hindia
>
> Belanda -dalam segala tingkatan dan segala jenjang eselon yang bermental
>
> koruptor dan memeras serta lebih suka berpihak kepada para ondernemer yang
>
> memberinya amplop uang suap- telah membuat cerita yang layaknya
>
> hanya ada dalam cerita pada dongeng khayalan saja itu menjelma menjadi
> cerita
>
> nyata tentang kepedihan yg tiada terperi dari warganegara bumiputera yang
>
> menjadi para koeli.
>
> Perjalanan cerita dimulai saat para calon koeli dihubungi oleh para
>
> Lurah, para Kepala Desa, yang bertindak sebagai calo tenaga kerja.
>
> Parapemuda yang
>
> sebagian besar adalah para penganggur berduyun-duyun mendaftarkan diri
> kepada
>
> para lurah dan kepala desa itu.
>
> Selanjutnya mulai meninggalkan kampung halamannya menuju tanah harapan
>
> untuk memperbaiki kehidupannya.
>
> Mereka kemudian diangkut ke Batavia, disini
>
> para pemuda itu menandatangani kontrak kerja yang saat itu disebut sebagai
> ‘Koeli Ordonantie’.
>
> Parakoeli dimulai
>
> setelah menandatangani kontrak dan mendapatkan Uang Panjar.
>
> Parakoeli
>
> itu -pada masa itu biasa disebut sebagai ‘koeli kontrak’- diangkut dengan
> kapal laut menuju
>
> ke Deli Sumatera. Perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama, mengingat
>
> kecepatan kapal laut pada waktu itu belumlah secepat kapal laut zaman ini.
> Dan
>
> tentunya fasilitas yang ada di kapal laut pada waktu itu pun belumlah
> semodern
>
> dan senyaman kelengkapan dan fasilitas kapal laut pada zaman kemerdekaan
> ini.
>
> Setelah tiba di onderneming, para ‘koeli
>
> orang Jawa’ bekerja dibawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas
>
> disiplin kerja dari para koeli yang dipimpinnya.
>
> Paramandor ini
>
> mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang
>
> dipimpinnya.
>
> Pada umumnya para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi
>
> dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala,
> dan
>
> selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas.
>
> Seterusnya, para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada
>
> administratur perkebunan.
>
> Selanjutnya para administratur ini bertanggungjawab kepada tuan
>
> juragannya yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu.
>
> Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para
>
> koeli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala,
>
> mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli.
>
> Begitu berkuasanya para mandor ini, sehingga para koeli jika ditanya
>
> dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming
> tempat
>
> bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor
>
> kepalanya.
>
> Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan
>
> langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja, para calo
> dan
>
> juga tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan
> pemerasan.
>
> Hutang dan biaya yang diangggap sebagai
>
> hutang -seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan,
>
> biaya pengobatan, biaya tempat tinggal- dengan upahnya yang
>
> minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli
> bekerja
>
> selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.
>
> Hutang piutang ini sengaja dipupuk untuk mengikat para koeli ini, sengaja
>
> diciptakan situasi dan keadaan yang akan membuat para koeli semakin
> menumpuk
>
> hutang kepada para ondernemer.
>
> Pada masa itu, opium adalah barang yang legal, para administratur
>
> senagaja memakai ketagihan mengkonsumsi opium ini sebagai sarana menumpuk
> hutang
>
> bagi para koelinya.
>
> Tak cukup hanya itu, pada setiap tahunnya biasanya bertepatan dengan
>
> perayaan yang diadakan pada akhir masa kontrak bagi sebagian koelinya,
>
> didatangkan pertunjukan yang disertai para bandar jugi yang menggelar arena
>
> perjudian.
>
> Kemudian para koeli termasuk para koeli yang lagi merayakan berakhirnya
>
> masa kontrak kerjanya oleh para administrtur melalui para mador kepalanya,
>
> dipinjami uang untuk berjudi.
>
> Walau zaman telah berubah, namun apa yang terjadi pada zaman lalu
>
> dengan yang terjadi pada masa kini mempunyai esensi yang sama, yaitu
> mekanisme
>
> pemaksaan secara tak langsung bagi para koeli dengan upah yang rendah.
>
> Pada masa lalu, kondisi dan situasi dimana para koeli terhimpit oleh
>
> tumpukan hutang piutangnya kepada para tuan juragan perkebunan yang tak
>
> terbayarkan oleh para koeli itu dijadikan senjata pemaksa oleh para
>
> administratur perkebunan untuk menekan para koeli agar menerima kontrak
> kerja
>
> dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif panjang.
>
> Sedangkan hari ini, kondisi dan situasi dimana kesempatan kerja yang
>
> terbatas dan menumpuknya hutang piutang kepada pihak lain -akibat biaya
> hidup
>
> sehari-hari dan tungakan angsuran kredit barang konsumtif- dijadikan
>
> senjata pemaksa oleh para administratur perusahaan untuk menekan para buruh
>
> agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang
> relatif
>
> pendek.
>
> Selintas seperti berbeda namun esensinya tetap sama, upah rendah dengan
>
> klausul kontrak yang hanya memberikan perlindungan yang tidak memadai bagi
>
> kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup para kuli atau buruh.
>
> Keperihan dari konsekuensi kemiskinan yang dialaminya tak hanya soal
>
> jeratan hutang piutang yang berkonsekuensi kontrak kerja dengan upah rendah
>
> untuk jangka waktu yang relatif lama.
>
> Kondisi kerja juga menyedihkan, para koeli akan tetap bekerja meskipun
>
> kondisi fisiknya nyaris tak mampu berdiri.
>
> Jika mereka, seorang koeli sakit sehari maka mereka tidak akan
>
> mendapatkan upah seharinya. Serta jika sakitnya melebihi 30 hari, maka para
>
> pimpinan perkebunan secara sepihak berhak memperpanjang masa kontrak kerja
>
> koeli itu sesuai jumlah hari koeli itu tidak bekerja.
>
> Aturan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam Koeli Ordonantie yang
>
> semula bermaksud mulia, melindungi hak koeli namun sekaligus juga
> melindungi
>
> investasi para investor perkebunannya, ternyata pada pelaksanaannya telah
>
> diselewengkan oleh para pemilik perkebunan.
>
> Aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama
>
> masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari
> tempat
>
> bekerjanya, serta hak menghukum para koeli yang desersi, melarikan diri,
>
> melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu
>
> ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan
>
> mengganggu kelancaran proses produksi, telah diselewengkan makna tujuannya
>
> untuk menghukum para koeli yang membangkang dengan hukuman yang kejam.
>
> Sangsi penjara, dirantai, dihukum cambuk, direndam air, tidak diberi
>
> makan dan minum adalah hal yang lumrah saja dan jamak dilakukan oleh para
>
> pemilik perkebunan kepada para koeli bumiputera.
>
> Semua itu tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh para
>
> oknum aparatur pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang seolah menutup
> saja
>
> terhadap praktik-praktik ini.
>
> Apakah hanya
>
> karena faktor pengawasan dalam praktiknya saja maka Koeli Ordonantie
>
> mendatangkan kesengsaraan bagi para koeli?.
>
> Sesungguhnya tak hanya karena itu.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri sebagai sebuah pemerintahan
>
> penjajah pada hakikatnya tak pernah memikirkan nasibnya para koeli
> bumiputera.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan
>
> bagaimana agar investasi pada sektor produktif lancar sehingga ekspor
> komoditi
>
> andalannya menjadi lancar dan semakin meningkat.
>
> Selanjutnya pada giliran akhirnya akan mengalirkan keuntungan finansial
>
> bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para pejabatnya.
>
> Itu semua karena ‘Koeli
>
> Ordonantie nomor 138’ dan ‘Koeli
>
> Ordonantie nomor 78’ , mempunyai banyak celah yang ‘sengaja’ dibuat untuk
> memihak kepada kepentingan melindungi nilai
>
> investasi dari para investor ondernemernya saja.
>
> Tak hanya itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan alasan untuk
>
> menjaga ketertiban dan ketenangan serta stabilitas bagi kelancaran produksi
>
> sektor komoditas ekspor andalannya mengeluarkan secara resmi peraturan yang
>
> tidak memperbolehkan sembarang pihak yang tidak mendapat ijin khusus dari
>
> pemerintah untuk mengetahui praktik-praktik yang terjadi di dalam
> perkebunan.
>
> Pada tahun 1902, pernah ada seorang pengacara Belanda yang mencoba
>
> melanggar aturan itu. Pengacara Belanda itu, J Van den Brand dalam sebuah
>
> majalah lokal pernah menuliskan sebuah tulisan yang melukiskan
>
> kekejaman yang dilakukan oleh para pemilik perkebunan tembakau terhadap
> para
>
> koeli mereka.
>
> Dalam tulisannya itu ia menuduh pemerintah sengaja menutup mata
>
> terhadap segala tindakan kejamnya para pemilik perkebunan tembakau. Tulisan
> itu
>
> seperti membenarkan kabar angin yang sudah beredar sebelumnya dikalangan
>
> terbatas.
>
> Untuk meredam kabar itu, selang dua tahun setelah tulisan itu, tepatnya
>
> tahun 1904, pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang jaksa
> yang
>
> bernama JTL Rhemrev untuk mengadakan penyelidikan dan pendalaman terhadap
>
> masalah itu.
>
> Namun laporan hasil penyelidikan dan pendalaman atas masalah itu, oleh
>
> pemerintah dinyatakan sebagai bersifat sangat rahasia, sehingga tidak boleh
>
> dipublikasikan kepada publik.
>
> Namun sepedih dan seperih apapun cerita kehidupannya, toh tak
>
> menjadikan para koeli bumiputera itu mati dan musnah seperti layaknya
> genoside.
>
> Mereka para koeli itu ternyata masih bertahan hidup dan dapat hidup
>
> seperti manusia bernyawa pada umumnya seperti beranak-pinak.
>
> Pada awal tahun 1900-an mulailah lahir generasi pertama yang merupakan
>
> anak keturunan dari para koeli orang Jawa itu.
>
> Mereka anak para koeli orang Jawa yang lahir di onderneming di Deli itu
>
> biasa disebut sebagai ‘Anak Jawa Deli’ atau ‘Jadel’.
>
> Mereka seperti tak berbeda dengan prototipe orang Jawa pada umumnya,
>
> namun mempunyai temperamen yang lebih keras dibandingkan dengan anak-anak
> Jawa
>
> yang lahir di kampung halamannya.
>
> Mereka anak dari para koeli yang hidup pas-pasan saja dan dibesarkan
>
> dalam kondisi yang jauh kecukupan makanan yang bergizi, serta tanpa akses
> yang
>
> memadai terhadap pendidikan.
>
> Jikalaupun mereka disediakan pendidikan maka juga tak mungkin
>
> diaksesnya karena sejak kecil mereka harus membantu orang-tuanya untuk
> mencari
>
> uang dengan memetiktembakau demi sesuap nasi pengganjal isi perut.
>
> Sehingga setelah mereka dewasa, nasib mereka pun sama seperti generasi
>
> orang-tuanya, menjadi koeli seperti bapaknya.
>
> Anak keturunannya itu terus beranak pinak hingga turun temurun yang
>
> keturunannya masih eksis berlanjut sampai dengan hari ini.
>
> Dan hari ini kita mendapatkan berkah warisan dari peraturan Koeli
>
> Ordonantie berupa hasil banjir investasi pada waktu itu yang hari ini
> berupa
>
> aset produktif dalam bentuk tanah-tanah perkebunan tembakau di Deli yang
> mutu
>
> tembakaunya sangatlah terkenal diseluruh dunia sebagai yang terbaik untuk
> bahan
>
> cerutu.
>
> Tentunya aset produktif penghasil devisa bagi negara yang merupakan
>
> aset bangsa itu akan meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia,
> yang sebagian diantara rakyat Indonesia itu
>
> adalah juga mereka yang merupakan anak keturunan dari para koeli orang
>
> Jawa zaman Koeli Ordonantie.
>
> Semoga, anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli
>
> Ordonantie, mendapatkan berkah dari peninggalan cucuran keringat leluhur
>
> mereka, yang telah memeras keringat dan memerah darhnya di zaman ‘Koeli
>
> Ordonantie’.
>
> Penutup :
>
> Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit
>
> dahulu bersenang-senang kemudian.
>
> Beramsal dari pepatah itu, tentunya jika pada masa dahulu, leluhur kita
>
> hanya menjadi ‘Koeli’ maka setelah
>
> itu pada masa kini di alam Indonesia Raya yang telah merdeka ini, kita
>
> anak keturunannya sepantasnya menjadi ‘tuan
>
> juragan’ atau ‘majikan di negeri
>
> sendiri’.
>
> Apakah pantas jika pada masa lampau di zaman penjajahan, leluhur kita
>
> para warganegara bumiputera ditakdirkan hanya sebagai ‘koeli’ yang terjajah
> dan menderita, kemudian pada masa kini
>
> di zaman kemerdekaan, kita anak keturunannya para warganegara bumiputera
>
> tetap saja ditakdirkan hanya sebagai ‘boeroeh’
>
> yang tertindas dan masih menderita pula ?.
>
> Apakah dengan demikian itu, maka slogan peringatan bagi kita yang
>
> mengatakan bahwa ‘een natie van koelias
>
> en een koelie onder de naties’ atau ‘negara kuli
>
> dan kulinya bangsa lain’ itu sesungguhnya telah menjadi
>
> suratan takdir dari nasib bagi sepanjang kehidupannya orang-orang
> bumiputera
>
> di negerinya sendiri ini ?.
>
> Apakah cukup dengan mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya sendiri,
>
> pemerintah dan negara tak punya kewajiban untuk melakukan upaya merubah
> suratan
>
> takdir bagi nasibnya orang-orang bumiputera di negerinya sendiri ini ?
>
> Wallahualambishawab.
>
> *
>
> Dulu Koeli Sekarang Tetap Jadi
>
> Boeroeh
>
>
> http://umum.kompasiana.com/2009/05/31/dulu-koeli-sekarang-tetap-jadi-boeroeh/
>
> *
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com 
    ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke