Oleh Seto Mulyadi
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/28/opini/3717553.htm
=========================

Jangan kaget! Ini adalah seruan lantang industri rokok kepada
anak-anak dan remaja kita.

Sayang, banyak orangtua tampaknya masih terlelap dan tidak sadar.
Tahu-tahu, jutaan anak kita telah tercemar asap tembakau dan akan
menjadi perokok aktif di masa depan. Dengan sistematis, industri rokok
mengajak jutaan anak untuk sejak dini mulai gemar merokok.

Coba lihat iklan-iklan rokok di mana-mana, seolah tidak ada lagi ruang
kosong yang ramah anak dan bebas dari dominasi iklan rokok. Mulai dari
billboard, spanduk, umbul-umbul, iklan di media cetak ataupun
elektronik, kaset atau film sampai ke seminar-seminar pendidikan pun
tak luput dari promosi rokok.

Materi iklan pun menunjukkan segmentasi pasar yang dibidik. Bahwa
merokok adalah baik. Merokok identik dengan nikmat, berani, macho,
trendi, kebersamaan, santai, optimistis, penuh petualangan, kreatif,
dan segudang istilah lain lagi yang membanggakan.

Tidak tanggung-tanggung, idola remajaâ€"penyanyi, grup musik, atau para
tokoh yang memenuhi selera pasar konsumenâ€" dilibatkan sebagai model.

Industri rokok paham teori psikologi perkembangan anak bahwaâ€"menurut
teori perkembangan psikososial Erik Eriksonâ€"remaja sedang pada tahap
the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru dan
mengikuti perilaku model yang menjadi idolanya. Dengan "serangan"
iklan dan menampilkan identitas yang dicari remaja, otomatis mereka
larut dalam pengaruh iklan, merasa lebih hebat dengan merokok.

Metode komunikasi persuasif yang digunakan pun memakai classical
conditioning, yaitu mengubah sikap dengan mengondisikan antara
perasaan positif dan benda yang diiklankan. Remaja pun tergiur saat
disuguhi pesan-pesan seperti "Apa Obsesimu?", "X-presikan Aksimu!",
dan "U are U!".

Bahan adiktif

Kalangan industri rokok sering berkilah, iklan rokok tidak akan
menimbulkan perokok baru, tetapi hanya menjaga agar perokok aktif
tetap mengonsumsi produksinya atau agar tidak pindah ke merek lain.
Namun, kenyataannya iklan rokok telah menjebak ratusan ribu anak dan
remaja untuk mulai mencoba merokok, lalu menjadi pengguna tetap yang
aktif.

Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa mengiklankan rokok sama
dengan mempromosikan bahan adiktif terhadap anak-anak. Saat merokok,
mereka akan mengisap sekitar 4.000 racun kimia dengan tiga komponen
utama yang berbahaya, yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih
dari lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10
juta sampai tahun 2020. Dari jumlah itu, 70 persen korban berasal dari
negara berkembang.

Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang
disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa
per hari atau sekitar 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Remaja akan tetap menjadi sasaran utama untuk menggantikan perokok
senior yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap rokok, yang konon
sekitar 30 juta akan wafat karena penyakit yang berhubungan dengan
tembakau.

Coba simak laporan perusahaan rokok di AS, Philip Morris (1981),
"Remaja hari ini adalah pelanggan tetap yang potensial untuk hari
esok! Pola merokok remaja amat penting bagi Philip Morris...."

Hak anak

Melalui Sidang Ke-56 WHO, 192 negara anggotanya telah mengadopsi
Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on
Tobacco Control/FCTC) untuk melindungi generasi muda dari kerusakan
kesehatan dan asap tembakau. Pasal 13 FCTC mensyaratkan negara anggota
untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan,
pemberian sponsor dan promosi produk tembakau, baik secara langsung
maupun tidak dalam kurun waktu lima tahun setelah meratifikasi konvensi.

Sayang, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang
belum meratifikasi konvensi ini dan belum memiliki undang-undang yang
mengatur dampak bahaya tembakau, sementara Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran tetap mengizinkan iklan rokok di media
elektronik dengan berbagai bentuknya.

Ketika kita semua tahu bahwa rokok ialah zat adiktif dan merupakan
salah satu pembunuh hak hidup anak, pemerintah tampaknya belum tegas
dalam melindungi anak dari bahaya tembakau. Padahal UU No 23/2002
tentang Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah wajib dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk yang
menjadi korban zat adiktif (Pasal 59). Pasal 89 Ayat 2 menegaskan,
"Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi alkohol
dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun…."

Bagaimana nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau yang konon
sudah disetujui 41 persen anggota DPR?

Badan POM mencatat 14.249 iklan rokok tersebar di media elektronik
(9.230), media luar ruangan (3.239), dan media cetak (1.780). Hingga
kini, tanpa kendala, iklan rokok terus mempromosikan bahan yang sarat
pelanggaran hak anak, baik hak hidup, hak tumbuh dan berkembang,
maupun hak untuk memperoleh perlindungan.

Kongres Anak Indonesia sebagai pemenuhan hak partisipasi anak tahun
lalu telah mendesak pemerintah untuk membatasi iklan rokok di media
massa sebagai bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak.

Akankah kita terus membiarkan tingkah pembunuh berwajah santun
berkeliaran di mana-mana menghiasi ruang-ruang publik kita? Lupakah
kita kepada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 2002 untuk menciptakan a world fit for children?

Tampaknya kita semua harus jujur untuk berani mengakui bahwa kita
belum siap untuk memenuhi hak anak, agar nantinya mereka bisa berkata,
"Tubuhku sehat, jiwaku kuat, siap menjadi pemimpin masa depan!"

Seto Mulyadi Ketua Komnas Perlindungan Anak 

Kirim email ke