Oleh Yudi Latif
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/24/opini/3712072.htm
==========================

Perlu diingatkan bahwa Indonesia pernah merana karena ekonomi liberal.
Dikobarkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan
liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih
kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda.

Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi",
kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal
swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan
usaha/perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan
infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat.

Penetrasi modal dalam kelembaman responsibilitas sosial negara
berakhir dengan pilu. Menjelang akhir abad itu, Hindia dirundung aneka
malapetaka: stagnasi ekonomi, kemerosotan kesejahteraan, kelaparan,
permukiman kumuh, dan memburuknya kesehatan penduduk.

Berbagai konsekuensi buruk dari perekonomian liberal ini menciptakan
iklim opini baru di Negeri Belanda. Partai-partai lebih mendukung
aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan
kesejahteraan, dengan menempatkan kesejahteraan Hindia sebagai fokus
perhatian.

Perubahan angin politik ini menguntungkan sayap konservatif. Partai
Kristen memenangi pemilu pada 1901 karena posisinya sebagai pembela
tanggung jawab moral. Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya di depan
Parlemen mengemukakan masalah "utang budi" dan tanggung jawab etis
kepada rakyat Hindia. Orientasi baru ini dikenal dengan "politik
etis", dengan tekanan pada pembangunan pendidikan, irigasi, dan
transmigrasi sebagai basis peningkatan kesejahteraan.

Neoliberalisme

Apakah gelombang kedua ekonomi liberal, yang beriak kembali bersama
kemunculan Mafia Berkeley awal Orde Baru dan menjadi badai
neoliberalisme sejak akhir 1990-an, akan menorehkan kisah yang sama?
Jika tidak segera dikoreksi, hal itu sangat mungkin terjadi.

Kebijakan neolib yang kian mencengkeram sejak krisis moneter
menempatkan negara sebagai hamba pasar, lembaga finansial, dan
korporat internasional. Hal ini sekali lagi terjadi ketika institusi
negara kesejahteraan yang melayani kemaslahatan umum begitu lemah.

Liberalisasi perdagangan menyesakkan konsumen dalam menghadapi
fluktuasi harga internasional. Sangat problematis, terutama menyangkut
produk-produk sembako. Harga gula, beras, dan minyak goreng bisa
melambung tinggi, sementara pengusaha domestik tertekan oleh produk impor.

Gejala deindustrialisasi juga merebak karena industri nasional tidak
mendapat insentif apa-apa dari pembukaan pasar dalam negeri yang
berlebihan. Saat yang sama, pencabutan aneka subsidi di sela-sela
malaise ekonomi membiakkan angka kemiskinan dan pengangguran,
memerosotkan kesejahteraan sosial, kualitas hidup, dan kesehatan
masyarakat.

Neoliberalisme mulai digugat di berbagai tempat. Iklim opini publik
mulai beralih ke populisme, kedaulatan ekonomi, dan penguatan
kapasitas negara. Dalam situasi ketika gerakan dan partai politik
berbasis kelas tak berdaya, perubahan mood politik ini bisa
menempatkan partai dan gerakan politik bercorak keagamaan, atau
setidaknya memberi perhatian pada masalah keagamaan, menjadi sandaran
perlawanan dan tanggung jawab etis.

Ada kekhawatiran, embusan angin politik ke "kanan" akan lebih
menguntungkan gerakan dan partai politik fundamentalis. Karena
minoritas "pemeluk teguh" yang terorganisasi rapi lebih mampu
memobilisasi sumber daya ketimbang mayoritas diam yang lembek dan abai.

Di bawah mantel fundamentalisme, dampak buruk dari perekonomian
liberal itu tidak akan diatasi tetapi sekadar dininabobokan oleh candu
simbolik.

Gerakan/partai fundamentalis tidak pernah menawarkan substansi dan
kedalaman, disibukkan oleh perumusan batas dan identitas.

Pendidikan

Diperlukan gerakan/partai politik bernuansa profetik yang menyuarakan
kembali substansi "politik etis": bahwa negara mempunyai "utang budi"
dan tanggung jawab etis kepada rakyat. Usaha pemulihan kesejahteraan
sosial mengandaikan penguatan negara dan pasar kesejahteraan dengan
memprioritaskan perhatian pada pendidikan, irigasi, dan transmigrasi.

Pendidikan merupakan prasyarat untuk mengatasi asimetri informasi yang
menjadi sumber ketidakadilan pasar. Seperti dikatakan Amartya Sen,
proses belajar akan memberi kesanggupan relatif rakyat untuk
mentransformasikan exchange ideas ke dalam penggunaan sumber daya dan
siklus ekonomi. Lewat kapasitas pertukaran ide, kelompok miskin
mempunyai collateral (daya jamin dalam masyarakat) dan kontribusi bagi
kemakmuran.

Irigasi berarti penyediaan infrastruktur dasar bagi pengembangan
sektor riil, khususnya sektor agraris sebagai sumber utama daya saing
bangsa. Negara bertanggung jawab untuk memberdayakan petani/nelayan,
sebagai unsur terbesar dari kekuatan produktif.

Esensi transmigrasi adalah kemudahan mobilitas penduduk demi akses
terhadap sumber-sumber kesejahteraan. Hal ini mengandaikan
redistribusi dan kelancaran lalu lintas kapital.

Penguasaan kapital oleh segelintir pihak di titik pusat menyulitkan
persebaran kapital sebagai kontainer mobilitas vertikal dan
horizontal. Sifat insular negeri kepulauan yang menyulitkan kontak
dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya.

Komunalisme

Dalam ketersendatan lalu lintas pergaulan, masyarakat terkungkung
dalam kepompong komunalisme. Pengikatan rasa kebangsaan dari ensambel
komunalisme ini sekadar bertumpu pada solidaritas emosional yang
tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa, dan budaya-keagamaan.

Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan
dan pemenuhan kesejahteraan bersama, fantasi kebertautan kebangsaan
itu mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih
ketidakadilan dan keterkucilan.

Inilah jalan etis yang harus ditempuh. Jika dalam situasi penjajahan,
politik etis melahirkan gerakan emansipasi yang menikam tuannya
sendiri, dalam situasi kemerdekaan, jalan ini mestinya mendorong
gerakan emansipasi ke luar (neokolonialisme) dan ke dalam
(ketidakadilan) demi pencapaian cita-cita proklamasi: merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Yudi Latif Pemikir Keagamaan dan Kenegaraan 

Kirim email ke