Di Indonesia, kita biasa dicecoki persepsi bahwa Amerika adalah biang porno. Tiada sedetik pun berlalu tanpa pornografi, tiada sejengkal pun melangkah tanpa bertemu pornografi. Pendeknya, hidup di sana dikelilingi pornografi.
Juni lalu, saya sempat ke sana untuk kedinasan. Itu adalah pengalaman pertama saya menginjak Amerika. Di pesawat, sudah terbayang "cuci mata" melihat yang "syur-syur". Sudah tak sabar rasanya memborong majalah adult dan xxx-movies di kaki lima. Tapi, impian itu jauh panggang dari api. Sepanjang jalan, saya tidak menemui satu pun pedagang yang menjual produk adult. Lho, kok Amerika jauh dari bayangan saya? Ketika saya bertanya pada rekan, dia terbahak. Dia bilang, jangan harap you bisa membeli produk adult di sembarang tempat, pedagangnya bisa terkena sanksi. "We are free but tight", katanya lebih lanjut. Produk adult memang legal, tapi distribusinya ketat, hanya di tempat tertentu dan untuk golongan umur tertentu. Dia juga mewanti saya untuk tidak membaca majalah adult atau membuka situs adult di ruang publik, bisa ruwet urusannya. Pendeknya, di sana hak individu untuk mengakses produk adult dijunjung tinggi, tapi nikmati di tempat privat, jangan di ruang publik. Saya memang hanya sebentar di sana, tapi itu sudah cukup untuk merubah imej saya tentang Amerika yang katanya biang porno. Amerika melegalkan produk adult, itu fakta, tapi disertai persyaratan ketat. Kepastian hukum amat terjaga. Sementara di sini, yang ada hanya ketidakpastian dan hipokrasi. Masih ingat wabah RUU APP? Mendadak saja majalah pria tanah air, yang sejatinya punya legalitas hukum, disweeping dan pengelola serta modelnya diperiksa. Sejumlah pedagang yang menjual majalah itu bahkan ditangkap layaknya kriminal. Benar-benar pameran hipokrasi! Saat ini, kita berpotensi membuka lubang semburan hipokrasi baru bernama RUU Film, walau insya Allah tidak akan seheboh RUU APP. Saya ingin bertanya, kalau ada kelompok tertentu yang terus berupaya menyedot energi publik pada hal "remeh", sampai kapan kita bisa bebas dari krisis ekonomi? Kalau ada kelompok tertentu sibuk mengecam televisi, komputer, videogame sebagai "guru besar" maksiat, apa mereka ingin manusia kembali ke jaman batu? Saya yakin, pemerintah tidak akan membuat RUU yang menghancurkan moral. Sebaliknya, RUU Film yang mengatur tayangan berdasar klasifikasi umur akan menjadi alat pendewasaan publik. Dan tak usah kuatir, kalau sensor dihapus, film Hollywood akan tampil vulgar di bioskop kita. Percayalah, publik Amerika jauh lebih ketat dalam hal ini. Untuk pornografi yang terjadi di ruang publik, mereka sangat tegas. Masih ingat derasnya kecaman publik sana terhadap Janet Jackson? Upaya menakuti rakyat dengan ucapan "kalau sensor dihapus akan menghancurkan moral bangsa" bagi saya sama saja dengan sistematika Orba menakuti rakyat bahwa "sipil belum siap memegang kepemimpinan nasional". Akibatnya selama 32 tahun kita tak pernah mengalami pendewasaan politik. Baru setelah Soeharto lengser, kita bisa belajar demokrasi dan ternyata kita mampu. Sipil dapat berprestasi, seperti Gus Dur yang mendorong pluralisme dan kebebasan pers, atau mBak Mega yang menstabilkan ekonomi. Adanya RUU Film insya Allah justru akan mendewasaan bangsa untuk lebih mampu menerima pluralisme dan tidak termakan jargon-jargon ekstrim transnasional. Selamat mengikuti Pilkada DKI. Inga..inga..keberagaman adalah fitrah.