Oleh Eko Bambang Subiyantoro
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/14/swara/4164615.htm
===================

Tanggal 6 Desember 2007 adalah hari yang patut dicatat dalam sejarah
politik dan gerakan perempuan di Indonesia. Pada tanggal itu disahkan
UU Partai Politik yang secara tegas memberi jaminan keterlibatan
perempuan 30 persen dalam proses politik.

Beberapa kemajuan mendasar UU Partai Politik yang baru disahkan itu,
pertama, pendirian partai politik (parpol) yang tertuang dalam Pasal 1
Ayat 2. Isinya menyatakan, pendirian dan pembentukan partai politik
menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.

Kedua, kepengurusan partai politik. Pasal 1 Ayat 5 menyatakan,
kepengurusan parpol di tingkat pusat disusun dengan menyertakan
sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan; Pasal 20 menyebut
kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun
dengan memerhatikan keterwakilan perempuan 30 persen yang diatur dalam
AD dan ART partai.

Ketiga, kaderisasi. Pasal 31 menyatakan, parpol melakukan pendidikan
politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawab dengan
memerhatikan keadilan dan kesetaraan jender.

Ketiga aspek tersebut merupakan terobosan besar dalam sejarah produk
perundang-undangan di Indonesia. Parpol berdasarkan UU Partai Politik
Tahun 2007 ini dituntut penuh komitmennya untuk ikut mendorong
tercapainya keadilan dan kesetaraan jender di Indonesia melalui
pelibatan perempuan dalam politik yang tertuang pada aspek pendirian,
kepengurusan, hingga pendidikan politik yang merupakan hulu proses
perjuangan politik perempuan.

Ketiga aspek dasar ini juga berarti terbukanya peluang luas bagi
perempuan terlibat dalam proses politik. Keterlibatan ini tidak hanya
berupa inisiatif dari perempuan, tetapi juga tindakan proaktif partai
politik mencari kader perempuan untuk duduk dalam struktur parpol,
dari pendirian hingga kepengurusan.

Feminisasi politik

Selama ini, demokrasi di Indonesia tak hanya mengedepankan aspek
sangat prosedural, tetapi juga sangat universal dalam memandang
masyarakat. Pengakuan demokrasi dilihat dari cara pandang dan
indikator sangat umum bahwa demokrasi sudah berlangsung ketika pemilu
dilaksanakan. Tetapi, apakah sejumlah kelompok masyarakat sudah
terakomodasi dalam proses pemilu seringkali tidak menjadi perhatian.
Inilah yang menjadikan demokrasi di Indonesia belum berhasil karena
tak melihat warga negaranya sebagai individu maupun kelompok yang
mempunyai perbedaan sosial.

Dalam kerangka itu, disahkannya UU Partai Politik ini juga menjadi
babak baru dalam konteks demokrasi di Indonesia, yaitu memandang
adanya entitas individu maupun kelompok dalam masyarakat, termasuk
perempuan.

Terobosan baru dalam UU Partai Politik merupakan langkah awal dari
proses feminisasi negara melalui parpol. Feminisasi politik ini
menjelaskan bagaimana proses politik akan lebih memerhatikan persoalan
mendasar yang dialami masyarakat, termasuk perempuan. Demokrasi tidak
lagi mengedepankan aspek prosedural, tetapi lebih mengedepankan aspek
yang lebih substansial dari persoalan masyarakat.

Bagi perempuan hal ini dapat ditunjukkan melalui lebih peduli pada
kesehatan, peningkatan pendidikan, penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, serta mendorong perempuan terlibat dalam proses politik dan
kehidupan publik.

Menjawab tantangan

Upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam politik selalu disertai
pertanyaan tentang kualitas perempuan yang akan berpolitik. Padahal,
tidak pernah ada pertanyaan akan kualitas laki-laki yang sebenarnya
sudah terbukti gagal membangun sistem politik demokratis yang
menyejahterakan rakyat.

Pertanyaan mengenai kualitas tidaklah tepat diajukan dalam kondisi di
mana keterlibatan aktif perempuan dalam politik saja masih sangat
rendah. Saat ini, perempuan bisa berpolitik saja sangat berat, apalagi
selalu dibenturkan pertanyaan seputar kualitas. Pertanyaan tentang
kualitas politik perempuan adalah pertanyaan yang keliru memahami
upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik.

Hambatan lain adalah alasan tidak adanya kader perempuan dalam parpol.
Kader perempuan memang menjadi masalah ketika parpol tidak melakukan
kaderisasi pada perempuan. Parpol hanya menjadikan perempuan sebagai
pemasok suara dalam pemilu, tetapi belum kader potensial parpol.

Oleh karena itu, hadirnya UU Partai Politik yang baru juga tantangan
berat bagi perempuan. Keengganan sejumlah pihak untuk meningkatkan
keterwakilan perempuan harus dijawab dengan kerja nyata, seperti
adanya perempuan yang akan masuk ke dunia politik. Ini bukan pekerjaan
mudah, tetapi jika lembaga swadaya masyarakat, partai politik,
pemerintah, ormas, dan media massa bekerja dengan bersinergi,
perubahan struktur politik dapat terjadi.

Eko Bambang Subiyantoro Pengelola Sekolah Demokrasi Indonesia, anggota
Pokja Perempuan



Kirim email ke