Jika ingin melihat bagaimana derita orang kita, warga Indonesia,
bertahan demi memperjuangkan hidupnya di Malaysia, cobalah berkunjung
ke Penjara Kluang di negara bagian Johor Bahru

Sebelumnya, beberapa kali berkunjung ke Johor -kota yang saya sukai
sebenarnya, karena tidak terlalu padat, udaranya segar dan
fasilitasnya cukuip  lengkap-, tidak banyak cerita seram  soal nasib
warga kita yang saya dapati, kecuali antrean panjang TKI mengurus
perpanjangan paspor tiap hari di Kantor Konjen RI.  Atau puluhan
orang, yang hampir tiap hari, terpaksa menyingkir ke Batam dan
Tanjungpinang karena  izin tinggalnya sudah habis.

Tapi, pada tanggal 2 Maret silam, saya berkunjung ke Penjara Kluang di
Johor Bahru. Penjara Kluang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari
jantung Kota Johor. Di negara bagian ini, menurut juru bicara Konjen
RI Didik Trimardjono, terdapat 580 ribu warga Indonesia mengadu nasib
di berbagai sektor. Paling banyak sebagai buruh kebun sawit dan
pembantu rumah tangga.

Oleh Pemerintah Malaysia, Penjara Kluang diklaim sebagai penjara
terbaik dan terlengkap di Asia.  Di penjara itu, ketika itu, mendekam
2.200 tahanan. Celakanya, sebanyak 1.042  orang di antaranya adalah
warga Indonesia, trmasuk tahanan wanita.  Mereka terjerat berbagai
kasus. Mulai dari masalah izin tinggal, masuk secara ilegal hingga
kriminal.

Di sana, kami diterima oleh Kepala Penjara Kluang (saya lupa namanya).
Di sebuah ruang rapat yang sejuk, pengelola penjara memutar rekaman
pelaksanaan hukuman cambuk bagi tanahan. Sebagian besar yang tampil
dalam rekaman itu adalah warga Indonesia.

Mereka dicambuk di bagian pantat. Jumlah cambukan didasarkan pada
kadar kesalahan. Paling sedikit empat kali. Ada tahanan yang (maaf)
pantatnya sampai bernanah karena dicambuk puluhan kali. Ada yang
berjalan tertatih-tatih karena tak kuat menahan sakit. Ada yang
menjerit, menangis terisak meredam sakit. Pengelola penjara melarang
merekam dan memotret rekaman itu.

Untuk kasus-kasus tertentu, setelah menjalani hukuman cambuk WNI
langsung dipulangkan ke Indonesia. Namun, menurut keterangan Konjen RI
di Johor dan pihak penjara, mayoritas mereka yang pernah dicambuk lalu
dideprtasi biasanya kembali ke Malaysia menoba merajut kehidupan baru.
Ini yang sangat saya kagumi dari semangat juang dan daya tahan TKI.
Karena tidak hanya hukuman pemerintah Malaysia yang harus mereka
hadang, tapi juga perlakuan kasar majikan.

Sepulang dari  Penjara Kluang, saya masuk ke barak penampungan TKI
yang bakal dideportasi, yang berada di belakang Kantor Konjen RI.  Di
sana, hari itu, ada sekitar 24 perempuan Indonesia. Satu di antaranya
bernama Darmini asal Malang. Darmini yang pernah bekerja di toko di
Johor, sudah 14 tahun tak digaji majikannya! Ada juga seorang TKW asal
Palembang (saya lupa namanya) empat tahun tak dapat upah.

Anehnya, tak ada pembelaan yang layak yang diberikan Pemrintah
Indonesia kepada warga kita yang dirundung masalah di Malaysia. Paling
banter, mereka hanya didata lalu dipulangkan. Padahal, pada
momen-momen tertentu, mereka para TKI itu (baik ilegal maupun legal)
kerap dielu-elukan dengan sebutan pahlawan.  Jangan-jangan cerita di
Johor bahwa petugas kita kerap disuap oleh pihak Malaysia, benar
adanya.

Sudah saatnya kita tegas kepada Malaysia. Menuntut warga Malaysia yang
memperlakukan TKI tidak manusiawi. Menuntut Pemerintah Malaysia minta
maaf secara terbuka atas tindakan tak manusiawi yang berlaku selama
ini kepada WNI.

Cuma, apakah Presiden Yudhoyono berani melakukannya? Kenapa kita mesti
takut kepada Malaysia?

-salam-

Kirim email ke