Budaya Kekerasan Telah Mengakar

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/14/utama/4165218.htm
=====================

Semarang, Kompas - Mendesain suatu kehidupan yang beragam tidaklah
dengan memperlawankan satu dengan lain dalam sikap yang
berhadap-hadapan. Strateginya, bagaimana mempertemukan titik-titik
kesamaan sebagai identitas kultural, memelihara serta membiarkan
perbedaan-perbedaan spesifikasinya sesuai dengan alam kehidupannya
sendiri.

Demikian dikatakan Prof Dr Mudjahirin Thohir MA pada pidato
pengukuhannya sebagai guru besar antropologi budaya Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, berjudul Kekerasan Sosial di
Indonesia, Suatu Pendekatan Sosial Budaya, Sabtu (12/1) di Semarang.

"Meskipun kita berbeda, tetapi tetap satu adalah sebuah keniscayaan
untuk dapat hidup dalam kemajemukan yang berarti. Dari sini, upaya
mempertemukan perbedaan yang berpotensi konflik diubah menjadi
berpotensi sinergi. Pola penyelesaian masalah secara damai dan berefek
pada produktivitas menjadikan acuan penyelesaian masalah bangsa
Indonesia ke depan," kata Mudjahirin.

Mudjahirin dikukuhkan bersama penyair dan seniman Prof Drs Darmanto
Jatman SU yang menjadi guru besar Fakultas Psikologi Undip. Pengukuhan
mereka dilakukan dalam rapat senat terbuka yang dipimpin Ketua Senat
Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med SpAnd, yang juga Rektor Undip.

Darmanto Jatman, yang sejak 12 Juni 2007 lumpuh akibat terkena stroke,
hadir menggunakan kursi roda. Darmanto didampingi istrinya, Sri
Mulyati, dan anak-anaknya.

Darmanto hanya menyampaikan pidato tertulis berjudul Ilmu Jiwa Pribumi
dan tidak dibacakan dalam rapat senat terbuka tersebut.

Pengukuhan kedua guru besar itu bertema "Multikulturisme dan Nyeni".
"Nyeni" karena dimeriahkan arak-arakan kesenian. Kesenian yang
ditampilkan mulai dari tradisi terbangan pondok pesantren, barongan,
kuda kepang, serta kesenian rakyat Papua dan Hindu Bali, yang
merupakan sumbangan para seniman yang didukung Dewan Kesenian Jawa Tengah.

Mengakar

Mudjahirin menguraikan, di balik kemegahan Candi Borobudur tersimpan
cerita kekerasan, intrik, ambisi, dan pengkhianatan di antara penguasa
Nusantara. Budaya kekerasan pun mengakar, berlanjut ke masa
kesultanan, penjajahan, dan semakin ganas di era Orde Baru sampai saat
ini.

Dalam sejarah Indonesia, konflik yang kemudian diselesaikan secara
kekerasan sudah ada sejak zaman Ken Arok di Singosari sampai dengan
Amangkurat I dan Amangkurat II di Mataram. Pada masa kolonial,
pemerintah kolonial melakukan sejumlah tindak kekerasan dengan
berbagai cara adu domba dan intrik. Mengadu domba para raja dan
keturunannya, antara kerabat kerajaan dan rakyat. Mengadu domba dengan
cara membuat pemilahan sosial warga bangsa, seperti bangsa Eropa,
warga Asia, dan pribumi.

"Kekerasan berlanjut di era Orde Lama melalui kekerasan skala besar
dengan bergolaknya PKI dan juga ketika menumpas G30S/PKI. Pada Orde
Baru, kekerasan berlanjut dengan mata rantai militerisasi dalam
hubungan sipil-militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI," katanya.

Mengenai kekerasan agama, menurut dia, timbul karena tiga hal.
Pertama, karena agama dibawa oleh negara dan penguasa untuk
menjustifikasi dan melegitimasi keputusan politik. Kedua, lembaga
agama memanfaatkan agama untuk mengembangkan sayap kekuasaan. Ketiga,
sejumlah individu menghentikan kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai
keburukan lain dengan kekerasan. (WHO)



Kirim email ke