Kalo di Jepang bunuh dirinya kebanyakan kerja
Di Indonesia bunuh dirinya kebanyakan makan mengandung gula sama 
ngerokok......

ANTON


--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "Rusdi Mathari" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Perusahaan Toyota yang kini menjadi pesaing General Motor di pasar 
> otomotif global, sering dipuji karena efisien dan fleksibel 
> menggunakan tenaga kerja. Namun Nyonya Uchino, punya pandangan 
yang 
> berbeda. Menurut dia, sangat banyak pekerja di Toyota yang tidak 
> mendapat uang lembur sehingga perusahaan itu meraup keuntungan.
> 
> Oleh Rusdi Mathari
> 
> HARA-KIRI adalah bunuh diri ala Jepang yang sudah dikenal luas 
oleh 
> banyak orang di dunia. Tindakan itu biasanya dipilih jika orang 
> Jepang merasa bersalah atau tak sanggup menanggung malu. Caranya 
> dengan menusuk sebilah pedang ke lambung lalu merobeknya secara 
> horisontal. Menjelang kekalahan dalam PD II, tentara Jepang 
terutama 
> para perwiranya banyak yang memilih melakukan hara-kiri daripada 
> harus menanggung kekalahan atau menyerah kepada tentara Amerika 
> Serikat.
> 
> Namun pelaku hara-kiri dewasa ini sudah jarang dijumpai di Jepang. 
> Sebagai gantinya muncul Karoshi alias  "bunuh diri" dalam bentuk 
> lain atau kematian yang diakibatkan oleh kerja yang berlebihan. 
> Berbeda dengan hara-kiri, ahli waris dari "pelaku" Karoshi bisa 
> mendapat santunan dari pemerintah dan perusahaan tempatnya 
bekerja. 
> Mereka, para ahli waris itu, bahkan bisa menerima ganti rugi US$ 
20 
> ribu per tahun dari pemerintah dan kadang-kadang ada perusahaan 
yang 
> sanggup membayar hingga US$ 1 juta. 
> 
> Mungkin karena adanya santunan ganti rugi itu,  sejak awal 1980-an 
> kasus kematian akibat Karoshi yang diklaim kepada pemerintah terus 
> meningkat sehingga sebagian terpaksa ditolak oleh pengadilan. Pada 
> 1988 klaim yang dibayar oleh pemerintah kepada ahli waris Karoshi 
> mencapai 4 persen. Angka itu kemudian meningkat menjadi 40 persen 
> pada 2005 (lihat "Jobs for life", The Economist, 19 Desember 2007).
> 
> Kini dikabarkan banyak perusahaan Jepang yang kewalahan oleh 
> Karoshi. Akhir November lalu, permohonan klaim  Karoshi dari 
> Kenichi, istri mendiang Uchino yang bekerja di Toyota dikabulkan 
> oleh Pengadilan Negeri Nagoya. Uchino ditemukan telah meninggal 
pada 
> pukul 4 pagi pada suatu hari  di tahun 2002 dalam usia 30 tahun. 
Dia 
> meninggalkan dua orang anak berusia tiga tahun dan satu tahun. 
Sejak 
> enam bulan sebelum tewas, Uchino telah menghabiskan lebih dari 80 
> jam untuk kerja lembur setiap bulan. "Satu hal yang membuatku 
> bahagia adalah ketika aku dapat tidur," kata Uchino kepada 
istrinya, 
> seminggu sebelum tewas.  
> 
> Sebagai manajer pengendali mutu, tanggung jawab Uchino memang 
tidak 
> kecil. Dia antara lain bertanggungjawab untuk memberikan pelatihan 
> kepada pekerja, menghadiri pertemuan-pertemuan dan menulis laporan 
> bagian produksi. Namun perusahaan Toyota memperlakukan semua waktu 
> secara fakultatif dan tidak ada uang lembur bagi karyawan yang 
> bekerja melampaui jam kantor. Kerja lembur yang dilakukan Uchino 
> karena itu dianggap sebagian bagian dari pekerjaan yang harus 
> dilakukannya. Hasilnya pada 14 Desember 2007, pemerintah 
memutuskan 
> untuk tidak melakukan banding terhadap keputusan Pengadilan Negeri 
> Nagoya.
> 
> Kasus "free overtime" di Jepang memang sebuah ironi. Para pekerja 
> dituntut untuk bekerja keras agar mendapatkan penilaian prestasi 
> kerja termasuk dengan bekerja di luar jam kantor tapi mereka sama 
> sekali tidak mendapatkan upah lembur. Hal  semacam itu, tentu saja 
> akan menimbulkan pertanyaan kepada perusahaan-perusahaan di 
Jepang: 
> berapa lama mereka akan bertahan dengan cara mereka? 
> 
> Seorang pejabat pemerintah menyebutkan, orang Jepang menghabiskan 
> waktu sekitar 1.780 jam dalam setahun untuk bekerja. Angka itu 
lebih 
> kecil bila dibandingkan dengan rata-rata jam kerja dari orang 
> Amerika yang mencapai 1.800 jam setahun namun di atas dari jumlah 
> rata-rata jam kerja orang Jerman (1.400). Tapi angka statistik 
> tersebut  bisa salah terutama  karena  tidak melibatkan jam lembur 
> yang tidak dibayar, yang banyak dilakukan oleh oleh pekerja 
Jepang. 
> 
> Diperkirakan, satu dari tiga pekerja laki-laki yang berusia 30-40 
> tahun telah menghabiskan waktu hingga 60 jam dalam seminggu. 
Separuh 
> dari jumlah pekerja itu, tidak mendapatkan uang lembur alias tidak 
> dibayar. Nasib pekerja pabrik lebih parah. Mereka datang ke tempat 
> kerja lebih awal dan pulang paling akhir. Juga tanpa upah tambahan 
> atau ganti rugi, termasuk ketika mereka harus mengikuti pelatihan 
> pada akhir pekan. 
> 
> Banyak perusahaan di Jepang selama 20 tahun terakhir telah 
> menerapkan sebuah sistem kerja baru dengan menempatkan pekerja 
paruh 
> waktu untuk menggantikan pekerja tetap. Atau para staf regular itu 
> tetap dipertahankan dengan kewajiban bekerja lembur sembari secara 
> perlahan  posisi mereka dibuat temporer. Faktor budaya menguatkan 
> kecenderungan ini: kerja keras merupakan perilaku yang terhormat 
di 
> Jepang dan pengorbanan untuk orang banyak dianggap lebih berharga 
> daripada pengorbanan untuk pribadi. 
> 
> Toyota yang menjadi pesaing General Motor di pasar otomotif 
global,  
> sering dipuji karena efisien dan fleksibel menggunakan tenaga  
> kerja. Namun Nyonya Uchino, punya pandangan yang berbeda. Menurut 
> dia, sudah sangat banyak pekerja di Toyota yang tidak mendapat 
uang 
> lembur sehingga perusahaan itu meraup keuntungan. 
> 
> "Aku berharap sebagian dari keuntungan itu dapat digunakan untuk 
> membantu karyawan  dan keluarga mereka. Hal itulah yang akan 
> menempatkan Toyota sebagai produsen otomotif terkemuka di dunia," 
> kata Kenichi. Toyota berjanji untuk mencegah karoshi di masa 
> mendatang.
> 
> *Artikel lain bisa dibaca di http://www.rusdimathari.wordpress.com
>


Reply via email to