http://korantempo.com/korantempo/2008/01/12/Opini/krn,20080112,46.id.html


Sabtu, 12 Januari 2008
        Opini        Solusi Masalah Ahmadiyah Indonesia                Djohan 
Effendi, CENDEKIAWAN
 
Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan lalu diberitakan akan mencoba merumuskan 
solusi yang tepat atas masalah jemaah Ahmadiyah Indonesia yang difatwakan sesat 
oleh Majelis Ulama Indonesia. Selain itu, kita membaca berita bahwa pakem 
Kejaksaan Agung RI akan menyelenggarakan rapat untuk membahas masalah ini. 
Tulisan ini dimaksudkan memberi masukan kepada pihak berwenang untuk menemukan 
solusi tersebut. 
 
Pertama-tama perlu kita catat bahwa jemaah Ahmadiyah Indonesia sudah hadir di 
bumi Nusantara ini sejak 82 tahun yang lalu. Mubalig Ahmadiyah pertama datang 
ke Indonesia pada 1925. Kedatangan mubalig itu didahului oleh kepergian 
beberapa pemuda Indonesia ke Qadyan, India, untuk meneruskan studi agama Islam. 
Merekalah yang mengundang agar dikirim mubalig Ahmadiyah ke Indonesia. Sejak 
awal kedatangannya telah timbul reaksi dari kalangan ulama Islam. Terjadi 
perdebatan dan polemik. Hal ini terjadi di Minangkabau dan Jakarta serta 
dilakukan dengan adu argumentasi. Tidak ada tuntutan pelarangan, tidak ada 
berita perusakan. Kedua belah pihak saling menghormati pendirian masing-masing.
 
Persoalan Ahmadiyah kembali menjadi hangat setelah Rabithah Alam Islami 
memfatwakan bahwa Ahmadiyah nonmuslim dan meminta negeri-negeri Islam melakukan 
tindakan terhadap Ahmadiyah. Karena itu, pemerintah Arab Saudi, misalnya, tidak 
memperkenankan penganut Ahmadiyah masuk ke Tanah Haram untuk melaksanakan 
ibadah haji atau umrah. Lembaga legislatif Republik Islam Pakistan menerbitkan 
amendemen konstitusi Pakistan dan menetapkan bahwa penganut paham Ahmadiyah 
minoritas nonmuslim. Pemerintah Pakistan tidak melarang organisasi Ahmadiyah 
bahkan, sesuai dengan konstitusi, menyediakan kursi dalam parlemen Pakistan 
selaku kelompok minoritas. 
 
Masalah yang timbul di Indonesia bukan pada fatwa sesat itu sendiri, karena 
fatwa semacam itu bukan hal baru, bahkan muncul sejak awal kehadiran jemaah 
tersebut di negeri kita. Fatwa sesat-menyesatkan adalah masalah yang terjadi di 
semua agama sejak mula. Semua paham keagamaan mengklaim bahwa paham 
keagamaannyalah yang benar dan yang lain salah, bahkan sesat. Sebab, kehadiran 
sebuah paham baru justru karena menganggap paham-paham keagamaan yang lain 
tidak benar. Tanyalah kepada teman-teman yang sekarang aktif menyebarkan apa 
yang mereka namakan paham salaf, apakah paham-paham selain mereka itu benar 
atau sesat? Pasti jawabannya hanya paham salaf yang mereka anutlah yang benar 
dan yang lain menyimpang dari ajaran yang benar. Muhammadiyah tidak akan muncul 
sekiranya mereka menganggap paham dan praktek keagamaan yang dianut dan 
dilakukan oleh kaum nahdliyin itu benar. Justru karena kalangan Muhammadiyah 
dan organisasi sealiran dengannya menganggap banyak praktek di kalangan
 nahdliyin yang merupakan bidah--setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan 
itu dalam neraka--mereka mengajarkan dan melakukan praktek keagamaan berbeda 
yang mereka anggap benar. 
 
Menganggap paham keagamaan orang lain sebagai sesat tidaklah menjadi masalah 
selama tidak memaksakan paham sendiri untuk dianut oleh orang lain dan 
sekaligus berusaha menafikan hak hidup paham keagamaan orang lain yang berbeda 
dengan paham keagamaannya sendiri. Problem yang berada di hadapan pemerintah 
kita sekarang adalah bagaimana menanggapi tuntutan beberapa kalangan agar 
melarang paham dan organisasi jemaah Ahmadiyah Indonesia karena telah 
difatwakan sesat oleh MUI. Saya rasa masalah ini harus dipikirkan dan 
dipertimbangkan semasak-masaknya.
 
Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara 
manusia dan institusi, yang dalam hal ini hubungan antara warga negara dan 
negara? Jelas sekali bahwa yang primer adalah manusia, sedangkan institusi 
hanya bersifat sekunder. Warga negara sebagai manusia tetap ada walau tanpa 
negara. Adapun negara tanpa warganya tidak akan ada. Negara dibentuk oleh 
manusia sebagai warganya untuk kepentingan mereka. Sebab, bagaimana mungkin 
sebuah negara menafikan hak sipil warganya tanpa alasan konstitusional sebagai 
kesepakatan bersama semua warga. 
 
Hubungan negara dengan warganya juga harus dilihat dari perspektif hubungan 
manusia dengan Tuhan Al-Khaliq. Bumi ini dianugerahkan Tuhan kepada umat 
manusia sebagai tempat kediaman mereka. Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri 
memberikan kebebasan kepada manusia untuk hidup di atas bumi-Nya tanpa 
pembatasan hanya bagi mereka yang beriman kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah 
negara atau aparat negara membatasi hak sipil warganya? Apalagi antara sesama 
warga negara. 
 
Menanggapi wacana pelarangan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, saya 
mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan, terutama oleh aparatur 
pemerintah. Pertama, kalau tindak pelarangan itu didasarkan atas fatwa sebuah 
lembaga keagamaan, di manakah tempat lembaga keagamaan itu dalam struktur 
kenegaraan Republik Indonesia? Apakah ia berada dalam struktur kenegaraan atau 
bahkan berada di atas struktur kenegaraan, sehingga setiap fatwa lembaga 
tersebut mengikat dan karena itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh negara 
dalam ini pemerintah RI?
 
Kedua, kalau sebuah paham keagamaan dilarang, apakah hak sipil para penganutnya 
sebagai warga negara RI hilang, terutama dalam kaitan kebebasan berkeyakinan? 
Kalau para penganut paham tersebut berkukuh tetap meyakini paham yang dilarang 
itu, apakah mereka akan dianggap sebagai pelaku tindak kriminal dan karena itu 
harus dikenai sanksi hukum pidana?
 
Ketiga, kebebasan beragama tegas-tegas dijamin oleh konstitusi. Begitu juga 
Piagam Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen pelengkapnya telah diratifikasi 
oleh negara kita. Dengan demikian, bukankah pelarangan dan kriminalisasi 
penganutan suatu paham keagamaan merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak 
asasi manusia? 
 
Mengingat hal-hal di atas, saya kira tak ada alternatif lain kecuali 
melaksanakan ketentuan yang ditegaskan dalam konstitusi dan karena itu tidaklah 
selayaknya negara ikut campur dalam fenomena sesat-menyesatkan kemudian 
mengambil tindakan melanggar konstitusi dengan mengurangi, apalagi menafikan, 
kebebasan berkeyakinan warga negara. Jaminan konstitusi atas kebebasan 
berkeyakinan adalah jaminan bagi warga negara untuk menganut keyakinannya, 
entah agama, entah paham keagamaan atau kepercayaan secara tulus tanpa paksaan 
dari siapa pun dan golongan apa pun. Apabila negara ikut campur atau memihak 
suatu kelompok dalam fenomena kontroversi pemahaman agama, rasa aman dan 
berkeyakinan akan terganggu. Penganutan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, 
betapapun anehnya paham tersebut, tidak boleh dikriminalisasikan selama tidak 
melanggar ketertiban masyarakat dan kesopanan umum. Berbeda atau menyimpang 
dari paham anutan mayoritas tidak bisa menjadi alasan pelarangan sebuah paham.
 Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya 
untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah negara bertindak 
melebihi Tuhan sendiri? 

Mohamad Guntur Romli
Jl Utan Kayu No 68H, Jakarta
[EMAIL PROTECTED]
http://guntur.name/
       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke