20 Tahun Reformasi: Derita Keluarga Aktivis yang HilangReporter:  Dinda Leo 
Listy (Kontributor)Editor:  AmirullahSelasa, 15 Mei 2018 09:07 WIB 
Wiji Thukul saat membacakan Puisi. Dok TEMPO/ Idon Heryatna

TEMPO.CO, Solo - Peringatan 20 tahun reformasi masih menyisakan pertanyaan yang 
belum terjawab soal keberadaan belasan aktivis prodemokrasi. Padahal, keluarga 
hanya ingin kejelasan soal nasib para aktivis tersebut.

"Bahkan sampai hari ini, nggak ada pengakuan siapa yang bawa Wiji Thukul pergi. 
Itu aja wis(permintaan saya), nggak usah bertele-tele. Aku nggak akan bales dia 
atau keluarganya," kata Sipon, istri Wiji Thukul, saat Tempo bertandang ke 
rumahnya di wilayah Kelurahan Jagalan, Jebres, Kota Surakarta, pada Selasa 
siang, 8 Mei 2018.

Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang hingga kini masih belum diketahui 
keberadaannya. Aktivis yang juga penyair itu hilang di awal 1998, menjelang 
jatuhnya rezim Orde Baru. Selain Wiji Thukul, aktivis lainnya yang masih hilang 
adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi 
Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, 
dan Abdun Nasser.

Baca: 20 Tahun Reformasi, Sumarsih: Sayur Asam Tak Sempat Dimakan Wawan

Menjelang jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, penculikan aktivis prodemokrasi 
dilakukan aparat militer, yakni Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus. Meski 
pada 1999 majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta telah menjatuhkan 
vonis penjara 12-22 bulan terhadap 11 anggota Tim Mawar, sebutan untuk tim 
eksekutor penculikan aktivis, inisiatornya hingga kini belum terungkap. Dan, 
informasi ihwal keberadaan Wiji Thukul beserta para aktivis 1998 lain sampai 
sekarang masih senyap.

Dalam kurun 2000-2011, Dyah Sajirah yang akrab dipanggil Sipon, turut aktif 
berjuang bersama para penyintas dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi 
Manusia berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 
berdasarkan hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM. 

Kepada sang inisiator atau pencetus ide penculikan para aktivis prodemokrasi 
1998, ibu dua anak dan nenek dari satu cucu itu hanya ingin menanyakan di mana 
keberadaan Wiji Thukul. "Kalau masih hidup, di mana tinggalnya. Kalau sudah 
meninggal, di mana kuburannya. Ada juga orang yang bilang Wiji Thukul sudah 
kaya raya dan punya istri banyak. Tapi saya tidak percaya kalau tidak melihat 
dengan mata kepala sendiri," kata Sipon.

Baca: 20 Tahun Reformasi, Cerita Yogya Plaza dan Korban Kerusuhan Mei

Bukan hanya memikirkan nasib Wiji Thukul, selama berjuang mencari keadilan di 
balik tragedi 1998, Sipon mengaku kepedihannya semakin bertambah setelah 
mengetahui penderitaan para orang tua yang kehilangan anaknya. "Mami Koto (Tuti 
Koto, ibu Yani Afri) dulu sampai bilang ke saya. Pon, saya matinya kapan. Saya 
sudah capek tidak ada kejelasan," kata Sipon.

"Lambat laun keluarga korban penculikan pada mati, seperti Mami Koto dan Bu Nur 
Hasanah (ibu Yadin Muhyidin). Aku melihat langsung penderitaan mereka, sudah 
nggak bisa lagi nahan sakit hatinya sampai mati," kata Sipon.

Setelah lelah dipingpong kesana kemari dalam upaya mencari kejelasan nasib Wiji 
Thukul, Sipon kini hanya berdoa meminta kekuatan untuk terus menanti itikad 
baik dari pemerintah, yakni untuk menunjukkan bukti-bukti jika benar suaminya 
dihilangkan secara paksa untuk membungkam suara kritisnya. 

"Kalau pemerintah beralasan tidak tahu, mungkin kami bisa legowo. Tapi ini ada 
pengungkapan dari Komnas HAM bahwa Wiji Thukul dihilangkan paksa. Saya ingat 
Usman Hamid dulu (sewaktu masih menjadi Ketua Harian KontraS) bilang pemerintah 
harus bertanggung jawab," kata Sipon.

Kirim email ke