AKU GAK PERNAH NGERTI ANTUM
Aku muslim seperti antum, imam di sebuah masjid kecil, salat berusaha 
berjamaah. Nyaman dan damai. Bagaimana aku harus mengiyakan antum yg berteriak, 
"Rezim sekarang anti Islam, doyan kriminalisasi ulama!" sementara kiayi dan 
guru-guruku bebas mengajar, bahkan rizki yang aku makan dari negara sebagai 
guru kitab Jurumiah yg dimodif sesuai kurikulum sekarang?
Aku guru ngaji, suka menulis, buku yang dibeli hak ciptanya oleh Pusat 
Kurikulum dengan harga lumayan tinggi judulnya Mengenal Dasar Ekonomi Syariah. 
Bagaimana aku mengiyakan antum yang berteriak, "Kurikulum di kita kurikulum 
thagut dan berporos ke Peking!"
Aku suka bengong ketika kalian berteriak, "Indonesia sedang darurat komunis.. 
Rezim kita banyak disusupi orang PKI, Indonesia mau dijual ke China!" Bagaimana 
aku mengiyakan teriakan antum dan dipaksa aku merasakan kegentingan ketika aku 
tak merasakan ketakutan apapun di kampungku yang damai. Jika pun komunis ada, 
keberadaan mereka itu laksana seekor nyamuk. Cenel. Kenapa kalian sikapinya 
sebegitu riweuh dan dibikin seolah genting mencekam? Tak perlu antum siapkan 
meriam untuk melenyapkan seekor nyamuk?Aku pernah ke China, bahkan memberi 
pengajian di sebuah taman di Nanjing untuk mahasiswa Indonesia. Murid-muridku 
banyak yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah sana, termasuk istriku. Kata 
siapa mereka dikekang menjalankan ibadah? Kenapa kalian hanya berteriak jelang 
pilpres tentang jutaan tenaga asing asal China yang padahal puluhan ribu 
dibanding ratusan ribu mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa pemerintah 
China? Mereka belajar sains dan bisnis. Bukan belajar komunis.
Saudaraku, sesakali keluarlah dari liqa dan halaqahmu. Aku kasihan antum 
menikmati Islam sebagai agama yang kaku, keras dan panas. Menatap diri sebagai 
yang paling benar dan menatap saudara tak sepaham denganmu sebagai orang sesat 
dan ahli bid'ah. Sesekali duduklah bersamaku, menikmati mekarnya bunga 
Wijayakusuma di pelataran masjid. Antum akan merasakan luwesnya Islam di 
kampungku, di sekitar kita. Dan kamu akan mengerti, kenapa aku tak pernah bisa 
mengiyakan teriakanmu dan provokasimu.
Saudaraku, Pilpres telah usai. Rakyat telah memilih pemimpinnya. Provokasimu 
ternyata tak berhasil. Pilpres itu berebut kuasa. Politik! Kenapa harus 
dilumuri oleh identitas agama, sih? Kecurangan terstruktur, sistematis, masif. 
5 tahun lalu kata-kata itu memekakkan telinga. Cukup, jangan dipekiki takbir 
untuk menyampaikan tudingan kecurangan. 

Munawar Abdurrohim

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke