Ahok Melawan: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
16 January 2017

http://indoprogress.com/2017/01/ahok-melawan-apa-yang-sebenarnya-terjadi/

 Bonnie Setiawan

 Harian IndoPROGRESS



Print PDF

PILKADA DKI Jakarta saat ini memperlihatkan gambaran yang paling baik dari 
pertentangan yang tak bisa didamaikan lagi antara para borjuis (mafia) rente di 
satu pihak melawan borjuis reformis (borjuis nasional) di pihak yang lain. Kini 
adalah saat-saat penentuan dari perseteruan mereka.

Tesis saya masih sama sampai sekarang, yaitu politik masa kini adalah 
pertentangan tak terelakkan antara kaum borjuis rente (kapitalis birokrat) 
dengan kaum borjuis nasional. Ini adalah pertentangan terakhir untuk menentukan 
siapa yang harus tunduk pada siapa. Kita tahu bahwa kaum kapitalis rente adalah 
anakronisme sejarah di dalam kapitalisme millennium abad 21 sekarang. Kenyataan 
adanya keberadaan mereka memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia masih 
menyimpan sisa-sisa feodal yang akut. Kapitalisme Indonesia masih menyisakan 
keberadaan kapitalisme primitif yang tak juga mau mati-mati dan ingin terus 
hidup.

Kita tahu bahwa kapitalisme rente bisa terus hidup dan berkembang karena 
hubungan sosial produksinya masih dikekang oleh keberadaan hubungan-hubungan 
produksi yang pra-kapitalis. Dalam konteks di Indonesia dapat dilihat dari 
masih rendahnya hubungan industri manufaktur dan masih dominannya hubungan 
produksi perkebunan dan ekstraktif (pertambangan). Akibatnya kelas-kelas yang 
dihasilkannya adalah juga kelas-kelas perkebunan dan ekstraktif, yang bukan 
merupakan borjuis industri. Eksploitasinya berasal dari nilai jual komoditas 
mentah, bukan dari nilai tambah industri.

Kelas-kelas borjuis perkebunan dan borjuis ekstraktif ini juga kebanyakan 
berasal dari hak-hak istimewa yang diberikan oleh Negara, bukan karena hak 
usaha kapitalis yang berasal dari mekanisme pasar. Kita masih sering dengar 
bahwa “ledakan besar” otonomi daerah di Indonesia menghasilkan Raja-raja kecil, 
baik yang dikenal sebagai dinasti politik ataupun dari kekuatan oligarki 
partai-partai politik. Itulah persis cerminan dari masih kuatnya kekuatan 
politik sisa-sisa feodal di Indonesia. Nama lain yang sekarang umum dipakai 
adalah kaum oligarkis.

Kaum oligarkis sisa feodal bertumbuh, dipelihara dan sangat kuat di masa Orde 
Baru. Jenderal Suharto sebagai “Raja Jawa”nya, atau Raja dari kekuasaan 
oligarki tersebut, atau Raja dari para kapitalis rente. Kapitalisme rente 
inilah yang tumbuh subur di masa Orde Baru. Terutama piramida paling atas 
dikuasai oleh Grup Cendana (keluarga Suharto) dan disekitarnya oleh kroni-kroni 
Suharto, yang dulu dikenal sebagai Grup Prasetya Mulya (para konglomerat 
keturunan Tionghoa). Pada masa reformasi, terjadi re-formasi kekuasaan, yaitu 
regenerasi dan reproduksi kaum bisnis baru, menggantikan generasi konglomerat 
lama. Para borjuis rente ini wataknya tidak berubah, yaitu masih bergantung 
pada Negara dan bergantung pada sektor-sektor ekonomi non-industri. Karenanya 
mudah saja dimengerti bahwa industrialisasi di Indonesia tidak pernah serius 
dijalankan, dan hanya menjadi pengekor saja dari industri Jepang, Taiwan, Korea 
dan sekarang Tiongkok.

Pada masa Orde Baru ini, “Raja Jawa” Suharto dengan keluarga dan kroninya 
sangat dominan. Bahkan diceritakan menguasai hingga 70 persen perekonomian 
nasional. Karena itu dapat dibayangkan, bahwa sulit sekali bagi pengusaha 
nasional yang berada di luar perkronian tersebut untuk bisa berkembang. 
Pengusaha nasional yang bersih dan jujur, atau disebut borjuasi nasional inilah 
yang tidak bisa bergerak dan terus-terusan dirugikan oleh praktek KKN yang 
melanda dan mewabah di semua sektor ekonomi dan bisnis. Borjuasi nasional yang 
terpinggirkan dan kelas menengah profesional inilah yang menjadi bagian utama 
dari gerakan reformasi 1998 dan setelahnya.

Ada beberapa faksi kapitalis rente di Indonesia selepas kekuasaan Suharto. 
Pertama, adalah konglomerat keturunan Tionghoa generasi kedua; kedua, borjuis 
rente pribumi kroni Suharto; ketiga, borjuis rente militer; dan keempat, 
borjuis nasional reformis. Hanya kaum borjuis nasional reformis yang kadang 
terikut sistem rente bukan karena kemauannya. Secara perlahan kelas borjuis 
nasional inilah yang bisa mulai merangkak naik setelah pasca Suharto, baik 
lewat otonomi daerah maupun lewat reformasi sistem birokrasi dan 
tata-pemerintahan.

Sementara itu di tengahnya adalah lautan borjuis kecil atau borjuis menengah, 
yang siap untuk sebuah sistem kapitalisme modern, sebuah reformasi atau 
pembaruan atas sistem kapitalisme rente yang tidak mungkin lagi dipertahankan. 
Dalam hal ini, kapitalisme rente dan kapitalisme modern sedang mengalami 
keretakan untuk akhirnya berhadapan satu sama lain, bertentangan satu sama lain 
tak terdamaikan. Dapat kita katakan, generasi baru borjuis nasional itulah yang 
sekarang direpresentasikan oleh Jokowi dan Ahok, disamping tokoh reformis lain 
yang ada di jajaran kabinet Jokowi, seperti Sri Mulyani (Menkeu), Susi 
Pujiastuti (Men.KKP), Ignasius Jonan (Men.ESDM) dan lainnya. Di level lain, 
adalah para bupati dan walikota generasi baru yang juga sangat reformis, 
seperti Jokowi dan Ahok sendiri, Ridwan Kamil (walikota Bandung), Tri 
Rismaharini (walikota Surabaya), Prof. Nurdin Abdullah (bupati Bantaeng) dan 
lainnya.

Karenanya pertentangan antara Ahok dengan para penentangnya saat ini, haruslah 
dibaca dalam konteks pertentangan kelas antara kaum borjuis reformis melawan 
para borjuis rente. Pertentangan ini merupakan pertentangan tingkat mikro di 
Jakarta, yang dengan jelas merepresentasikan pertentangan tingkat makro di 
Indonesia, antara Jokowi dengan para borjuis rente yang sudah meledak semenjak 
Pilpres 2014 yang lalu. Karena itu Jokowi-Ahok memang tidak bisa dipisahkan, 
karena mereka adalah simbol dari perjuangan kaum borjuis reformis dalam melawan 
“sekarang dan selamanya” (once and for all) kekuatan borjuis rente yang terus 
menerus menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Indonesia. Kini saatnya dan 
tidak ada waktu lainnya. “The battle of the century” antara borjuis hitam 
(mafia) lawan borjuis putih (modernis).

Musuh-musuh Ahok paling utama bisa dilihat sejak awal adalah dari kalangan 
borjuis birokrat di kalangan DPRD yang adalah para mafia anggaran. Mereka 
merupakan sub-mafia saja dari mafia yang lebih besar yang tentunya juga tinggal 
di Jakarta. Karena itu kita bisa lihat seru dan hiruk-pikuknya Pilkada Jakarta 
tahun 2012 ketika Jokowi menghadapi Foke, yang sebenarnya tidak banyak berbeda 
dengan Pilkada Jakarta sekarang. Musuh-musuh Jokowi dan Ahok masihlah sama, 
yaitu rezim oligarki rente Jakarta, yang sebenarnya representasi saja dari 
rezim oligarki rente nasional.

Saat ini tiga cagub dan cawagub Pilkada DKI Jakarta mencerminkan hal ini: 
Ahok-Djarot di satu pihak melawan dua kekuatan oligarki rente besar, yaitu dari 
Agus-Sylvi yang mewakili kekuatan SBY dan Anis-Sandi yang mewakili Prabowo. 
Jelas sekali pertentangan ini adalah kelanjutan dari pertentangan di Pilkada 
DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Dan kalau disimpulkan, maka ini adalah 
pertentangan mutakhir antara kaum borjuis nasional reformis melawan kaum 
borjuis rente oligarkis. Jelas sekali kan!

Mengapa yang mencuat ke permukaan adalah aliansi ormas (yang mengatasnamakan) 
Islam yang terkenal ke-premanannya? Tentu saja, sebagaimana 
pertentangan-pertentangan sebelumnya, ormas preman, apalagi dengan topeng 
agama, adalah alat paling ampuh dalam memobilisasi massa yang mudah sekali 
dibakar sentimen-sentimen SARA. Di lain pihak, kita bisa lihat juga peran 
kelompok militer, yang juga adalah kaum borjuis rente militer. Mereka adalah 
kaum rente juga yang telah menikmati hak-hak istimewanya selama ini dalam 
perkembangan kapitalisme rente/primitif Indonesia. Tidak heran kaum militer – 
Jenderal-jenderal terutamanya, adalah penikmat rente sejak Orde Baru hingga 
sekarang, yang juga tidak mau kehilangan kekayaan dan kenikmatannya. Sebenarnya 
dua kelompok inilah yang merupakan anjing penjaga utama dari kapitalisme 
primitif Indonesia. Kalau ormas preman agama akan selalu memakai sentimen agama 
melawan “kafir”, maka militer akan selalu memakai sentimen anti-komunis/PKI 
dalam melawan musuh-musuhnya. Ini resep sederhana yang dipakai terus-menerus 
oleh dua anjing penjaga oligarki Orde Baru.

Jadi bagaimana kita melihat fenomena peradilan sesat atas nama penistaan agama 
yang ditujukan kepada Ahok? Bagaimana kita melihat fenomena dimunculkannya 
terus-menerus bahaya komunisme/PKI, bahkan kepada presiden Jokowi sendiri? 
Mudah saja kan analisanya.

Kaum Oligarki Rente ini akan selalu memakai cara-cara demikian dalam melawan 
kaum reformis sejati. Reformasi total adalah bahaya paling nyata di mata mereka 
saat ini. Karenanya pertentangan saat ini akan menentukan jalannya sejarah 
Indonesia ke depan. Pertentangan paling mematikan dan paling berbahaya yang 
bisa terjadi terus menerus, semenjak Pilkada DKI Jakarta sekarang hingga nanti 
Pilpres 2019 kelak.***


  • [GELORA45] Ahok Melawan: ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke