https://tirto.id/aksi-damai-mahasiswa-papua-di-surabaya-dibalas-makian-amp-kekerasan-daPJ

<https://aurum.tirto.id/www/delivery/ck.php?n=a4c88c75&cb=a79b574b>*Aksi
Damai Mahasiswa Papua di Surabaya Dibalas Makian & Kekerasan*

[image: Massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi demo 1 desember
menuntut hak penentuan nasib sendiri di depan Gedung RRI, Jalan Pemuda
Surabaya pada Sabtu (1/12/2018) pagi. tirto.id/Tony Firman]
<https://tirto.id/aksi-damai-mahasiswa-papua-di-surabaya-dibalas-makian-amp-kekerasan-daPJ>Massa
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi demo 1 desember menuntut hak
penentuan nasib sendiri di depan Gedung RRI, Jalan Pemuda Surabaya pada
Sabtu (1/12/2018) pagi. tirto.id/Tony Firman

Oleh: Tony Firman - 2 Desember 2018

Dibaca Normal 3 menit

*Bagaimana orang asli Papua bisa simpati dengan Indonesia jika gabungan
Ormas mengintimidasi, melakukan kekerasan, dan menghujani makian?*

tirto.id - “Papua?”
“Merdeka!”

Pekikan itu terdengar berulangkali di depan Gedung RRI Jalan Pemuda,
Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (1/12/2018). Suara dari orator di atas mobil
komando itu, disahuti secara serentak oleh sekitar 150 orang demonstran
dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Para demonstran itu menggelar aksi rutin 1 Desember. Tujuannya untuk
memperingati 57 tahun kemerdekaan Papua dari penjajahan Belanda, pada tahun
1961.

Dalam orasinya, massa aksi AMP se-Jawa dan Bali itu, menyerukan hak
penentuan nasib sendiri bagi Papua untuk membentuk negara West Papua. Sebab
selama ini bagi mereka pemerintah Indonesia, tak pernah peduli dengan
pelanggaran HAM yang menjadikan orang asli Papua sebagai korban.

Baca juga:

   -

   Jokowi Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat di Papua
   
<https://tirto.id/jokowi-tak-serius-tuntaskan-pelanggaran-ham-berat-di-papua-cqyS>


Tanggal 1 Desember 1961 merupakan momentum bersejarah bagi mereka. Dalam
rilis yang mereka bagikan pada awak media, dijelaskan kemerdekaan Papua
telah dianeksasi oleh Indonesia hingga kini, melalui kebijakan Trikora.

Setelah Trikora, dalam kurun waktu 1961-1991 terjadi 44 kali operasi
militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke Papua. Dampaknya
lebih dari 500 ribu orang Papua mati dibunuh.

Proses pengintegrasian paksa Papua oleh Indonesia, melalui Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) yang dianggap dilakukan secara represif dan
bertentangan dengan hukum Internasional. Dari 800 ribu orang Papua, hanya
1025 orang saja yang dilibatkan.

Yohanes Giyai, 25 tahun, selaku biro organisasi pusat AMP mengatakan,
mereka memilih Kota Surabaya sebagai tempat penyampaian aspirasi karena
dalam tujuh bulan terakhir, mahasiswa Papua kerap direpresi aparat negara
dan Ormas di kota itu.

Bentuk represi itu, mulai dari pembubaran diskusi, pengintaian oleh aparat
keamanan, hingga pemasangan spanduk penentangan.

Depan Gedung RRI sebenarnya bukanlah titik akhir tujuan massa AMP. Mereka
awalnya akan berorasi di depan Gedung Grahadi, dekat Kantor Gubernur Jawa
Timur. Mereka ingin menyampaikan aspirasi lewat mimbar bebasi di pusat
pemerintahan provinsi tersebut.

[image: Infografik HL Indepth Papua]Namun aparat kepolisian gabungan
Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim, mengadang massa yang baru berjalan
sampai di depan Gedung RRI.

Massa AMP awalnya berkumpul di depan Monumen Kapal Selam sejak pukul enam
pagi. Sebab surat pemberitahuan aksi yang mereka layangkan ke kepolisian,
tertulis pukul 7 pagi.

Saat aksi dimulai, Veronica Koman, pengacara pendamping aksi AMP, mencoba
bernegosiasi dengan Kasad Binmas Polrestabes Surabaya Kompol Moh Fathoni.
Dia meminta agar massa aksi diizinkan mendekat ke Gedung Grahadi. Akan
tetapi permintaan itu tidak dikabulkan.


Akhirnya massa AMP tetap melanjutkan aksi dengan berorasi diselingi
yel-yel, nyanyian, musik dan tarian. Salah satunya lagu mereka, “Papua
Bukan Merah Putih” dinyanyikan bebarengan dengan lantang.

“Papua bukan merah putih, Papua bintang kejora, bintang kejora, baru-baru
kau bilang merah putih," nyanyi massa aksi dengan serempak dan berirama.
Dibalas Ujaran Kebencian & Tindak Kekerasan

Di sisi utara kerumunan massa AMP, sekitar pukul 07.00, segelintir anggota
Ormas berseragam berdatangan. Mereka dari Himpunan Putra Putri Keluarga
Angkatan Darat (Hipakad).

Salah seorang pria paruh baya anggota Hipakad, berkacak pinggang sambil
menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kelakuan massa AMP. Perlahan
jumlah anggota Hipakad yang datang bertambah. Suasana menjadi semakin
tegang.

Selain Hipakad, datang pula kelompok massa dari Forum Komunikasi
Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pemuda Pancasila (PP), hingga
Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Mereka tergabung dalam Ormas Bela
NKRI.

“Pengkhianat,” teriak salah satu anggota FKPPI sambil mengepalkan tangan ke
atas. Dia membalas orasi AMP.

Dari semua Ormas, jumlah anggota PP yang paling banyak. Ketua Lembaga
Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Pemuda Pancasila Surabaya, Rahmat
Amrulah mengaku mendatangkan 300 orang anggotanya.

Sekitar pukul 7.50, seorang pria berseragam PP, mendatangi barisan massa
aksi AMP menggunakan sepeda motor. Raut mukanya penuh amarah.

"Pengkhianat! Pengkhianat!" teriak anggota PP itu sambil menggeber-geber
motor dua taknya. Moncong knalpot motornya diarahkan ke barisan massa AMP.

"NKRI Harga Mati!" pekik rekan-rekan anggota PP itu.

Baca juga:

   -

   Penanganan Aksi Damai 1 Desember di Jakarta Makin Represif
   
<https://tirto.id/penanganan-aksi-damai-1-desember-di-jakarta-makin-represif-daPs>


Lewat pukul delapan, massa ormas PP dan FKPPI datang bertambah dari sisi
barat. Polisi dengan sigap membentuk barikade. Sebuah mobil water cannon
sudah disiagakan. Beberapa personel polisi bersiaga menenteng senjata
pelontar gas air mata.

Selanjutnya yang terjadi adalah kericuhan. Beberapa anggota Ormas bersikap
reaktif menanggapi orasi-orasi AMP. Mereka berulangkali berusaha mendekat
dan merusak ke barisan massa AMP.

"Mundur, mundur. Sabar, sabar jangan mudah terprovokasi," teriak salah satu
personil polisi pada anggota Ormas itu.

Puncaknya, beberapa anggota Ormas, melemparkan puluhan bongkahan batu ke
arah massa AMP. Sebagian ada yang memukulkan bambu ke barisan AMP.

Tindak kekerasan yang dilakukan anggota Ormas itu, mengakibatkan tiga
kepala anggota AMP bocor. Sebagian lainnya mengalami luka ringan akibat
pukulan tangan kosong dan bambu runcing.

Sekitar pukul 08.40, orator AMP mengakhiri aksi. "Terima kasih banyak
bapak-bapak Ormas dan kepolisian. Aksi kami hari ini sudah selesai. Kami
akan pulang ke Asrama [Mahasiswa Papua di] Kalasan," kata orator itu dari
atas mobil komando.

Polisi kemudian mengawal kepulangan massa AMP. Pembukaan jalan oleh polisi
sempat berjalan alot karena terhalang massa Ormas gabungan yang terus
bersikap intimidatif.

“Usir, usir, usir Papua, usir Papua sekarang juga,” seru kelompok Ormas
gabungan itu.

Saat massa AMP dalam perjalanan, orang-orang berseragam Ormas PP,
meneriakinya. "Gak bisa pulang, gak bisa pulang, Papua anjing. Papua
jancok!"
Tindakan Gabungan Ormas Melanggar Hukum

Ketua Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Pemuda Pancasila
Surabaya, Rahmat Amrulah mengakui anggotanya tak berhenti meluapkan amarah
pada massa aksi AMP.

"Karena materi aksinya jelas-jelas separatis. Menghina negara, menghina
ideologi Pancasila," kata Rahmat.

"Itu sebenarnya langsung bisa diringkus oleh kepolisian untuk diusut secara
hukum. Nah ternyata ada pembiaran," imbuhnya.

Veronica Koman, pendamping hukum massa aksi AMP, masih menimbang untuk
melaporkan tindak pidana kekerasan, intimidasi, dan ujaran kebencian yang
dilakukan gabungan Ormas itu untuk dibawa ke ranah hukum.

Veronica menilai, tindakan gabungan Ormas itu makin membuat orang asli
Papua tak simpati pada NKRI.

"Sebentar bilang NKRI sebentar bilang usir Papua. Jadi yang mana? Itu kan
dua hal yang berbeda. Jadi pendekatannya salah," ujar Veronica.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Surabaya, Fatkhul Khoir menegaskan, kekerasan yang dilakukan beberapa
anggota Ormas kepada massa AMP adalah tindakan melawan hukum.

"Kalau soal aksi tidak sepakat kan dia punya ruang untuk aksi tandingan.
Yang namanya kekerasan tidak dibenarkan," ujar Fatkhul saat dihubungi
reporter Tirto.

Kontras menilai, soal tudingan aksi AMP melanggar Undang-Undang atau tidak,
perlu diperdebatkan ulang dan tidak bisa semata langsung dicap separatis.

"Itu kan bagian dari upaya kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat
situasi yang mereka alami. Menurut saya tidak melanggar undang-undang,"
pungkasnya.


Baca juga artikel terkait DEMO 1 DESEMBER
<https://tirto.id/q/demo-1-desember-r6j?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Tony Firman
<https://tirto.id/author/tonyfirman?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>

(tirto.id - Sosial Budaya)

Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Dieqy Hasbi Widhana

Kirim email ke