-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5067989/arah-ketegangan-di-laut-china-selatan?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Arah Ketegangan di Laut China Selatan

Wim Tohari Daniealdi - detikNews

Kamis, 25 Jun 2020 16:30 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Ilustrasi peta-peta di Laut China Selatan. (Hobe/Holger Behr/Wikimedia Commons)
Foto: Hobe/Holger Behr/Wikimedia Commons
Jakarta -

Di tengah kesibukan masyarakat dunia memerangi pandemi Covid-19, ketegangan 
antara dua adidaya Amerika Serikat (AS) dan China justru meningkat ke eskalasi 
tertinggi sejak berakhirnya Perang Dingin. Setelah beberapa tahun terakhir 
kedua adidaya ini melakukan rally politik dan ekonomi, kini rivalitas antar 
keduanya mulai berkembang ke arah yang lebih mengkhawatirkan setelah AS 
melakukan gelar militer besar-besaran di Kawasan Samudera Pasifik, khususnya 
Laut China Selatan (LCS).

Presiden Institut Nasional Studi Laut China Selatan Wu Schicun mengatakan, 
pengerahan militer As secara besar-besaran di Kawasan Asia Pasifik belum pernah 
terjadi sebelumnya. Wu mengatakan, AS telah mengerahkan 375.000 tentara dan 60% 
dari kapal perangnya di Kawasan Indo-Pasifik. Tiga kapal induk AS telah dikirim 
di Kawasan Asia Pasifik saat ini. Dinamika ini membuat masyarakat dunia 
khawatir kalau-kalau eskalasi persaingan dua adidaya dunia itu bisa meningkat 
hingga ke level tertinggi atau perang terbuka.

Kekhawatiran tersebut terbilang wajar mengingat bahwa; pertama, Kawasan LCS 
adalah urat nadi terpenting perdagangan dan ekonomi dunia. Dan, tingkat 
ketergantungan negara-negara di dunia pada kedua Kawasan ini terbilang sangat 
tinggi. Terkhusus bagi sebagian besar negara-negara anggota ASEAN, LCS adalah 
degup jantung dan juga urat nadi kehidupannya. Hal yang sama juga berlaku bagi 
negara-negara di Kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan China.

Kedua, bagi AS dan China sendiri, dinamika yang terjadi di LCS sudah mulai 
menyentuh garis merah dari kepentingan nasional tertinggi mereka. Bagi AS, 
khususnya pemerintahan Donald Trump, ini sudah bukan waktunya untuk 
mengendurkan tekanan kepada China. Mengingat kontestasi pilpres akan segera 
diselenggarakan tidak lama lagi, sedang persaingan dagang tak kunjung 
menunjukkan adanya agregat keunggulan yang signifikan dari AS atas China.

Di tambah lagi, saat ini negeri Paman Sam itu sudah menempati posisi juara satu 
dunia baik dalam hal jumlah orang yang terpapar virus Covid-19,maupun jumlah 
korban meninggal dunia. Padahal, fasilitas Kesehatan di negeri tersebut adalah 
yang terbaik di planet ini. Fakta ini jelas menjadi preseden buruk bagi 
pemerintah Donald Trump yang sebentar lagi akan kembali melakukan kontestasi 
politik untuk periode keduanya. Sehingga wajar bila muncul dugaan bahwa yang 
mendorong aksi AS provokatif di LCS tidak lain adalah strategi pengalihan isu 
politik dalam negeri AS sendiri.

Sedangkan bagi China, LCS adalah garis merah yang pasti akan dipertahankan 
hidup dan mati. Menurut laporan Departemen Pertahanan AS, sekitar 84% suplai 
energi China melewati sepanjang jalur LCS pada 2012. Dan, angka ini terus 
meningkat seiring dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi China. 
Maka stabilitas keamanan dan keselamatan pelayaran di kawasan ini menjadi 
sesuatu yang tidak ternilai bagi China. Dengan demikian bisa dibayangkan muara 
dari eskalasi ini.

Perang Terbuka?

China tentu akan meladeni segala bentuk provokasi AS, meskipun itu harus sampai 
ke level perang terbuka. Tetapi, mungkinkah eskalasi ketegangan kedua negara 
adidaya ini memuncak hingga ke level perang terbuka? Menurut hemat saya, 
eskalasi konflik kedua adidaya dunia ini sulit untuk meningkat lebih tinggi. 
Ada beberapa alasannya.

Pertama, karena tingginya nilai strategis LCS bagi perekonomian dan perdagangan 
dunia, sehingga potensi ancaman sekecil apapun yang mengganggu kawasan ini akan 
secara otomatis menjadi urusan semua bangsa di dunia.

Kedua, tiap perang tentu membutuhkan dukungan atau partisipasi baik oleh public 
dalam negerinya, maupun dari negara lain. Hal ini agak sulit diraih oleh kedua 
negara (AS-China), terlebih saat ini setiap negara dengan berjuang melawan 
pandemi Covid-19.

Ketiga, ditinjau dari perspektif teoritis, dua kekuatan negara yang memiliki 
agregat setara kecil kemungkinan akan melakukan perang terbuka di antara 
mereka. Itu sebabnya muncul istilah balance of power dalam diskursus politik 
internasional. Paham ini meyakini bahwa keseimbangan kekuatan dunia akan 
mereduksi konflik terbuka dan pada akhirnya melahirkan perdamaian (Kenneth 
Waltz, 1979).

Keempat, masih ditinjau dari perspektif teoritis, bahwa negara demokrasi 
sebenarnya lebih sulit untuk memutuskan sebuah perang. Karena dalam demokrasi 
pernyataan perang harus lebih dulu dibicarakan di parlemen sehingga ada 
kemungkinan penolakan (Steve Chan, 1987). Dalam kerangka itu, tidak mudah bagi 
pemerintahan Donald Trump memutuskan untuk melakukan perang dengan China.

Jangankan berkonflik dengan China, ketika Trump secara brutal membunuh Jenderal 
Qasem Sulaimani pada 3 Januari 2020 lalu, kewenangannya atas angkatan 
bersenjata langsung dilucuti oleh parlemen. Hal ini tentu saja membuat 
kemungkinan pecahnya perang antara AS-China makin menipis.

Meski demikian, dinamika politik internasional tak ubahnya seperti dinamika 
politik dalam negeri. Banyak hal tak terduga yang bisa saja muncul dan mengubah 
semua skema permainan. Terkait hal itu, setiap negara tentu dituntut untuk 
melakukan persiapan dalam menghadapi kemungkinan terburuk. Terlebih 
negara-negara yang berbatasan langsung dengan Kawasan LCS, termasuk Indonesia.

Memang benar, bahwa agregat kekuatan yang sepadan dapat menghalau benturan 
langsung antardua kekuatan adidaya dunia. Namun konflik antar kedua kekuatan 
adidaya bisa bertransformasi dalam bentuk lain, seperti Perang Dingin yang 
menggunakan metode khas, yaitu perang perantara (war by proxy).

Jangan lupa, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indochina, pernah menjadi teater 
Perang Dingin paling kolosal dengan korban jiwa mencapai jutaan manusia. Dan, 
sebagaimana sejarah sudah menunjukkan, jenis perang ini tak kalah dahsyat daya 
rusaknya terhadap sistem kehidupan umat manusia. Dengan demikian, sangat 
penting bagi negara-negara ASEAN --termasuk Indonesia-- yang teritorinya 
berbatasan langsung dengan Kawasan LCS untuk segera membangun ketahanan 
diplomatik dengan cara mengalang kekuatan negara-negara Kawasan Asia Tenggara 
(ASEAN) dan mengambil sikap bersama dalam merespons situasi ketegangan yang 
terjadi.

Selain itu, Indonesia dan ASEAN perlu lebih keras mendorong terwujudnya 
ekosistem multilateralisme di level internasional. Hal ini terbilang urgen 
mengingat tindakan unilateral negara-negara adidaya ini kian marak terjadi dari 
waktu ke waktu.

Ironis

Sebenarnya cukup ironis menyaksikan polemik antara kedua negara adidaya ini, 
terlebih di tengah situasi global seperti sekarang. Sebab wajah ancaman yang 
kini kita hadapi sudah berbeda sama sekali. Musuh besar sebuah negara 
sebenarnya bukanlah negara lain, melainkan sesuatu yang melampaui dirinya 
(beyond state), seperti masalah perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, 
krisis energi, dan masalah pandemi yang kita hadapi sekarang.

Semua masalah di atas mengancam kehidupan semua bangsa tanpa pandang bulu, dan 
solusinya tidak mungkin ditanggulangi sendiri-sendiri oleh tiap bangsa. Tanpa 
semangat gotong royong, solidaritas, dan kerja sama multilateral, semua 
tantangan global itu akan sulit kita atasi.

Lagi pula, di hadapan bencana global yang sedang kita hadapi sekarang, senjata 
terbukti tidak berdaya. Ini jelas sebuah isyarat nyata bahwa konflik ataupun 
perang sudah selayaknya dimasukkan ke dalam museum sejarah peradaban manusia.

Wim Tohari Daniealdi staf pengajar di Jurusan Hubungan Internasional FISIP 
UNIKOM, Bandung

(mmu/mmu)
as-china di laut china selatan
ketegangan as-china di laut china selatan
ketegangan di laut china selatan







Reply via email to