Variasi pandangan dan argumen ttg BPJS dan PPH Pribadi. Salam.
I. : KSPI: Sri Mulyani Tak Bisa Seenaknya Naikkan Iuran BPJS 6/09/2019 | 20:26 Ekonomi Oleh: Suandri Ansah Indonesiainside.id, Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani tak bisa seenaknya menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Apalagi jika alasannya defisit keuangan. Merujuk Undang-Undang tentang BPJS, Presiden KSPI, Said Iqbal menjelaskan, defisit bisa dicarikan jalan keluar lewat dana kontijensi. Bukan menaikkan iuran yang membebani rakyat. “Jadi negara enggak bisa seenaknya saja, Menteri Keuangan mengumumkan naik 100%. Dia enggak punya hak, enggak ada otoritas apapun,” kata Said Iqbal saat diskusi di Kompleks Parlemen, Jumat (6/9). Selain itu, lanjut Iqbal, status perusahaan BPJS adalah badan hukum publik. Status ini berimplikasi bahwa pemerintah mengamanahkan BPJS untuk memberikan pelayanan masyarakat. “Badan hukum publik memerintahkan pemilik BPJS adalah rakyat, yaitu pengiur yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan penerima upah. Jadi bukan milik menteri atau presiden sekali pun,” katanya. “Karena itu BPJS bukan milik negara. Kalau mau naik iuran harus publik hearing. Di Jerman kalau mau naikin publik hearing. Dan pelaku utamanya presiden,” imbuhnya. Sri Mulyani mengatakan, kenaikan iuran diperlukan untuk menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan. Pada tahun ini, dia memperkirakan defisit akan membengkak hingga Rp32,8 triliun. Selain Sri Mulyani, DJSN juga menyarankan kenaikan dengan alasan sustainibilitas JKN pada 2021. Namun dengan asumsi pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit sampai akhir 2019. (*/Dry) II. : Alasan Sri Mulyani Revisi PPh Pribadi Menguntungkan Masyarakat 9/09/2019 | 22:37 Nasional Oleh: Eko P Indonesiainside.id, Jakarta – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati menyebut revisi Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi akan menguntungkan masyarakat ekonomi menengah. Alasannya, mereka bisa masuk golongan penghasilan lebih rendah jika ambang batas nominal gaji ditetapkan lebih tinggi. “Nanti kami lihat tapi semua aspek nanti kami akan perbaiki,” katanya di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan di Jakarta, Senin (9/9). Menurut Menkeu, pihaknya akan mencermati dari sejumlah aspek dalam menentukan besaran golongan penghasilan atau bracket yang akan direvisi tersebut. Aspek itu, lanjut dia terutama dengan mempertimbangkan penyesuaian berdasarkan tingkat inflasi. Selain itu, juga mencermati pendapatan menengah masyarakat saat ini dan distribusi pertumbuhan pendapatan rumah tangga di Indonesia. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan saat ini pengenaan tarif PPh Orang Pribadi belum diubah dengan tetap empat golongan penghasilan. Begitu juga terkait besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP), lanjut dia saat ini belum akan direvisi. “Tarif tidak kami ubah, bracketnya kan tetap empat,” tambahnya sembari menyebutkan penerapan revisi itu mencermati kesiapan waktunya. Sebelumnya, pemerintah akan merevisi terkait nominal penghasilan pada empat lapisan tarif kena pajak dalam pengenaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan saat ini ada empat lapis atau layer pengenaan tarif untuk PPh Orang Pribadi yakni golongan penghasilan sampai Rp50 juta per tahun dikenakan tarif lima persen. Lapis kedua yakni 15 persen untuk golongan penghasilan di atas Rp50 juta hingga Rp250 juta per tahun, lapis ketiga 15 persen untuk masyarakat berpenghasilan di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta. Kemudian lapis terakhir sebesar 30 persen untuk golongan penghasilan di atas Rp500 juta ke atas per tahun. “Saya pikir (aturan) ini sudah tidak relevan lagi. Bracket ini bisa kami ubah dengan PMK (Peraturan Menteri Keuangan), ” katanya dalam acara Ngobras beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan dalam revisi untuk tarif lima persen tidak diterapkan untuk penghasilan hingga Rp50 juta tapi kemungkinan pada golongan penghasilan Rp100 juta hingga Rp150 juta per tahun. Begitu juga dengan tarif 30 persen, lanjut dia kemungkinan bisa diterapkan untuk golongan penghasilan di atas Rp1 miliar per tahun.(EP/Ant) III. : Rizal Ramli: Kita Punya Menteri Keuangan Terbalik 10/09/2019 | 18:19 Nasional, HEADLINE Oleh: Muhajir Indonesiainside.id, Jakarta – Ekonom senior, Rizal Ramli, membeberkan dua hal yang bisa menciptakan kesejahteraan rakyat. Keduanya adalah menyejahterakan para petani dan membuat sistem jaminan sosial nasional yang memudahkan rakyat. “Mohon maaf, sampai detik ini, presiden yang benar-benar senang dengan pertanian baru Pak Harto. Setelah itu nyaris tidak ada, cuma pidatonya aja,” kata Rizal Ramli dalam peluncuran buku ‘Arah Baru Kebijakan Kesejahteraan Indonesia’ karya Fahri Hamzah di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (10/9). Kemudian, jika pemerintah benar-benar memiliki niat menyejahterakan rakyat, maka pemerintah seharusnya membentuk sistem jaminan sosial yang memudahkan. Meski saat ini sudah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tapi menurut Rizal masih menyimpan segudang masalah. Terutama dalam hal ini BPJS Kesehatan. Di tengah masalah kemiskinan yang belum bisa teratasi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat. “Karena dengan adanya sistem jaminan sosial nasional tingkat kesehatan rakyat bisa lebih baik,” kata dia. Menurut Rizal, pemerintah terlalu kanan, selalu berfikir bahwa kesehatan itu mahal. Padahal negara-negara di Eropa telah membuat sistem jaminan sosial pada tahun 1800-an, yang pada saat itu masih lebih miskin dari Indonesia. “Kita BPJS-nya masalah terus, tidak pernah diselesaikan. Apalagi, solusi dari menteri keuangan terbalik (Sri Mulyani), yaitu naikin iuran dua kali lipat. Kalau ga bayar ga boleh sekolah, ga boleh pake SIM,” ucapnya. Rizal mengatakan, pemerintah melalui Sri Mulyani telah mengeluarkan kebijakan yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat kecil. Bahkan, dia menyebutkan mengambil keputusan tidak dari hati. “Total kerugian dari menteri keuangan terbalik, 300 triliun ditambah bunganya. Untuk bisa bayar bunga itu, yang lain harus dipotong, anggaran ini mesti dipotong, orang jualan empek empek dipajakin,” kata dia. Dia menjelaskan, jika ingin menciptakan kesejahteraan, maka rakyat kebahagiaan rakyat kecil harus lebih diutamakan. Bahkan kalau perlu, semua layanan birokrasi digratiskan untuk mereka. Fenomena selama ini, orang kaya justru diberikan banyak kemudahan. Maka itu, dia menjuluki Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbalik. “Karena solusinya selama ini selalu terbalik, justru yang dibikin susah itu adalah rakyat bawah. Sementara yang besar diberi kemudahan,” kata dia. (EP)