Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?

Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan 
anak-anak di bawah umur, menunjukka...
 |

 |

 |



Lies MarcoesPemerhati isu gender dan radikalisme, Rumah Kita Bersama   
   - 14 Mei 2018
Hak atas fotoDAVIES SURYA/BBC
Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan 
anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. 
Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk 
menjadi pelaku, tulis Lies Marcoes.

"Saya yang menguatkan suami untuk berjihad dengan ikut ISIS di Suriah. Saya 
bilang 'jangan takut soal Umi dan anak-anak, rezeki Allah yang atur'. Saya 
bilang ke suami 'Izinkan Umi dan anak-anak mencium bau surga melalui Abi, 
semoga Abi selamat. Tapi kalau tidak, saya ikhlas, saya bersyukur karena dengan 
suami menjadi syahid, saya dan anak-anak akan terbawa ke surga".

Ditemui peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN 
Jakarta, dalam suatu rapat akbar organisasi di Jakarta Barat dua tahun lalu, 
perempuan separuh baya ini dengan sangat tenang menjelaskan cara berpikirnya 
tentang jihad dan pengorbanan perempuan.

Menurutnya lelaki kadang-kadang "kurang kuat iman" untuk ikut berjuang karena 
memikirkan urusan dunia. Urusan dunia dimaksud adalah perasaan berat 
meninggalkan istri dan anak-anak sementara ia mati sendirian di medan perang.
   
   - #LIVE Rangkaian serangan bom Surabaya: Empat polisi dan enam warga sipil 
terluka oleh bom di Polrestabes Surabaya
   - Serangan bom di tiga gereja Surabaya: Pelaku bom bunuh diri 'perempuan 
yang membawa dua anak'
   - Sel-sel JAD yang tertidur 'mulai bangkit' waspada aksi serupa bom Surabaya

Dalam testimoni di atas, perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. 
Tentu saja peran itu penting tetapi mereka sendiri belum atau tidak terlibat 
langsung dalam aksi kekerasan. Belakangan, seperti dalam kasus calon bom panci 
yang melibatkan perempuan Dian Yulia Novi, orang mulai menimbang peran 
perempuan dalam gerakan radikal teroris. Namun berbeda dengan yang baru saja 
terjadi di Surabaya (13/5 dan 14/5).

Jika kita hubungan testimoni di atas dengan peristiwa bom bunuh diri di 
Surabaya yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, 
melibatkan empat anak mereka, dua remaja lelaki, dan dua anak perempuan di 
bawah umur, kelihatannya telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga 
dalam aksi teror.

Jika sebelumnya, sebagaimana tergambar dalam percakapan awal di atas, perempuan 
hanya menjadi pihak pendorong, sementara dalam kasus Dian Yilia ia menjadi 
pelaku aktif namun sedirian dan keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan 
bom, dalam kasus terakhir perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin 
memanipulasi anak-anak mereka untuk menjadi bagian dari serangan maut itu.
Hak atas fotoANTARA/MAULANA SURYAImage captionWarga menyalakan lilin dan berdoa 
bersama untuk korban bom gereja di Surabaya dalam aksi solidaritas di Solo, 
Jawa Tengah, Minggu (13/5).
Kita bisa saja membuat hipotesa, prakarsa melancarkan aksi bom bunuh diri ini 
kemungkinan datang dari sang suami, Dita Oepriarto mengingat ia adalah salah 
satu tokoh organisasi Jemaah Anshorut Daulah (JAD). Namun jika sang istri 
keberatan atau menolak pandangan dan prakarsa suaminya, ceritanya niscaya akan 
berbeda.

Atas peristiwa itu, menghitung peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan 
radikal tak bisa lagi diabaikan. Dalam pendekatan keamanan, peran itu telah 
dikenali namun sering dianggap kecil, dibandingkan dengan perhatian kepada 
peran lelaki sebagai pelaku teror. Kajian yang telah melihat keterlibatan 
perempuan dalam kelompok radikal nampaknya harus menjadi referensi utama.
   
   - Satu keluarga di balik bom Surabaya: Kapolri minta Presiden terbitkan 
Perpu antiterorisme
   - Serangan bom gereja Surabaya: Presiden Jokowi sebut 'sungguh biadab'
   - Tokoh agama dan ormas masyarakat mengutuk serangan bom tiga gereja di 
Surabaya

Dalam tulisan saya diĀ Indonesia at MelborneĀ (26 November 2015) "Why do women 
join radical groups" saya menjelaskan tesis keterlibatan perempuan dalam 
kelompok teroris.

Pertama, perempuan adalah kelompok yang pada dasarnya memiliki keinginan, untuk 
tidak dikatakan punya agenda, untuk ikut terlibat dalam apa yang diyakini 
sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran kepada Allah. Ini berkat 
kegiatan mereka seagai peserta aktif pengajian-pengajian di kelompok-kelompok 
radikal itu. Mereka menjadi 'penerjemah' langsung dari konsep jihad dalam teori 
dan diubah menjadi praktik.

Namun dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana 
'jihad qital'/jihad kabir (maju ke medan tempur- jihad besar) hanya pantas 
dilakukan oleh lelaki karena watak peperangan yang dianggap hanya cocok untuk 
dunia lelaki. Dengan dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong 
dan penguat iman suami.
Hak atas fotoIVAN DAMANIK / GETTY IMAGES
Kedua, dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil 
dan jihad besar.

Jihad besar merupakan pucak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke 
medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir. Namun, karena terdapat pemilahan 
peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan 
tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami 
atau anak lelaki maju ke medan tempur.

Jihad kecil lainnya adalah mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama anak 
lelaki- jundi- yang kelak siap menjadi jundullah -tentara Tuhan. Dalam 
percakapan antar mereka, memiliki jundi merupakan sebuah kebanggaan, "sudah 
berapa jundi ukhti"- sudah berapa calon tentara Tuhan yang kamu miliki"?

Ketiga, sebagaimana umumnya dalam organisasi keagamaan, secara umum peran 
perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. 
Namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat 
menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga.

Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali 
keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal 
kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad 
menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apatah lagi untuk ikut 
berjihad.
   
   - Bangkitnya sel tidur teroris: Empat hal tentang kerusuhan di Mako Brimob
   - Kerusuhan teroris di Mako Brimob: Perlukah hukuman mati?
   - Para tahanan teroris di Mako Brimob dipindahkan, Presiden Jokowi: "Negara 
tidak pernah takut"

Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad 
tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya 
agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.

Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari 
keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk 
bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau 
menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu.

Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sediri untuk melakukannya di negara 
mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan 
pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. 
Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai sebagai perempuan alim, malah sebaliknya 
ia dianggap perempuan "bebas". Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan 
seseorang yag mengajaknya bertaubat dan 'berhijrah,' ia kemudian dikenali jadi 
sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan 
baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri.

Hasna diajak seseorang namun ia tak mengajak siapa-siapa. Namun, lihatlah apa 
yang terjadi kepada sebuah keluarga Indonesia, seorang suami, istri, termasuk 
balita, bayi dan seorang perempuan hamil, menyelinap keluar dari kelompok tur 
mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015.

Pakar terorisme Indonesia Sidney Jones mengatakan bahwa penelitiannya telah 
mengidentifikasi sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 
tahun berada di Suriah, sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad 
sebagian lain memang berkesadaran penuh menjadi bagian dari ISIS.
Hak atas fotoIVAN DAMANIK / GETTY IMAGES
Dari fenomena bom Surabaya, agaknya, analisis soal keterlibatan perempuan dalam 
gerakan radikal tak bisa lagi dilihat sekedar catatan kaki. Terlebih karena 
keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam 
kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran 
tradisonalanya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk 
melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.

Perhatian kepada perempuanm tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pedamping 
dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. 
Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya 
belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia 
manipulasi dalam suatu keyakinan.

Artikel-artikel semacam ini akan hadir berkala di BBC Indonesia, karya berbagai 
penulis, mencakup beragam tema. Tulisan-tulisan itu merupakan pandangan pribadi 
penulis sepenuhnya.




Kirim email ke