-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/read/detail/280399-buruh-tolak-skema-upah-per-jam

Senin 30 Desember 2019, 01:00 WIB
Buruh Tolak Skema Upah Per Jam
Hilda Julaika | Ekonomi
 

Buruh Tolak Skema Upah Per Jam

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Presiden KSPI Said Iqbal (tengah) berorasi saat aksi unjuk rasa buruh di depan 
Kementerian Tenaga Kerja, Jakarta.
 

KELOMPOK buruh menyampaikan penolakan atas sistem upah per jam sebagaimana 
tercantum di dalam RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal  berharap 
aturan tentang itu segera dicoret pemerintah sebelum RUU itu diajukan ke DPR 
yang rencananya akan dilakukan pada Januari 2020.

“Aturan tentang itu akan semakin melemahkan pekerja atau buruh. Kita meminta 
pemerintah dan DPR tidak membuat klaster Ketenagakerjaan. Di RUU Omnibus Law 
itu, dari 11 klaster, ada pasal-pasal yang menguntungkan. Namun, untuk 
ketenagakerjaan, kami minta dihapus karena pasal-pasalnya merugikan buruh,” 
terang Said di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan RUU itu dibuat 
untuk mempertemukan kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Jalan tengah dari 
dua kepentingan itu salah satunya ialah dengan membuat skema upah berdasarkan 
jam kerja.

Berbeda dengan skema gaji tetap yang saat ini berjalan, skema penggajian 
berdasarkan jam kerja akan membuat upah tiap pekerja akan bervariasi karena 
didasarkan pada jumlah jam kerjanya.

Namun, menurut Said, skema usul­an pemerintah itu akan membuat pekerja 
berpotensi tidak mencapai upah minimum provinsi (UMP).

Perubahan skema itu juga dikhawatirkan menutup kewajiban pengusaha  memenuhi 
kewajiban BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Apalagi, masih banyak perusahaan yang tak mendaftarkan pekerjanya pada kedua 
jaminan sosial itu dan menanggungnya dalam gaji yang diberikan,” ucap Said.

Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Jamkes Watch Iswan Abdullah 
menyampaikan klausul soal upah itu akan menciptakan kemiskinan absolut. Dalam 
hitungannya, akan ada sekitar 55,2 juta pekerja formal yang terancam 
mendapatkan upah di bawah upah minimum provinsi.

Selain sistem upah, pihaknya juga menolak klausul perubahan sistem pesangon. 
Dalam RUU itu tertera kebijakan uang saku selama enam bulan bagi pekerja yang 
terkena PHK.

Menurut Said, klausul itu justru merugikan pekerja karena nilainya berkurang 
dari sebelumnya, yakni sembilan bulan, sebagaimana diatur oleh Pasal 156 UU No 
13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Artinya terjadi pengurangan. Di UU No 13/2003, buat kita yang sudah bermasa 
kerja delapan tahun ke atas dapat pesangon sembilan bulan. Kalau dia mau 
disamaratakan jadi enam bulan, berarti tinggal sepertiganya saja, dong,” ujar 
Said.

Turun ke jalan

Klausul terakhir yang juga digugat oleh kelompok buruh ialah aturan yang 
memudahkan masuknya tenaga kerja asing (TKA). Said menilai aturan yang 
menghapus batasan skilled labour bagi TKA akan merugikan pekerja lokal.

Terkait dengan itu, Said mengatakan pihaknya akan turun ke jalan pada 16 
Januari nanti untuk menyuarakan suara para buruh. “Kita akan ada demo seluruh 
Indonesia, akan ada sekitar seratusan ribu pendemo yang akan turun,” tegas 
Said. (E-2)





Kirim email ke