Ir.  KPH.  Bagas Pujilaksono Widyakanigara,  M. Sc.,  Lic.Eng., Ph. D.
UNIVERSITAS GAJAH MADA.

Kepada Yth,
Presiden
Republik Indonesia
Di Jakarta

Hal : *Radikalisme di Kampus.*

Dengan hormat,
Saya sangat mendukung rencana Pemerintah :
Rektor PTN ditunjuk, dilantik dan dipecat oleh Presiden.
Sebelum saya membahas hal ini lebih detail, maka saya mengusulkan hal-hal
sebagai berikut :
*1*. Pecat Rektor-Rektor sontoloyo yang membiarkan kampusnya jadi sarang
HTI dan kelompok radikal lainnya yang jelas-jelas anti Pancasila dan NKRI
yang berbhinneka.
*2*. Pecat Dosen dan karyawan yang terlibat politik radikal di kampus.
*3*. Fasilitas dan keuangan kampus hanya untuk kegiatan akademik, bukan
untuk kegiatan politisasi agama.
*4*. Investigasi dan audit rumah-rumah ibadah di kampus,  apakah sudah
berfungsi sebagaimana peruntukannya atau justru jadi sarang radikalis dalam
menyebar kebencian.

Mohon diingat kembali, saya pernah kirim surat terbuka ke bapak Presiden
pada bulan Mei 2017 ttg radikalisme di Sekolah dan Kampus.
Surat terbuka itu viral luar biasa bahkan hingga dua kali.

Politik ekstrim :
bisa kiri atau kanan,  hanyalah wujud aksi yang menerpa perguruan tinggi.
Kita, Bangsa Indonesia pernah mengalami keduanya.

Kalau saya yang melihat, menguatnya politik ekstrim kanan di perguruan
tinggi saat ini, penyebab utamanya adalah Rektor.
Rektor cenderung leda-lede, mbanci, dan tidak jelas pijakan politiknya.
Sehingga radikalisme tumbuh subur di dalam kampus berlindung kebebasan dan
demokrasi.
Aneh bukan ?  Kelompok anti kebebasan dan demokrasi, justru saat ini
memanfaatkan kebebasan dan demokrasi untuk menghancurkan demokrasi dan
kebebasan itu sendiri.

Politik radikal di Kampus jelas bertentangan dengan ruh Perguruan Tinggi
yaitu Rasionality and Freedom.

Selain sontoloyo itu sifat pribadi, Rektor bisa berperikaku sontoloyo
disebabkan karena sistemnya.
Perilaku ini terus turun ke level Dekan dak Kadep.
Rektor tidak punya nyali ke Dekan dan Kadep karena memang keduanya bukan
ditunjuk oleh Rektor.
Padahal keduanya kepanjangan tangan Rektor di tingkat Fakultas dan
Departemen.
Ironis bukan ?
Dan hal ini berimplikasi luas,  bukan hanya untuk kasus radikalisme,  namun
juga kejahatan akademik lainnya.
Bagaimana Rektor bisa tidak berkutik ada dosen yang menjadi professor dari
karya tulis jiplakan ?
Bahkan kesannya Rektor nutup-nutupi untuk kasus-kasus kejahatan akademik.
Pemilihan Rektor lewat MWA adalah suatu kesalahan, karena MWA hanya jadi
sarang radikalis.
Bubarkan MWA !
Rektor sebagai kepanjangan tangan Presiden harus steril dari kegenitan MWA
dan Senat Akademik.
Belum ada Rektor yang credible dari hasil seleksi di MWA.  Bubarkan MWA !

Penyetaraan jabatan Rektor dengan jabatan di sistem Birokrat adalah
kesalahan fatal yang berakibat banyaknya pesyaratan2 non teknis yang harus
dipenuhi saat pemilihan Rektor,  dimana sebenarnya semua itu tidak
konvergen pada perilaku ideal seorang Rektor yaitu akademis,  arif namun
berani tegas bukan leda-lede.  Perguruan Tinggi bukan Kementerian yang
pengelolaannya jelas berbeda.

Kehidupan akademis di kampus saat ini sudah tidak akademis lagi, karena
banyak dimanipulasi untuk kepentingan politik radikal.
Kebebasan akademik diperkosa dijadikan modus menyingkirkan orang yang jelas
amat sangat militan berideologi Pancasila. Ironis bukan ?

Wajar kalau perguruan tinggi di Indonesia tidak berkembang dan ketinggalan
jauh dibandingkan Negara lain.

Saya secara pribadi memohon, agar perguruan tinggi di Indonesia segera
dibenahi dari sisi manajemennya dan kualitas SDM.

Jangan sampai Perguruan Tinggi sebagai tulang punggung negara dalam
menggapai kemajuan, justru menjadi titik lemah yang menghancurkan
sendi-sendi kebhinnekaan Indonesia dan tegaknya Pancasila dalam hidup
berbangsa dan bernegara.

Terimakasih.

Viralkan !!

Yogyakarta, 2019-06-16
Hormat saya,
(BP. Widyakanigara).

Kirim email ke