-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2038-demi-eksistensi-pancasila Kamis 18 Juni 2020, 05:00 WIB Demi Eksistensi Pancasila Administrator | Editorial KONTROVERSI yang dipantik oleh Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) usulan DPR akhirnya untuk sementara ini berakhir. Pemerintah memutuskan menunda pembahasannya. Presiden Joko Widodo pun tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) untuk pembahasan RUU tersebut. Tegas kita katakan, ini sebuah keputusan tepat, juga cepat. Tepat dari sisi momentum, urgensi, maupun substansi. Secara momentum, jelas, ketika bangsa ini masih berjuang bersama melawan pandemi covid-19, tak elok bila DPR memaksakan pembahasan sebuah RUU yang nyata-nyata mendapat banyak penolakan dari arus besar masyarakat. Negara tengah fokus menangani covid-19 dengan segala dampaknya yang bisa saja membuat bangsa ini berada di bibir jurang resesi. Pemerintah sedang berusaha meng- gerakkan lagi produktivitas ekonomi meski kita masih dibayangi pandemi. Dalam kondisi itu, alangkah baiknya tidak ada pihak yang justru berusaha membuat langkah- langkah politik yang tak produktif dan hanya membuat gaduh. Artinya, RUU HIP juga tak kuat dari sisi urgensi. Apakah patut kita membahas RUU tentang ideologi di tengah situasi sebagian rakyat kita yang berjibaku menaklukkan covid-19 dalam seragam tenaga kesehatan, di tengah banyak rakyat yang jatuh miskin, kehilangan pekerjaan serta penghasilan akibat pandemi? Pancasila ialah hal penting, itu tak perlu dibantah. Akan tetapi, apakah membahas RUU HIP dalam situasi seperti ini otomatis juga menjadi penting? Tak adakah empati sehingga sesuatu yang tidak mendesak dan tidak penting itu ingin dipaksakan menjadi prioritas ketimbang penanganan pandemi? Persoalan ketiga ialah substansi RUU HIP yang mau tidak mau akan membuat kita gemas sekaligus geram menyaksikan kegenitan DPR yang menginisiasi RUU tersebut. Setidaknya ada dua persoalan substansial, yakni terkait tidak dicantumkannya konsideran Tap MPRS tentang pelarangan komunis, dan Pancasila yang diperas menjadi trisila, bahkan ekasila. Dua inilah yang menjadi pemantik kehebohan, menimbulkan banjir kritik dan pro-kontra di masyarakat. Taruhannya sangat besar bila pro-kontra soal RUU HIP itu dibiarkan tanpa terkendali. Ada potensi pertentangan ideologis yang amat mungkin malah akan membawa bangsa ini mundur, dan butuh energi sangat besar untuk mengembalikannya. Soal ‘pemerasan’ Pancasila menjadi trisila dan kemudian ekasila, misalnya, justru amat kontradiktif dengan kesepakatan bangsa ini bahwa Pancasila ialah ideologi final. Dalam bahasa Majelis Ulama Indonesia (MUI), salah satu penolak keras RUU HIP, tafsir baru dalam bentuk RUU HIP itu justru akan mendegradasi eksistensi Pancasila. Tak mengherankan bila RUU HIP dianggap sebagai upaya memonopoli tafsir Pancasila oleh segelintir kelompok Penundaan pembahasan RUU HIP mungkin keputusan terbaik untuk saat ini. Namun, sepatutnya tak cukup berhenti di situ. Ada dua jalan keluar yang bisa dipilih. Yang ekstrem, setop, cabut, dan lupakan RUU HIP. Biarkan Pancasila dengan tafsirnya saat ini. Toh yang menjadi persoalan saat ini ialah lemahnya implementasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat, mestikah itu diatur di RUU HIP? Bila tak mau cara ekstrem, artinya DPR ingin meneruskan pembahasan setelah pandemi usai, penundaan saat ini mesti dimanfaatkan betul oleh wakil rakyat untuk betul-betul mendengar dan menyerap suara publik. Kalau sudah ditunda, tetapi kemudian draf yang diajukan lagi masih sama dengan yang sekarang, publik boleh menduga memang ada pihak-pihak yang terlalu genit ingin memonopoli tafsir Pancasila. Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2038-demi-eksistensi-pancasila