Dukung Demokrasi Terpimpin Sukarno, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional
http://historia.id/modern/dukung-demokrasi-terpimpin-sukarno-tan-malaka-jadi-pahlawan-nasional

Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional berkat dukungan partainya kepada 
Demokrasi Terpimpin.



Tan Malaka dan lambang Partai Murba.

Hendri F. Isnaeni

Rabu 01 April 2015 WIB

PRESIDEN Sukarno mengangkat dua tokoh kiri yang kontroversial tapi 
berseberangan ideologi, Tan Malaka dan Alimin, sebagai pahlawan nasional. 
Kebijakan ini dianggap memenuhi penyatuan ideologi Nasakom sekalipun Sukarno 
melabrak prosedur. (Baca: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis)

Pada 28 Maret 1963, Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional 
dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 53/1963. Pengangkatan ini sesuai dengan 
tuntutan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), yang didirikan Tan Malaka, 
dalam dua kesempatan: peringatan hilangnya Tan Malaka ke-14 di Jakarta pada 
Februari 1963 dan konferensi Partai Murba di Balikpapan pada 15 Maret 1963.

Menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, Sukarno melakukan pengangkatan itu 
atas inisiatif sendiri, tanpa melewati prosedur atau meminta nasihat dari 
komisi yang telah dibentuk. “Langkah Sukarno dianggap sebagai penghargaan atas 
dukungan Partai Murba terhadap politik Demokrasi Terpimpin Sukarno,” kata 
Poeze, yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. (Baca: 
Harry Poeze Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka)

Agar adil, lanjut Poeze, Sukarno melakukan hal yang sama terhadap Alimin, tokoh 
Partai Komunis Indonesia (PKI). Kendati disingkirkan dalam perselisihan 
internal PKI, Alimin tidak dipecat dari PKI dan masih dianggap sebagai tokoh 
komunis yang berjasa. Dia juga kawan Sukarno dari dulu. Alimin ditetapkan 
sebagai pahlawan nasional melalui Keppres No 163/1964.

“Jelas, ada oposisi terhadap putusan pengangkatan dua tokoh kontroversial itu, 
dan mungkin karena itu Sukarno melanggar prosedur. Kritik terhadap Sukarno 
waktu itu sulit, dan mustahil disampaikan langsung dan di depan umum,” kata 
Poeze.

Tan Malaka dipecat dari PKI karena menentang pemberontakan PKI 1926/1927. Dia 
kemudian mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) di Bangkok pada Juni 1927. 
Setelah kembali ke Indonesia, dia mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, 
pasca-Peristiwa Madiun 1948. (Baca: Akhir Tragis Republik Komunis)

Dalam banyak hal, Murba berlawanan dengan PKI. Karena itu pengangkatan Tan 
Malaka dan Alimin dianggap memenuhi penyatuan ideologi Nasakom yang diusung 
Sukarno.

Selain itu, saat itu pengaruh Sukarno begitu besarnya, termasuk dalam soal 
pengangkatan pahlawan nasional. Dia mengangkat pahlawan nasional pertama, yaitu 
Abdoel Moeis, pada Agustus 1959. Hingga September 1965, dia mengangkat 36 
pahlawan nasional, hampir separuhnya tanpa meminta nasihat dari komisi yang 
telah dibentuk. “Tan Malaka adalah orang ke-16 yang ditetapkan sebagai pahlawan 
nasional,” kata Poeze. (Baca: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia)

Prijono, tokoh Partai Murba dan menteri pendidikan (1957-1966), menyambut 
pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dengan gembira. Dia 
menganggap keputusan Sukarno tepat.

Dalam pesannya pada Hari Angkatan Perang 5 Juli 1963, Prijono menyatakan: 
“Setiap putera-puteri Indonesia boleh merasa bangga, bahwa Ibu Pertiwi 
mempunyai pemimpin besar seperti Tan Malaka. Ia seorang pahlawan nasional yang 
di sepanjang hidupnya berjuang untuk kemerdekaan tanah air, dan yang sejak awal 
berjuang sungguh-sungguh menuju dan demi lahirnya cita-cita Republik Indonesia.”

Sejarah mencatat akhir perjalanan kedua partai itu berbeda. PKI berhasil 
mempengaruhi Sukarno untuk membekukan Murba pada September 1965 atas tuduhan 
terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS), mendukung Manifesto 
Kebudayaan, dan menerima uang US$100 juta dari Badan Intelijen Amerika Serikat 
(CIA) untuk menggulingkan Sukarno. Sukarno kemudian merehabilitiasi Murba pada 
17 Oktober 1966. Sementara PKI dianggap sebagai partai terlarang oleh 
pemerintahan Soeharto.

Murba ikut pemilu pada 1971 namun tak meraih kursi. Pada 1977 Murba bersama 
Partai Nasional Indonesia (PNI), partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 
(IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik lebur menjadi 
Partai Demokrasi Indonesia. Murba dihidupkan lagi pada 1998 dan ikut pemilu 
1999, namun kembali gagal meraih kursi.



Dimusuhi PKI, PRD Ikut Murba
http://historia.id/modern/dimusuhi-pki-prd-ikut-murba

Persatoean Rakjat Djelata mengubah diri jadi Partai Rakjat Djelata. Ikut Tan 
Malaka jadi Partai Murba.



Historia

Hendri F. Isnaeni

Selasa 04 Mei 2010 WIB

PARTAI Rakjat Djelata (PRD) yang diketuai oleh St Dawanis kian aktif di 
panggung politik nasional. Setelah sempat berseteru dengan Partai Komunis 
Indonesia (PKI) soal tuduhan adanya “pihak musuh yang hendak mengacaukan dan 
membingungkan rakyat”, partai yang sekretaris jenderalnya dijabat oleh Pandu 
Kartawiguna itu menggabungkan diri ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan 
Malaka.

Bersama partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Wanita Rakjat, 
Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, dan Laskar Rakyat Jawa 
Barat, PRD menolak Kabinet Syahrir II yang mengadakan Perjanjian Linggarjati di 
selatan Cirebon pada 10 November 1946.

Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 
pada 3 Juli 1947. Tak lama kemudian Kabinet Amir jatuh karena perjanjian 
Renville. Amir menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948. Setelah itu, 
Presiden Sukarno menunjuk wakilnya, Mohammad Hatta, untuk membentuk kabinet 
baru. Hatta berusaha membentuk kabinet koalisi dengan merangkul semua partai.

Sayap kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan Menteri Pertahanan. Hatta tak 
mengabulkannya karena mendapat tentangan dari Masyumi. Akhirnya pada 31 Januari 
1948 Kabinet Hatta diumumkan. Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri 
Pertahanan. Kabinet ini didukung oleh Masyumi, PNI, Partai Katolik, dan 
Parkindo. Satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di kabinet adalah Supeno 
atas nama perseorangan. Dia menjabat Menteri Pembangunan dan Pemuda.

Amir Syarifuddin yang tersingkir melancarkan oposisi dan membentuk Front 
Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan partai dan organisasi sayap 
kiri: Partai Sosialis (PS), PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh 
Indonesia (SOBSI), dan BTI. Organisasi itu dituduh berada di balik peristiwa 
Madiun 1948.

Untuk mengimbangi FDR, pemerintah Hatta membebaskan tokoh-tokoh pro Tan Malaka 
dari penjara karena terlibat Peristiwa 3 Juli 1946. Pada 6 Juni 1948, Tan 
Malaka mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dengan pimpinan Dr Muwardi, 
Wakil Ketua Sjamsu Harja Udaja, dan Sekretaris Chairul Saleh.

Geoffrey C. Gunn dalam New World Hegemony in the Malay World, menyebut GRR 
terdiri dari gabungan PRD, Partai Rakjat pimpinan Maruto Nitimihardjo, 
Persatuan Marhaen Indonesia (Permai), Laskar Rakjat Djawa Barat, Persatuan 
Invaliden Indonesia, Partai Buruh Merdeka pimpinan Sjamsu Harja Udaja, Partai 
Wanita Rakjat, Barisan Banteng Republik Indonesia pimpinan dr Muwardi, dan 
Acoma pimpinan Ibnu Parma.

Setelah PKI ditumpas pada Peristiwa Madiun 1948, GRR kemudian melakukan 
konsolidasi. Pada 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan seperti PRD, 
Partai Rakjat, Partai Buruh Merdeka, Acoma, dan Partai Wanita Rakyat berfusi 
menjadi Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Kongres peleburan partai itu baru dilaksanakan pada 7 November 1948. Tan 
Malaka, sebagai tokoh sentral gerakan tersebut, hadir. Dalam pidatonya, Tan 
Malaka mengatakan, “Kalau saudara kembali ke kampung, saya harap melaksanakan 
peleburan itu, seperti sudah terlaksana antara pucuk pimpinan yang sudah banyak 
memperlihatkan goodwill. Walaupun sekarang bisa dilihat begitu, tetapi juga 
saudara kalau sudah sampai di cabang, di desa dilupakan, bahkan saudara Maruto 
Nitimihardjo adalah bekas ketua Partai Rakjat, saudara Sjamsu Harija Udaja 
Ketua Partai Buruh Merdeka, saudara St Dawanis ketua Partai Rakjat Djelata, 
tetapi mereka adalah pemimpin saudara-saudara lainnya semua. Supaya saudara di 
desa menerangkan bahwa mereka bukan pemimpin dari Partai Rakjat, atau Partai 
Buruh Merdeka atau Partai Rakjat Djelata, melainkan pemimpin Partai Murba.”

Tan Malaka sendiri memilih untuk tidak menjadi ketua Partai Murba. Ia tetaplah 
seorang yang berada di balik layar, sebagaimana kebiasaan yang telah melekat 
pada dirinya selama bertahun-tahun hidup dalam kejaran. Sukarni duduk sebagai 
ketua Murba didampingi St. Dawanis sebagai wakilnya. Tan menaruh harapan tinggi 
kepada kader-kadernya untuk memajukan Partai Murba yang baru saja dibentuknya. 
Dalam pidato itu dia bahkan memuji St Dawanis, Ketua PRD, dan Pandu 
Kartawiguna, Sekjen PRD, yang juga jadi pengurus Murba.

“Sdr Dawanis yang datang dari Jakarta dan Jatinegara terpaksa menyeludup ke 
sana-sini, yang terpaksa melalui penjara Belanda, baru sampai ke sini; 
didampingi oleh sekretaris jenderalnya yang dia kenal dari dulu, yang tidak 
banyak bicara, tetapi meminta bukti, ialah Pandu Karta Wiguna,” imbuh Tan 
Malaka.

Pada pemilu pertama 1955, PRD maju menjadi peserta pemilihan umum dan berhasil 
meraih satu kursi, sementara Murba meraih dua kursi.


  • [GELORA45] Dukung Demokra... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke