-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1988-evaluasi-psbb-tegakkan-sanksi Selasa 21 April 2020, 05:00 WIB Evaluasi PSBB Tegakkan Sanksi Administrator | Editorial MEMANG tidak ada satu model baku di dunia ini untuk perang melawan wabah. Model yang diterapkan suatu negara belum tentu sesuai bagi negara lain. Sebab itu kita melihat ada Tiongkok yang berhasil bangkit setelah lockdown dan ada pula Korea Selatan yang berhasil menurunkan penularan tanpa ada penutupan wilayah. Hanya ada 8 kasus baru yang dilaporkan dari seluruh ‘Negeri Gingseng’ itu pada Minggu (19/4). Kunci mereka ialah mengandalkan pemeriksaan yang sangat masif. Namun, ketika Indonesia tidak memilih di antara dua cara itu, tidak soal pula. Sumber daya hingga kultur masyarakat yang berbeda membuat pemerintah bisa berargumen untuk menerapkan model penanggulangan yang berbeda, yakni pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sejak awal PSBB memang sudah banyak dikritik karena dinilai tidak berbeda dari anjuran stay at home yang sudah lebih dulu diumumkan. PSBB tidak dapat memutus pergerakan orang dari dan ke suatu wilayah layaknya opsi karantina. Meski demikian, PSBB tetaplah aturan yang punya sanksi. Merujuk Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pelanggar PSBB dapat dipidana 1 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp100 juta. Sayang, PSBB justru dibuat letoi oleh para pemangku kebijakan sendiri. Lagi-lagi ketidakkompakan penegakan aturan di antara para menteri menjadi biang kerok lemahnya perang melawan covid-19. Lihat saja bagaimana silang kebijakan antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan soal aturan berkendara dengan motor. Kemudian juga izin-izin khusus dari Kementerian Perindustrian yang membolehkan berbagai industri yang bukan esensial alias yang tidak dikecualikan dalam kebijakan PSBB, namun tetap beroperasi. Ketidakkompakan itulah yang berakibat masih ramainya jalanan dan berbagai angkutan publik. Maka ketika warga masih berdempetan di KRL maupun membonceng ojek, memang tidak patut disalahkan. Mereka hanya menempuh akses yang mereka sanggup demi memenuhi keinginan perusahaan yang memang direstui para pemangku kebijakan tersebut. Kita sangat setuju ketika Presiden Jokowi meminta PSBB dievaluasi segera. Presiden tentulah menyadari betapa tidak efektifnya PSBB dengan berkaca dari jumlah penderita covid-19 yang terus naik. Namun, sepantasnya pula Presiden melihat jernih akar penyebabnya. Jika benar Presiden ingin penyempurnaan terus-menerus terhadap penanggulangan pandemi, sudah sepantasnya evaluasi pertama ialah terhadap para pembantunya. Evaluasi ini pun semestinya dilakukan dengan cepat karena perpanjangan PSBB yang sudah tidak efektif ini hanya menciptakan apatisme. Lambat laun, ketidakpatuhan akan meluas dan justru menciptakan petaka sebenarnya. Tidak hanya evaluasi PSBB, Presiden juga harus segera menggenjot mengadaan alat PCR (polimerase chain reaction) maupun persiapan 49 laboratorium lainnya untuk pemeriksaan PCR. Hingga minggu lalu, baru 29 laboratorium yang siap, dari total 78 laboratorium yang diplotkan untuk pemeriksaan PCR. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki 43 laboratorium yang beroperasi penuh untuk pemeriksaan PCR. Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi salah satu negara dengan persentase pemeriksaan PCR terendah. Hingga minggu lalu baru 52 orang dari tiap 1 juta orang Indonesia yang menjalani pemeriksaan PCR. Padahal pemeriksaan inilah yang menjadi kunci keberhasilan perang melawan korona jika tidak ingin menerapkan lockdown ketat. Sebab pemeriksaan PCR ibarat jaring tidak terlihat yang membuat kita dapat memetakan dan menghadang penularan wabah yang lebih luas.