-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://news.detik.com/kolom/d-5012041/ferdian-paleka-adalah-wajah-terluar-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list Sentilan Iqbal Aji Daryono Ferdian Paleka adalah Wajah Terluar Kita Iqbal Aji Daryono - detikNews Selasa, 12 Mei 2020 17:06 WIB 0 komentar SHARE URL telah disalin Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom) Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono) Jakarta - Sebelum Reformasi, rezim korup menguasai negeri ini. Setelah Reformasi, terjadi "demokratisasi" atas korupsi. Jika sebelumnya korupsi hanyalah festival para elite, setelahnya korupsi adalah makanan siapa saja, dari raja hingga kawula. Tak terkecuali dalam belantara kata-kata. Jadi, kalau dulu yang bisa dengan seenak perut mengkorupsi makna suatu kata hanyalah penguasa, belakangan gaya-gaya begitu terdemokratisasi pula. Semua turut merayakannya. Maka, kelakuan Ferdian Paleka dan para pedagang Youtube lainnya hanyalah buah; buah yang dipetik oleh suatu masyarakat yang memberikan permakluman berlebih atas akrobat kata-kata. *** Anda pasti ingat pelajaran bahasa Indonesia di masa sekolah yang membicarakan majas eufimisme. Bu Guru Bahasa Indonesia menyodorkan kata "diamankan", misalnya. Itu kata yang menunjukkan tindakan tegas kepada anggota masyarakat yang melanggar tata aturan kemasyarakatan, atau kepada unsur masyarakat yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun istilahnya "diamankan", semua juga tahu bahwa mereka dicokok, diborgol, dijebloskan ke balik kerangkeng, dan di dalam sel mungkin juga digebuki. Lalu di mana amannya? Tapi istilah itu tetap dipakai demi menjaga wibawa dan martabat penguasa, demi menjaga stabilitas nasional di bawah lindungan Pancasila. Contoh lain yang paling sering disebut adalah "penyesuaian harga". Lagi-lagi, demi stabilitas nasional, demi mencegah keresahan publik yang rentan merongrong kewibawaan pemerintah, sungguh tidak memungkinkan bila istilah "kenaikan harga" digunakan. Tindakan menaikkan harga itu terdengar jahat, kurang menunjukkan semangat kesetiakawanan sosial, dan bisa-bisa malah menimbulkan masalah yang akan mengganggu manunggalnya ABRI dan rakyat. Karena itulah, harus digunakan istilah yang menampilkan kesan bahwa pemerintah tidak abai apalagi jahat, melainkan bijak. Dan salah satu wujud sikap bijak itu adalah meletakkan sesuatu sesuai dengan situasi dan kondisi. Nah, karena situasi dan kondisinya mengatakan bahwa anggaran subsidi BBM harus dipotong, sementara di saat yang sama negara butuh tambahan dana demi kelancaran pembangunan nasional, harga-harga pun mesti disesuaikan. Ya, disesuaikan, bukan dinaikkan. Masih banyak contoh lainnya. Mulai "lembaga pemasyarakatan" yang sama sekali tidak memasyarakatkan namun malah memperkuat jaringan kejahatan, "rawan pangan" yang sebenarnya tak lain dari kelaparan, hingga "dibebastugaskan" yang sekilas terdengar melegakan padahal diam-diam bermakna ditendang dan dihentikan. Yang jelas, istilah-istilah merdu itu paling sering diproduksi para petinggi, pejabat, penguasa. Itu semua memang manuver politik dengan instrumen kata-kata. *** Setelah Reformasi, akrobat kata-kata ini tentu masih berjalan. Bahkan lebih seru lagi, lebih demokratis lagi, untuk tidak mengatakan lebih "liar" lagi. Saya tidak hendak bicara tentang penguasa, karena pada akhirnya zig-zag bahasa sudah menjadi fitur built in para pemain politik di mana saja. Yang lebih menarik adalah melihat betapa sepertinya ada "dendam kelas". Ada kedengkian massal yang diam-diam, yang dulu kala mendera hati dan perasaan rakyat jelata, dan sekarang saatnya pembalasan dilancarkan sepuas-puasnya. "Dulu kalian yang korupsi, sekarang saatnya kami juga ikut meski cuma kecil-kecilan. Dulu kalian seenaknya memainkan kata-kata, sekarang kami kepingin juga mencicipi lezatnya mainan yang sama!" Hasilnya, di level massa mulai bermunculan kata-kata yang tanpa disadari para penguasa merupakan bentuk imitatif atas kelakuan mereka. "Ini KW premium, Gan. Limited, Gan. Hampir nggak ada bedanya sama yang ori, Gan." Omongan level kaki lima itu sekarang sudah jadi template lazim dalam transaksi di mana-mana. Terutama di pasar-pasar online. Dan bisa Anda bayangkan, ada berapa juta perbincangan digital yang berlangsung setiap waktu. Kalimat-kalimat itu tersebar tanpa henti, merasuk ke kerak kesadaran rakyat Indonesia. Akhirnya, lupa kolektif pun terbangun dalam skala yang tidak main-main. Hasilnya, kita sudah sangat jarang mendengar kata "palsu". Tidak ada tuh barang palsu. Yang ada barang KW. Meski secara material-objektif bendanya sama, barang KW lebih tinggi derajatnya ketimbang barang palsu. Coba, kapan terakhir kali Anda mendengar kalimat, "Ayo Mbak, silakan dipilih. Ini barang palsu tapi bagus." Taruhan, sudah lama sekali kata itu tak terdengar dalam semesta obrolan jelata. Kata "palsu" kadang memang masih muncul, tapi untuk mengkritik penguasa selepas Reformasi memberikan berkah kebebasan bersuara. "Pejabat yang mengobral janji-janji palsu," misalnya. Kepada para elite, kita bisa mengatakan mereka palsu. Tetapi, terkait diri kita sendiri, pada level kita sendiri, kita lebih suka menyebut KW. Politik bahasa di zaman ini telah menjadi strategi keculasan rakyat jelata. Dan, dengan eufimisme yang terdemokratisasi, standar-standar moral komunal juga turut bergeser. Memalsukan barang itu kebohongan. Tapi kalau cuma bikin versi KW-nya, ya sepertinya nggak bohong-bohong amat. "Ini KW ya?" tanya Mas Hairus Salim suatu kali, saat men-japri satu toko buku online. Sahabat saya itu curiga dengan pajangan harga buku yang kelewat murah. Dan jawaban yang didapat Mas Salim sungguh tidak ia duga-duga. "Iya, Gan. Ini KW," jawab si admin. "Tapi isinya asli kok!" Bukunya dicetak dengan kualitas KW, tapi isinya asli! Hahaha! Saya ingin tertawa sekeras-kerasnya kalau tidak ingat nasib kawan-kawan penerbitan yang pada bangkrut karena buku mereka dipalsu, eh, maksud saya dibikin versi KW-nya. Tapi alih-alih memikirkan bagaimana cara saya menahan tawa, lebih seru melihat bahwa istilah KW menciptakan permaafan kepada diri sendiri. Bukunya KW nggak apa-apa, yang penting asli isinya. Begitu kata mereka. Memalsu buku itu dosa. Membikin versi KW itu cuma agak dosa. Membikin buku versi KW dengan isi buku yang tetap asli itu barangkali menciptakan sensasi "ah, nggak terlalu dosa". Dalam dunia buku, ada lagi inovasi eufimisme lain yang canggih, yaitu repro. Ini jelas menggenggam derajat yang lebih mulia daripada KW. Ini bukan palsu, bukan KW, tapi repro! Kalau buku KW masih mungkin isinya tidak asli (hahaha!), tapi buku repro jelas bergaransi isinya persis sama dengan yang ori. Namanya saja repro, Gan! Maka, perasaan telah bertindak kriminal karena membajak buku tidak akan ada lagi. Membajak itu kejahatan. Tapi kalau cuma bikin versi repro-nya, itu akan diklaim sebagai upaya memperluas kemudahan akses atas pengetahuan. Bukan cuma buku dan sejenisnya, tentu saja. Sebab apa yang merupakan hasil produksi sekarang ini bukan hanya barang-barang, melainkan juga tontonan. Dan Anda baru saja menonton cerita lucu-lucuan yang disebut prank. Dari Atta Halilintar, Andre Taulany, sampai Ferdian Paleka. Menonton itu semua, kita mungkin ikut tertawa. Sebab sudah lama sekali kita lupa nasihat kakek-nenek dan guru ngaji di kampung, "Jangan bohong, Nak. Bohong itu dosa." Kita lupa petuah-petuah sederhana bahwa berkata dusta adalah dosa, dan segala ucapan serta tindakan palsu akan merusak pahala orang yang berpuasa. Nasihat-nasihat semacam itu sudah terdengar so yesterday. Sangat tidak milenial. Prank itu cuma practical jokes, Bro. Bercanda-canda saja. Perkara yang dibercandai menanggung rugi, bahkan sakit hati, lupakan saja. Ngapain marah? Wong ini cuma prank kok. Mbok jangan baperan! Akhirnya, kita tumbuh menjadi masyarakat yang semakin permisif atas tindakan ngibul dan dusta. Tidak ada lagi itu ngibul dan dusta dalam kosakata kita. Hilang pula pelan-pelan konsep dosa-karena-menipu, sepanjang penipuan itu tidak melibatkan kerugian uang. Kita pun beramai-ramai menonton parade kebohongan sambil terhibur dan tertawa-tawa. Kita membangun demografi masyarakat yang gemar dikibuli, bahkan mau sukarela membayar kebohongan-kebohongan itu dengan view dan "klik subscribe" dari jempol kita. Dalam masyarakat seperti itulah tayangan prank menjamur subur lalu menemukan pangsa pasar loyalnya. Maka, Ferdian Paleka hanyalah wajah terluar dari wajah-wajah kita. *** Selamat melanjutkan ibadah puasa. Ingat, berbohong itu dosa dan merusak ganjaran puasa kita. Tapi kalau cuma prank, bukannya nggak apa-apa ya? Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul (mmu/mmu) ferdian paleka