https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang
Abdul Arif https://beritagar.id/penulis/abdul 17:00 WIB - Senin , 30 Januari 2017 Generasi yang hilang Tionghoa Semarang 41SEBARAN https://www.facebook.com/sharer/sharer.php?redirect_uri=//beritagar.id/&u=https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang https://twitter.com/intent/tweet?text=Generasi+yang+hilang+Tionghoa+Semarang&url=https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang&via=beritagarid https://plus.google.com/share?url=https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang mailto:?subject=Generasi%20yang%20hilang%20Tionghoa%20Semarang&body=https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/generasi-yang-hilang-tionghoa-semarang Keterangan Gambar : Sejumlah warga tampak melintasi pintu gerbang Pecinan Semarang, Sabtu 28 Januari 2017. © Kontributor Beritagar.id / Abdul Arif Kawasan Pecinan Semarang tidak terbentuk secara alami sebagaimana kampung pecinan lainnya. Belanda turut ambil bagian. Bangunan dengan empat tiang penyangga berwarna merah berdiri di ujung jalan KH Wahid Hasyim, Kota Semarang. Bangunan itu memiliki atap bertingkat. Di bagian tengahnya ada papan nama berwarna biru. Tulisan dengan huruf han zi disertai huruf latin berbunyi "Pecinan Semarang" menghiasi papan nama itu. Bangunan tersebut adalah pintu gerbang memasuki kawasan Pecinan Semarang. Sabtu siang pekan lalu, Beritagar.id berkesempatan menyusuri gang-gang di Kawasan Pecinan Semarang itu. Dari Jalan Benteng deretan bangunan berdiri di kiri-kanan jalan. Bangunan-bangunan itu sambung-menyambung dan hanya terputus oleh gang-gang laiknya rumah toko (ruko). Sesekali aroma hio mengusik hidung. Aroma itu muncul ketika melintasi bangunan kelenteng yang berdiri di sejumlah sudut. Warna merah tampak mendominasi bangunan-bangunan berarsitektur Cina itu. Di daerah itu setidaknya ada sembilan bangunan Kelenteng: Kelenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur No 38, Kelenteng Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa di Jalan Gang Pinggir No 105-107, Kelenteng Tay Kak Sie di Jalan Gang Lombok No 62, dan Kelenteng Kong Tik Soe di Jalan Gang Lombok. Ada juga Kelenteng Hoo Hok Bio di Jalan Gang Cilik No 7, Kelenteng Tong Pek Bio di Jalan Gang Pinggir No 70, Kelenteng Wie Hwie Kiong di Jalan Sebandaran I No 26, Kelenteng Ling Hok Bio di Jalan Gang Pinggir No 110, dan Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong Jalan Sebandaran I No 32. Pengurus Kelenteng Tay Kak Sie tengah menyiapkan sesaji untuk menyambut Imlek 2568 di Kelenteng Tay Kak Sie, Jalan Gang Lombok No 62 Semarang, Jumat 27 Januari 2017. © Abdul Arif /Kontributor Beritagar.id Kawasan itu adalah saksi bisu perjalanan hidup warga Tionghoa di Semarang. Pemerhati Tionghoa Semarang, Jongkie Tio menyebut, sudah ratusan tahun mereka tinggal di kawasan itu. Sebelumnya, mereka tinggal di daerah Gedong Batu atau Simongan. Daerah ini merupakan pelabuhan utama Semarang pada masa itu. Kawasan Pecinan hampir ada di setiap kota besar. Namun Pecinan Semarang memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Jongkie, Kawasan Pecinan Semarang terbentuk karena sengaja dibuat pada masa penjajahan Belanda. Inilah yang membedakan Pecinan Semarang dari kota lain. Seperti apa kisahnya? Jongkie berbagi cerita tentang pemindahan warga Tionghoa itu. Alkisah, pada 1740 orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan di Batavia. Pembantaian oleh Belanda pun tak terelakkan. Sebagian warga Tionghoa lari ke arah timur menyusuri Pantai Utara (Pantura). Di sepanjang Pantura ke arah Semarang, setiap bertemu dengan perkebunan Belanda terjadi perlawanan. "Sampai di Semarang diterima dengan senang hati oleh Raja Amangkurat I dan bupati-bupati sekitar. Dengan maksud menggalang kekuatan untuk melawan VOC di Jepara," kata Jongkie. Sejak itu, hubungan baik terus berkembang. Namun satu hal terjadi ketika Raja Amangkurat I meninggal dan digantikan Raja Amangkurat II. Hubungan raja dengan bupati-bupati lainnya tidak seharmonis pendahulunya. Pemberontakan pun pecah. Orang Tionghoa yang sejak awal berhubungan baik dengan para bupati turut terlibat. Lambat laun Semarang akhirnya jatuh. Diikuti Juwana, Jepara hingga Rembang. Orang-orang Tionghoa lalu lari masuk ke Kartasura bergabung dengan Pangeran Trunojoyo. Amangkurat II yang dibantu VOC berhasil memadamkan pemberontakan itu sekitar 1743. "Dealnya, wilayah administratif Semarang diberikan kepada Belanda," katanya. Akibat pemberontakan itu semua orang Tionghoa yang tinggal di Simongan dipindahkan ke sebuah lokasi yang tak jauh dari Kota Lama. Kawasan itu dibatasi oleh Kali Semarang. "Kalau mau keluar harus izin. Mau apa izin. Agar tak ada keributan, maka dibikin tangsi militer di Jalan Agus Salim. Tangsi besar sekarang jadi Rumah Makan Miramar," ujar Jongkie. Kali Semarang berperan penting dalam perdagangan di Kawasan Pecinan Semarang pada zaman dahulu. © Abdul Arif /Kontributor Beritagar.id Dia mengatakan, tak ada catatan yang menyebutkan berapa jumlah orang Tionghoa yang dipindahkan paksa. Namun bisa diperkirakan ada ribuan. Di tempat yang baru, lanjut Jongkie, orang-orang Tionghoa bangkit dengan berbagai usaha untuk bertahan hidup. Perkembangan Pecinan Semarang bisa dikatakan cukup istimewa. Di dalam kawasan yang tertutup, orang-orang Tionghoa berkreasi untuk tetap bertahan. Maka dibukalah pasar pembauran paling tua yang berada di Gang Baru. "Ada juga yayasan sosial dan sekolah gratis Kuncup Melati," katanya. Perjalanan hidup warga Tionghoa di Semarang rupanya tak berjalan mulus sebagaimana diharapkan. Orang-orang Tionghoa menjumpai aral pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. "Jadi Pak Harto (Presiden Soeharto) sebenarnya tak mengharuskan, hanya bilang kalau ganti nama administrasinya akan mudah. Tapi kalau tidak ganti nama tidak dapat izin," ujarnya. Pada masa itu, semua hal yang menyangkut perizinan akan ditanyakan soal nama. Juga Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang diberlakukan saat itu. Jongkie yang lahir pada 1941 dengan nama pemberian orang tuanya pun harus memilih ganti nama. Nama Tio Tek Hwan diganti menjadi Daddy Budiarto. "Jadi saya punya tiga nama. Kalau Jongkie Tio itu nama Belanda yang saya pakai untuk nama penulis sampai sekarang," katanya. Pengunjung Pasar Imlek Semawis berswafoto dengan latar belakang lampion di Jalan Gang Pinggir, Pecinan Semarang, Kamis 26 Januari 2017. © Abdul Arif /Kontributor Beritagar.id Semarak obar-abir perayaan Imlek Menjelang Tahun Baru Imlek 2568, Kawasan Pecinan Semarang tampak ramai, Kamis (26/1/2017) petang. Orang-orang terlihat berjubel di sepanjang Jalan Wotgandul Timur hingga Gang Pinggir. Di ruas jalan itulah Pasar Imlek Semawis digelar selama tiga hari, mulai 24-26 Januari 2017. Pasar Imlek Semawis tahun ini menyuguhkan sejumlah sajian menarik, mulai dari kuliner, asesoris, batik, kerajinan tangan hingga pertunjukan seni. Setidaknya ada 200 stan yang turut memeriahkan gelaran itu. Di Jalan Gang Pinggir, pengunjung menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi Tek Gie Hin Semarang. Wayang Potehi ini menyuguhkan cerita Poei Sie Giok: Kisah pendekar kecil dari Shiau Lim Pay. Rupanya, pertunjukan ini mampu menyedot perhatian para pengunjung Pasar Imlek Semawis. Pengunjung bahkan rela berjubelan di depan panggung pentas wayang potehi demi bisa mengabadikan momentum langka itu melalui kamera ponselnya. Maklum saja, pertunjukan wayang potehi hanya dihelat pada hari-hari tertentu. Sesekali sang Dalang, Thio Haw Lie mengajak penonton menyanyikan lagu. Satu diantaranya adalah lagu malam Minggu. Penonton pun tampak terhibur. Di sudut lain, tepatnya di pertigaan Gang Pinggir dan Gang Besen juga tak kalah ramai. Para pengunjung bahkan rela berdesak-desakkan demi menyaksikan pertunjukan barongsai dan liong. Mereka juga tak ingin pertunjukan barongsai itu terlewatkan oleh bidikan kamera. Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim mengatakan, Pasar Imlek Semawis kali ini mengusung tema "Obar-abir." Tema itu menurut Harjanto sangat pas diangkat saat kondisi bangsa Indonesia sedang marak isu SARA. "Obar-abir artinya warna-warni. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Yang diharapkan, tumbuh sikap saling memahami," katanya saat ditemui Beritagar.id. Kegiatan menyambut Tahun Baru Imlek juga dilakukan oleh pengelola kelenteng di Kawasan Pecinan Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie yang berada di Jalan Gang Lombok No 62 misalnya. Kepala Yayasan Tempat Ibadah Tridharma Klenteng Tay Kak Sie, Tanto Hermawan menyampaikan, perayaan Imlek 2568 dimulai dengan sembahyang mengantarkan dewa naik ke kahyangan. Sembahyang ini dinamakan Shung Sen dan dilaksanakan pada 24/12 Imlek. Tanto meyakini, dewa naik ke kahyangan untuk melaporkan amal selama setahun. "Kami juga membersihkan kelenteng dan semua untuk sambut tahun baru. Semua barang disucikan. Setelah patung-patung dewa dalam kondisi netral baru kita bersihkan," katanya. Selanjutnya, pada malam pergantian tahun baru Imlek diadakan sembahyang bersama di Kelenteng. Sembahyang Ying Chun Jie Fu ini berlangsung mulai pukul 24.00 WIB. Pengurus Kelenteng dan masyarakat ikut serta dalam sembahyang ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, upacara menyambut tahun baru Imlek kali ini dilaksanakan secara sederhana. "Kami hanya berdoa untuk negara agar Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi rukun dan damai," ujarnya. Upacara sembahyang juga dilaksanakan pada hari keempat tahun baru Imlek. Sembahyang ini untuk menyambut dewa yang turun dari kahyangan. "Tanggal 9 dilanjutkan dengan sembahyang Tuhan Allah (King Thi Kong) dan upacara Cap Go Meh pada tanggal 15," katanya. Pengunjung Pasar Imlek Semawis tampak memadati area Tugu Pecinan di pertigaan Jalan Gambiran-Gang Pinggir, Kawasan Pecinan Semarang, Kamis, 26 Januari 2017. Tampak Tugu Pecinan dihiasi dengan patung shio ayam. © Abdul Arif /Kontributor Beritagar.id