-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5143234/gosip-dan-bahasa-perempuan?tag_from=wp_cb_kolom_list



Jeda

Gosip dan Bahasa Perempuan

Rahmat Petuguran - detikNews

Minggu, 23 Agu 2020 12:08 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Karakter Bu Tejo dalam film Tilik (Foto: Ravacana Film)
Jakarta -

Bu Tejo viral! Tokoh dalam film pendek Tilik karya sutradara Wahyu Agung 
Prasetyo (Ravacana Film, 2018) itu mendapat perhatian luas karena karakternya 
yang unik. Dia digambarkan penggosip kelas wahid di komunitasnya. Selain tampak 
punya bakat alami, ia jadi penggosip ulung karena ditopang teknologi terkini.

Film Tilik menarik minat karena dianggap mampu memotret realitas kehidupan 
perempuan desa. Selain solidaritas terhadap orang yang sakit, gosip jadi 
realitas sosial yang paling mencolok di komunitas itu. Keduanya tergambar dalam 
persona Bu Tejo.

Ada dua tipe respons terhadap karakter Bu Tejo dan film itu secara umum. 
Respons pertama adalah yang bersikap apresiatif karena menganggap film itu 
mampu memotret realitas dengan presisi. Respons tipe kedua cenderung kritis 
karena film ini dianggap mereproduksi stereotip negatif perempuan sebagai 
penggosip.

Memang tak bisa dielakkan, perempuan sering dicitrakan suka bergosip. Citra ini 
bukan cuma dilekatkan kepada perempuan desa kurang terdidik seperti persona Bu 
Tejo, tapi juga perempuan perkotaan terdidik.

Lalu dari mana stereotip itu berasal? Bagaimana citra itu direproduksi sehingga 
terdengar benar hingga kini?

Perekat Sosial

Meski dengan gaya kelakar, penjelasan tentang kenapa perempuan cenderung suka 
bergosip disampaikan John Gray. Ia menulisnya dalam buku laris Men Are From 
Mars and Women are From Venus.

Kecenderungan bergosip tumbuh karena perempuan memiliki kecenderungan alami 
bekerja sama satu sama lain. Dorongan bekerja sama sendiri muncul karena 
perasaan kurang percaya diri (insecure) yang tumbuh secara kultural karena 
perempuan pada masa lalu tidak punya akses ke alat-alat produksi.

Kendala perempuan dalam mengakses alat produksi bisa bersifat alami sekaligus 
sosial. Bersifat alami karena perempuan mengalami masa-masa yang membuat 
ketangguhan fisiknya menurun akibat menstruasi, hamil, dan menyusui. Pada masa 
seperti itu, perempuan bergantung kepada pasangan lelakinya untuk menyuplai 
makanan.

Secara sosial, kendala perempuan mengakses alat produksi bisa terjadi karena 
peminggiran yang terus-menerus. Kendala yang bersifat alami dilembagakan oleh 
struktur sosial yang menempatkan perempuan sebagai objek, pasif, dan 
terdomestikkan.

Peminggiran itulah yang membuat perempuan insecure. Agar merasa aman ia harus 
berkumpul, bekerja sama, berserikat dengan perempuan lainnya.

Kebutuhan berkumpul itu kemudian mendorong perempuan mengembangkan aneka 
kecakapan agar dirinya diterima di komunitas. Kecakapan psikologis bisa berupa 
kepekaan memahami perasaan orang lain, peduli, dan empatik. Adapun kecakapan 
berbahasa bisa berupa keterampilan memuji, mengapresiasi, dan berbasa-basi.

Di titik ini gosip dipandang sebagai mekanisme sosial yang berfungsi menjaga 
solidaritas kelompok ketika perempuan berkumpul. Gosip berfungsi dengan dua 
cara. Pertama, pengetahuan yang sama terhadap sesuatu membuat orang merasa 
memiliki nasib yang sama. Kedua, gosip membuat munculnya sosok liyan (the 
other) yang menguatkan ke-kami-an kelompok tersebut.

Hipotesis ini relatif bisa diterima jika digunakan untuk membaca masyarakat 
purba atau pertanian periode awal yang menjadikan kekuatan fisik sebagai 
satu-satunya cara mengakses sumber daya. Misalnya lewat berburu atau meramu.

Tapi hipotesis ini tidak relevan digunakan untuk memahami masyarakat modern 
yang strukturnya lebih kompleks. Dalam masyarakat modern, jenis kelamin tidak 
lagi menjadi faktor utama pembentuk perilaku kelompok. Faktor-faktor lain 
seperti kelas sosial, kelas ekonomi, pengetahuan, akses informasi, dan ideologi 
kerap lebih dominan dari jenis kelamin.

Dalam masyarakat yang lebih kompleks, hipotesis itu juga lemah karena bersandar 
pada sejumlah asumsi yang bersifat biner. Seolah-olah cuma perempuan yang suka 
bergosip, laki-laki tidak. Seolah-olah perempuan dependen dan laki-laki 
independen. Seolah-olah perempuan membutuhkan kelompok dan laki-laki mandiri.

Padahal, gosip adalah kebutuhan umum. Begitu juga kebutuhan atas dukungan 
kelompok, diperlukan oleh laki-laki maupun perempuan. Di sawah, pasar, pabrik, 
dan kantor juga banyak laki-laki bergosip. Laki-laki juga banyak yang pintar 
basa-basi, memuji, bahkan menjilat untuk memastikan keberterimaannya di 
kelompok.

Kecenderungan bergosip pada masa kini lebih banyak ditentukan oleh faktor 
sosial daripada jenis kelamin. Ketersediaan waktu luang misalnya cenderung 
membuat orang bergosip. Ketiadaan saluran konsultasi yang sehat seperti 
keluarga yang akomodatif juga bisa menstimulasi gosip. Tentu saja karakter 
personal juga punya peran.

Bentuk Peminggiran

Jika dilihat dari perspektif lebih luas, stereotip bahwa perempuan suka 
bergosip bisa dipandang sebagai bentuk peminggiran. Stigma demikian, bersama 
labeling lainnya, adalah instrumen yang sengaja digunakan untuk mendisiplinkan 
perempuan.

Stigma itu diinstrumentasikan dengan stigma lain, misalnya bahwa perempuan 
punya bawaan cerewet. Bahasa dan perilaku berbahasa dijadikan alat untuk 
mendisiplinkan perempuan.

Menurut ahli bahasa Universitas California, Robin Lakoff, bahasa dan citra 
bahasa sudah lama menjadi instrumen dalam proyek stigmatisasi perempuan. Ia 
menyebut ada dua cara yang memungkinkan bahasa digunakan untuk membangun 
stereotip terhadap perempuan, yaitu bagaimana perempuan didisiplinkan dalam 
caranya menggunakan bahasa dan bagaimana perempuan dibicarakan dengan bahasa.

Di berbagai komunitas ada aturan yang berbeda tentang cara laki-laki dan 
perempuan berbahasa. Perempuan didisiplinkan supaya bertutur santun dan lembut 
sementara laki-laki cenderung ditoleransi bersikap sebaliknya.

Perempuan tidak diterima jika menggunakan kata makian sementara laki-laki 
cenderung lebih bebas menggunakannya. Untuk makian yang sama kesan kasar dan 
kurang ajarnya dinilai lebih kuat pada perempuan. Adapun bagi laki-laki makian 
cenderung diterima karena disimbolisasi sebagai keakraban dan maskulinitas.

Di sisi lain, bahasa juga cenderung digunakan dengan cara yang tidak sama 
ketika digunakan untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan. Di berbagai 
sistem bahasa seperti Arab, Spanyol, dan Prancis ada pembagian kosakata menjadi 
maskulin dan feminin.

Pengkategorian itu tidak semata dilakukan berdasarkan kriteria fisik, misalnya 
keserupaan bentuk, ukuran, dan warna. Lebih sering, pengkategorian itu 
dilakukan berdasarkan tafsir politis terhadap sesuatu. Karena itulah, kata yang 
digunakan untuk menggambarkan perempuan atau disifati perempuan cenderung 
berkonotasi negatif.

Tapi kritik terhadap hal-hal semacam itu seringkali sulit dilakukan. Karena 
sudah melembaga, stereotip terhadap perempuan cenderung dianggap wajar.

Karakter Bu Tejo yang sebenarnya karikatural dan lebay pun dianggap wajar. 
"Relate!" tulis sebagian netizen di kolom komentar Youtube tempat film pendek 
itu ditayangkan. Tapi, ya, begitulah kita: terhibur dulu, mikir bisa nanti.

Rahmat Petuguran dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang, penulis 
buku Politik Bahasa Penguasa (2016)

(mmu/mmu)






Kirim email ke