-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://news.detik.com/kolom/d-4939863/hari-hari-ini-virus-itu-tanggung-jawab-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list Jeda Hari-Hari Ini, Virus Itu, Tanggung Jawab Kita Mumu Aloha - detikNews Minggu, 15 Mar 2020 14:32 WIB 2 komentar SHARE URL telah disalin mumu aloha Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom) Jakarta - Virusnya lebih menyadari kita dibanding kita menyadarinya ~ Contagion (Steven Sodernberg, 2011) Hari-hari ini sampai pada hari hari ke depan yang dekat, kita masih akan bicara tentang virus yang sedang menyebar, yang sejauh ini, sejak diumumkan kasus pertama pada 2 Maret, telah menjadi 96 kasus orang terdeteksi positif per Minggu (15/3) pukul 11.30 WIB. Angka tersebut merupakan penambahan sebanyak 27 kasus dalam tiga hari saja, atau sejak Jumat (13/3). Dari data tersebut, 8 orang dilaporkan sembuh dan 5 orang meninggal dunia. Kita mungkin masih akan membaca berita, atau melihat tayangan di televisi, laporan tentang orang-orang yang memborong barang-barang di supermarket. Kita masih akan membaca berita tentang kenaikan harga-harga, kelangkaan barang atau bahan baku yang biasa diimpor dari China, tepat virus berasal. Tapi, kita juga telah membaca bahwa China mulai perlahan-lahan pulih dan lepas dari krisis, bahkan mengirimkan bantuan tenaga medis ke negara lain. Sementara kita lagi panas-panasnya; eskalasi kasus terus meluas, sejumlah kepala daerah mulai mengambil inisiatif untuk meliburkan sekolah mulai Senin (16/3) besok, dan menutup fasilitas-fasilitas umum seperti tempat wisata. Dari Solo, seorang teman dan saudara melaporkan bahwa setelah pengumuman resmi pencegahan penyebaran virus oleh Wali Kota, menyusul adanya dua kasus positif infeksi virus dengan salah satunya berujung kematian, suasana kota menjadi lebih senyap dari biasanya. "Jalan-jalan sepi," kata teman saya. "...seperti kota mati," kata kakak saya, mungkin agak melebih-lebihkan. Tapi yang jelas, kabar baiknya, konon, tidak ada kepanikan. "Santai tapi waspada, mengikuti anjuran pak wali (kota) untuk ndak usah keluar rumah kalau ndak perlu," demikian lanjut kakak saya. Sehabis ngobrol dengan kakak yang tinggal di Solo via WA, saya beralih mengecek perkembangan situasi di Jakarta lewat berbagai pemberitaan. Sebuah potongan video tayangan berita di Youtube menyita perhatian saya, dan membuat geleng-geleng kepala. Headline berita itu: Wisata Jakarta Ditutup, Warga Serbu Puncak Hingga Tak Bergerak. Sedangkan informasi-informasi lain yang berseliweran via status Facebook, obrolan di grup-grup WA, dan berbagai link berita yang berseliweran di media sosial menyebutkan bahwa berbagai inisiatif yang memutuskan diliburkannya sekolah dan kampus, diizinkannya karyawan kerja dari rumah, peniadaan untuk sementara berbagai keramaian seperti CFD, rupanya masih banyak "disalahgunakan" oleh warga. Di Surabaya misalnya, walau CFD ditiadakan, masyarakat ternyata tetap berkumpul di taman. Yang lainnya lagi bahkan menganggap bahwa libur dan kerja dari rumah adalah saat untuk bertamasya, atau bagi para perantau bisa dimanfaatkan untuk pulang kampung. Padahal, maksud dari berbagai kebijakan tersebut adalah untuk membatasi orang berada dalam keramaian, sehingga bisa mencegah potensi penularan dan penyebaran virus. Hari-hari ini, sampai pada hari-hari ke depan yang dekat, pekerjaan kita masih sangat banyak. Kita masih akan terus berdebat ramai, tapi mencerahkan, terutama di berbagai platform media sosial, tentang bagaimana sebaiknya menyikapi situasi ini. Banyak keluhan terhadap pemerintah (pusat) yang terkesan lamban dan ragu-ragu, namun kita tidak kehabisan netizen yang pintar-pintar dan dengan segala kebaikan hati dan kepeduliannya, menyebarkan imbauan-imbauan yang berguna. Mendadak muncul istilah-istilah "baru" seperti "social distancing", "self isolate", "lockdown" dan sebagainya, dan kita semua belajar bersama-sama mengatasi kerisauan di tengah kebingungan dan ketidakpastian akibat pandemi virus ini. Imbauan-imbauan yang terus diulang-ulang sejak awal seperti "tetap tenang" rasanya menjadi tidak relevan, karena faktanya kita sebenarnya cukup tenang. Yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah keyakinan bahwa pemerintah tidak menutup-nutupi informasi demi "menghitung kepanikan", sebaliknya segera memanfaatkan waktu yang ada sebelum terlambat, untuk bersikap tegas, mengambil keputusan-keputusan yang diperlukan. Misalnya menutup total bandara dan mencegah orang-orang untuk keluar-masuk minimal pada lokasi-lokasi tertentu yang merupakan sumber-sumber penyebaran virus atau terancam bahaya. Risikonya pasti ada. Dampak ekonominya jelas terbayang di depan mata. Bahkan di sejumlah daerah yang merupakan lokasi wisata populer, saat ini sudah mengeluhkan sepinya pengujung. Namun, keputusan harus diambil. Saat inilah dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Keputusan itu bisa salah. Tapi, diam saja dalam keraguan yang seolah tiada berujung juga tidak menyelesaikan masalah. Di sinilah, diperlukan kerja sama dari semua pihak dan kedisiplinan -mengetahui dan kompak memandang prioritas. Di antara kita yang memiliki privilege untuk bisa kerja dari rumah misalnya, atau memegang posisi-posisi dan jabatan yang memungkinkan untuk memberikan komando, inilah saatnya untuk menstransformasikannya menjadi usaha bagi kemaslahatan bersama. Kita membatasi diri, menghindari keramaian, semua itu bukan semata-mata demi kepentingan keselamatan diri kita sendiri, melainkan juga untuk mengurangi dan memutus risiko bagi orang lain di sekitar kita. Kita tidak tahu sampai kapan pemerintah akan menunggu, dan juga tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dan masih ditunggu. Tapi kita tahu, masing-masing dari kita bisa memulainya sendiri sekarang. (Ada yang dengan agak sinis bilang, mungkin kalau sudah ada seorang menteri atau lingkaran istana negara yang kena, baru akan ada keputusan yang tegas. Tapi, perkembangan terbaru, setelah diumumkan adanya seorang menteri yang benar-benar positif terinfeksi virus, tetap belum ada keputusan apa-apa, yang bisa berdampak secara nasional, dan menyentuh kepentingan seluruh rakyat. Kecuali, bahwa para menteri kemudian diwajibkan untuk menjalani tes). Kita juga tahu, tidak semua orang punya pilihan dan bisa memilih. Maka, jika kita punya dan bisa, gunakanlah pilihan itu. Berdiamlah di rumah. Ini bukan membesar-besarkan soal virus. Ini juga tidak ada kaitannya dengan ketakutan kita pada kematian. Ini bukan karena kita lemah. Justru sebaliknya, ini adalah kesadaran mendasar untuk bersama-sama menunjukkan kepedulian demi kebaikan bersama. Dalam situasi seperti saat ini, hal sesederhana memilih untuk menghindari keramaian, tidak bepergian, menjaga jarak dari area-area publik adalah sebuah tanggung jawab. Mumu Aloha wartawan, penulis, editor (mmu/mmu) social distancing lockdown covid-19 coronavirus indonesia