-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1879-ideologi-pemandu-keadilan-sosial



Sabtu 11 Juli 2020, 05:00 WIB 

Ideologi Pemandu Keadilan Sosial 

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Ideologi Pemandu Keadilan Sosial MI/Ebet Usman Kansong Dewan Redaksi Media 
Group. THOMAS Piketty, ekonom Prancis, baru-baru ini meluncurkan buku 
terbarunya, Capital and Ideology. Buku setebal 1.093 halaman ini menegaskan 
suatu premis moral bahwa ketimpangan ekonomi haram dan masyarakat membutuhkan 
ideologi untuk melegitimasinya, membenarkannya. Buktinya, kata Piketty, 
“Sejarah menunjukkan distribusi kekayaan bagi sebagian besar rakyat menjadi 
tema berulang yang diterima dalam semua periode dan kebudayaan.” Menurut 
Piketty, bila masyarakat mendistribusikan pendapatan, kekayaan, dan pendidikan 
secara lebih luas, mereka menjadi lebih sejahtera. Penjungkirbalikkan 
ideologiideologi lama yang melegitimasi ketimpangan, kata Piketty, merupakan 
kondisi utama bagi kemajuan ekonomi. Piketty hendak mengatakan jangan cemas 
membicarakan ideologi. Ia mendorong kita untuk tidak berhenti mendialektikakan 
ideologi sampai terumuskan ideologi yang betul-betul memandu kemajuan dan 
keadilan dalam struktur ekonomi masyarakat. Sebab, bagi Piketty, ideologi 
adalah serangkaian ide dan wacana logis yang memandu pembentukan satu 
masyarakat. Ideologi bagi Piketty senantiasa bermetamorfosis. Negara-negara 
pascakomunis, seperti Rusia, negara-negara Eropa Timur, bahkan Tiongkok, 
disebut Piketty telah bermetamorfosis dari negara-negara komunis menjadi 
negara-negara hiperkapitalis. Piketty juga menunjukkan ideologi-ideologi pada 
dasarnya tidak tunggal atau tidak murni, melainkan sinkretisme setidaknya 
antara demokrasi dan sosialisme. Ia mencontohkan ideologi sosialisme 
partisipatoris (participatory socialism), federalisme sosial (social 
federalism), sosialisme demokratis (democratic socialism). Ideologi-ideologi 
sinkretis inilah yang menurut Piketty sanggup menyelesaikan perkara ketimpangan 
ekonomi. Di negara kita, kiranya terlarang mendialektikakan ideologi. Ada 
kelompok yang siap berunjuk rasa bertubi-tubi sambil bakar-bakar bendera 
segala. Organisasi-organisasi keagamaan menolaknya. Fraksi-fraksi di DPR yang 
tadinya setuju merancang undang-undang tentang ideologi tiba-tiba balik badan. 
Itulah yang terjadi dengan rancangan undang-undang terkait ideologi Pancasila. 
Pancasila sudah fi nal. Pancasila haram diotak-atik jadi Trisila, apalagi 
Ekasila. Cukuplah wacana Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila hidup 
dalam sejarah, dalam pidato Bung Karno, bukan dalam undang-undang. Barangkali 
ada benarnya kita tak usah mengotak-atik Pancasila lagi. Di tataran ide dan 
wacana, serupa Piketty mendefi nisikan ideologi, founding fathers kita 
membayangkan Pancasila bisa memandu bangsa ini mewujudkan masyarakat adil 
makmur. Pancasila adalah pandu, haluan, kompas. Tak salah bila dikatakan 
Pancasila tidak memerlukan haluan karena dia sendiri sudah merupakan haluan, 
panduan, kompas. Ada benarnya bila dikatakan tidak tepat jika rancangan 
undang-undang tersebut bernama Haluan Ideologi Pancasila. Soal sinkretisme? 
Tidak perlu ditanya lagi. Pancasila merupakan sinkretisme teosentrisme 
(ketuhanan), antroposentrisme (kemanusiaan), demokrasi (musyawarah), sosialisme 
(keadilan sosial), dalam bingkai persatuan keberagaman. Kurang sinkretis apa 
pula? Dalam konteks kaitan ideologi dan ketimpangan ekonomi, tinggal lagi 
bagaimana agar ideologi Pancasila tidak melegitimasi ketimpangan ekonomi 
tersebut. Persoalannya ialah bagaimana kita mengurangi ketimpangan ekonomi demi 
mencapai keadilan sosial dengan berpedoman pada Pancasila. Ketika kita menyebut 
‘bagaimana’, kita kiranya berbicara dalam tataran praksis, bukan lagi dalam 
tataran ide atau wacana. ‘Penjungkir balikan’ atau perdebatan tentang ideologi 
semestinya ada dalam tataran praksis. Sekali lagi, itu karena ideologi 
Pancasila dalam tataran ide dan wacana sudah final. Rancangan Undang-Undang 
Haluan Ideologi Pancasila diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Nama 
RUU Pembinaan Ideologi Pancasila lebih menggambarkan praksis ketimbang Haluan 
Ideologi Pancasila yang lebih menggambarkan ide atau wacana. Dalam konteks 
mengatasi ketimpangan ekonomi, Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila 
sesungguhnya merupakan panduan praktis bagi pemerintah atau negara untuk 
mewujudkan keadilan ekonomi melalui distribusi pendapatan, kekayaan, serta 
pendidikan. Dengan perkataan lain, UU Pembinaan Ideologi Pancasila menjadi 
wujud pelembagaan politik keadilan sosial. Bukankah kemajuan bangsa, menurut 
Acemoglu dan Robinson dalam buku Why Nations Fail, ditentukan oleh pelembagaan 
politik? ‘Membina’ negara untuk mewujudkan keadilan sosial melalui 
Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila kelak sangat penting untuk 
memproteksi bangsa ini dari menyusupnya ideologi-ideologi lain. Kegagalan 
mewujudkan keadilan sosial menjadi habitat bagi tumbuhnya ideologi-ideologi 
semacam khilafahisme atau populisme. Bukankah populisme di Amerika bangkit 
karena demokrasi liberal gagal mengatasi ketimpangan ekonomi, gagal mewujudkan 
keadilan sosial? Bukankah khilafahisme dicoba dibangkitkan di Indonesia atas 
nama keadilan sosial?

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1879-ideologi-pemandu-keadilan-sosial







Kirim email ke